Flores Timur Jadi Kabupaten Literasi

0

Bupati Flores Timur, Antonius Gege Hadjon mendeklarasikan Flores timur sebagai kabupaten Literasi.

Hal ini ditegaskannya pada hari puncak peringatan Hari Lahir (Harlah) Agupena ke-12, di aula OMK Keuskupan Larantuka, Rabu (28/11/2018).

“Teruslah menulis dan berkarya melalui gerakan literasi. Hari ini saya sekaligus mendeklarasikan kabupaten Flores Timur sebagai kabupaten literasi,” tegas Anton disambut tepukan tangan peserta yang hadir.

Bupati Anton mengatakan, budaya membaca dan menulis belum menjadi dasar utama para guru di Flotim. Apa yang dilakukan Agupena Flotim ini bisa menggerakan para guru untuk mulai membudayakan gerakan literasi ini.

“Tidak banyak yang pemerintah berikan kepada Agupena Flotim tetapi mereka telah berbuat banyak bagi perkembangan gerakan literasi di kabupaten Flotim,” ungkapnya.

Ia meminta agar Agupena terus menulis sebab banyak sekali ceritera-ceritera di masyarakat yang perlu dibukukan. Jadikanlah Agupena sebagai lumbung kreasi untuk mengisnpirasi diri demi kepentingan Lewotana dan kemajuan bangsa.

Asy’ari Hidayah Hanafi, ketua panitia peringatan hari lahir Agupena ke-12 mengatakan, pihaknya sadar, budaya literasi harus dihidupkan di Flores Timur (Flotim) sebab budaya literasi merupakan jembatan menuju kemajuan bangsa.

“Gencarnya gerakan literasi yang dibangun Agupena Flotim selain dilakukan lewat sekolah dan taman bacaan, juga dengan menyelenggarakan festival literasi, lomba membaca dan menulis serta workshop menulis berita, dan buku,” terangnya.

Gerakan ini, kata Ary sapaannya, memberi efek semakin banyak anak sekolah dan guru serta masyarakat mulai membaca dan menulis.

“Pemerintah kabupaten Flotim pun sangat mendukung langkah yang dilakukan Agupena,” ujarnya.

Bahkan pemerintah kabupaten Flotim melalui dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga telah mengeluarkan surat edaran kepada lembaga pendidikan baik jenjang SD, SMP dan SMA atau sederajat untuk melaksanakan gerakan literasi.

“Ini tentunya menjadi tanggung jawab guru dan masyarakat untuk menghidupkan gerakan literasi. Apa yang dilakukan Agupena dengan gerakan literasi ini akan berdampak besar ke depannya,” ungkapnya.

Hengky Ola Sura

Mitan Gita Perangi Kemiskinan

KSP Kopdit Mitan Gita dalam salah satu tekad sucinya menyatakan perang terhadap kemiskinan akibat rentenir dan pesta pora. Tekad ini bergema lantang dibacakan Ketua KSP Kopdit Mitan Gita, Petrus Herlemus dan diikuti seluruh anggota yang mengikuti  Rapat Anggota Tahun Buku  2018, di aula Kantor Cabang Mitan Gita Remaja Hokeng, Kamis (10/1).

Tekad suci ini membangkitkan semangat segenap anggota yang hadir dari wilayah seputaran Hokeng dan Boru, Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur. Theresia Rato, Yuliana Mare, dan Johny Temu terharu sekaligus bangga.

“Kami ini sebelumnya adalah anggota KSP Kopdit Remaja Hokeng. Sayangnya, dalam perjalanan yang panjang, Kopdit kami salah dikelola dan boleh dibilang jatuh,” tutur tutur Theresia Rato Temu, pensiunan PNS.

Kami bersyukur, Tuhan hadir dalam rupa Mitan Gita. Dari Mitan Gitalah kami tertolong dan beramal kasih,” tambah Theresia.

Yuliana Mare dan Johny Temu mengaku kembali bersemangat menjalani hidup berkoperasi.

“Kami ini petani kecil. Koperasi banyak membantu. Jadi, ketika Mitan Gita ada bersama kami, sungguh sebuah anugerah,” ujar Yuliana Mare.

Johny menambahkan, “ketika tekad suci digemakan, ada rasa haru yang mengalir. Kami puas dan bangga sekali ada bersama Mitan Gita. Kami orang kecil, Pak. Tekad suci ini akan kami teruskan pada anak-anak dan cucu”.

Tekad suci Mitan Gita yang bergema hari itu membuat semua hadirin, terutama anggota yang sebelumnya adalah anggota Kopdit Remaja Hokeng, bersukacita.

Albina Batafor mengaku, dalam waktu tujuh bulan saja, Tim Pengurus dan Manajemen Mitan Gita membalikkan keadaan menjadi sangat hidup. Dana yang dihimpun mulai dari angsuran pinjaman dan lain-lainnya mencapai Rp600 juta.

“Itu kebanggaan saya sebagai anggota yang paling besar,” katanya.

Kebanggaan anggota ini menjadi kepuasan tersendiri bagi Petrus Herlemus, sang nahkoda utama Mitan Gita.

Dalam sambutannya, Herlemus mengemukakan, tekad besar Mitan Gita adalah membawa semua anggota keluar dari persoalan kemiskinan. Segala daya upaya ditempuh mulai dari mengajak segenap anggota terlibat dalam budidaya sengon dan berwirausaha.

Kepada Siapa ROMA Mengabdi?

0

Oleh: Irenius J A Sagur

“Politik Sikka itu beda”. Celetukan ini biasa muncul dalam ngobrol politik a la warung kopi. Ketika ada yang berusaha menyamakan suasana politik di seluruh NTT, pasti ada yang tak sepakat. Menolaknya. “Sikka beda bro”.

Bermacam-macam alasan muncul. Karakter masyarakat salah satunya. Bahwa orang Sikka berbeda dengan orang di wilayah lain. Sense of wellcomenya tinggi termasuk terbuka menerima setiap perubahan dan perbedaan yang ada.

Berdampingan dengan alasan ini, ada yang menyandarkan pandangannya pada komposisi etnis di Nian Tana. Bahwa wilayah Sikka dihuni oleh penduduk dari berbagai macam latar belakang etnis dan suku.

Tidak heran kalau politiknya dinamis. Bergerak cepat dalam perubahan. “Beda to?” pertanyaan retoris yang kerap menyisip setiap argumen. Alur cerita akan sampai pada kesimpulan bahwa Sikka adalah barometer NTT.

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) 2018 bisa jadi alat ukurnya. Ada tiga pasangan yang bertanding. AS (Alex-Stef), ROMA (Robi-Romanus), dan ARAG (Ansar-Raga). AS dan ARAG maju melalui jalur partai politik.

ROMA ‘nekat’  menempuh rute independen, yang mana susah untuk dilalui. Mungkin karena orang jarang melaluinya. Karena itulah Ahok tidak melewati jalur itu pada Pilgub DKI 2017. Atau paket NERA di Manggarai Timur gagal melalui jalur ini pada Pilkada serentak 2018.

Tapi, ROMA bisa membadainya. ROMA sukses menyingkirkan dua pasangan lain dari jalur partai politik dan mencatatkan sejarah baru dalam politik Sikka sebagai paket independen pertama yang memenangi Pilkada Sikka. Hal ini juga sekaligus membuktikan bahwa Sikka adalah barometer politik NTT.

Prosedur demokrasinya (Pilkada) pun berjalan lancar. Walaupun selama masa kampanye, terjadi perang gagasan. Bahkan saling sindir. Fitnah. Kampanye hitam. Itu biasa.

Namanya juga dinamika politik Pilkada. Semuanya telah usai. Aman terkendali. Tapi pekerjaan besar sedang menanti lima tahun kedepan. Inilah ujian sesungguhnya bagi kabupaten Sikka yang menyandang status barometer politik NTT.

Kunci suksesnya ada pada tangan Fransiskus Roberto Diogo (Bupati) dan Romanus Woga (Wakil bupati). Keduanya resmi memimpin Sikka. Pelantikan di kantor Gubernur NTT, 20 September 2018 awali pengabdian ROMA lima tahun kedepan. Lalu, kepada siapa ROMA akan mengabdi?

***

Menempuh jalur independen, membuat ROMA harus mengumpulkan KTP pendukung. Aturan KPU mematok angka minimal 20.184 KTP. ROMA melampauinya. Artinya kesuksesan ROMA sejak awal sangat ditentukan oleh pengumpul KTP ini.

Memilih jalur independen dan menang, bukan berarti kepemimpinan ROMA berjalan mulus. Ada tantangannya. Salah satunya datang dari rumah kula babong, rumah wakil rakyat Sikka.

Dalam menjalankan visi-misinya, ROMA harus bersinergi dengan wakil rakyat. Tidak bisa tidak. Bagaimana membangun sinergi dengan DPR, itu jadi pekerjaan ROMA kedepan. Mengapa?

ROMA menang berkat KTP. Sedangkan para wakil rakyat terpilih melalui jalur partai politik. Perselisihan kepentingan jelas ada. DPR punya potensi untuk ‘menjegal’ program-program ROMA. Apalagi  anggota DPR lahir dari rahim partai yang berbeda.

Setiap partai membawa misi yang berbeda-beda. Juga membawa kepentingan yang berbeda-beda pula. Kecerdasan politis ROMA diuji di sini. Kalau tidak cerdas, bisa saja ROMA tidak akur dengan wakil rakyat. Atau juga terpelanting dan membangun konspirasi politis dengan wakil rakyat.

Memang ada dua partai yang jelas ‘berkoalisi’ dengan pemerintah. Partai PKB dan Hanura. Pada Pilkada Sikka, dua partai ini keluar dari pakem umum. Keduanya mendukung ROMA dan tidak mengusung kader partai. PKB sudah sedari awal. Diikuti partai Hanura.

Keduanya konsisten hingga garis finis. Terbukti paket yang mereka dukung menang, menduduki kursi Sikka satu dan Sikka dua. Walaupun hanya mendukung, dua partai ini telah menanamkan saham politiknya untuk kemenangan ROMA. Bukan tidak mungkin, ada laba yang lagi dinanti.

Kemenangan ROMA dalam Pilkada Sikka juga tidak lepas dari peran tim sukses. Doa. Tenaga. Dana. Itulah yang telah mereka sumbangkan. Memang tidak sia-sia. Perjuangan tim sukses membuahkan hasil yang sempurna. Pekerjaan mereka berakhir dengan dilantiknya ROMA menjadi bupati dan wakil bupati.

Timbal balik tanggung jawab bisa saja berlaku. Tim sukses bertanggungjawab memenangkan ROMA. Hal itu sukses. Sekarang, ROMA pun memiliki tanggung jawab politis untuk ‘balas budi’.

Di atas segalanya, rakyat Sikkalah yang memenangkan ROMA. Penentuannya di TPS pada 27 Juni 2018 lalu. ROMA mendulang 63.039 suara. Melampaui hitungan angka ini, sesungguhnya kemenangan ini adalah kemenangan rakyat Sikka sendiri.

***

Kepada siapa ROMA mengabdi? Bisa saja kepada orang-orang yang mengumpulkan KTP dukungan. Alasannya jelas. Berkat KTP yang dikumpulkan, ROMA lolos dalam pencalonan melalui jalur independen.

Meskipun menang lewat jalur perorangan, ROMA juga bisa saja mengabdi pada kepentingan dewan terhormat. Untuk melolos programnya, ROMA bisa saja tunduk di bawah kepentingan DPR.

ROMA bisa juga mengabdi pada kepentingan PKB dan Hanura. Mengingat kedua partai ini punya andil dalam kemenangan ROMA. Bisa juga mengabdi pada kepentingan tim sukses. Balas budi melalui bagi-bagi proyek bisa saja terjadi.

ROMA juga memiliki kemungkinan untuk mengabdi kepada rakyat Sikka. Hal ini akan terwujud bila ROMA menyelami visi-misinya. Dengan tagline hadir bersama rakyat, ROMA mungkin sekali untuk mewujudkan janji pemenuhan hak-hak dasar masyarakat kabupaten Sikka.

Semua hal ini sangat tergantung pada komitmen politik pemimpin Sikka ini. Tapi menarik untuk mengutip lagi pernyataan pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Dr. Otto Gusti Madung.

“Bekerjalah untuk rakyat. Itu kampanye politik terbaik dan termurah. Jika anda bekerja untuk rakyat, anda akan terpilih lagi,” tuturnya. (*)

Jualan Dedak, Hilde Jaju Raup Dua Juta Rupiah Sehari

0

Hilde Jaju bersama suaminya meraup dua juta rupiah per/hari dari hasil penjualan dedak padi. Mereka menjalankan usaha penjualan dedak di depan Stadion Gelora Samador Maumere, Kelurahan Kabor, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka.

Pasangan suami istri itu sudah menjalankan usaha kecil menengah (UKM) penjualan dedak selama kurang lebih enam tahun.

Hilde Jaju saat ditemui EKORA NTT di tempat kerjanya, awal Desember 2018 lalu mengatakan, nama UKM penjualan dedaknya adalah Sinar Gelora. Sebab, posisi usaha itu terletak persis di depan Stadion Gelora Samador Maumere.

Menurut Hilde, usaha penjualan dedak sudah mulai dirintis beberapa tahun yang lalu. Dedak diperoleh dari seorang ibu asal Bima bernama Sri.

“Dulu, suami saya ojek, tetapi bertemu dengan Ibu Sri. Ibu Sri menawarkan suami saya untuk berjualan dedak,” katanya.

Hilde mengatakan, usaha penjualan dedak merupakan sebuah rahmat. Sebab, berkat penjualan dedak selama lebih dari tiga tahun, mereka dapat membantu keluarga melakukan renovasi rumah dan menyekolahkan anak.

“Setiap hari, dedak selalu habis terjual. Harga dedak adalah Rp2800 per/kilogram. Keuntungannya diperoleh lewat penjualan, baik per/kilogram maupun per/karung,” katanya.

Hilde mengatakan, ada tiga tantangan yang mereka hadapi dalam usaha penjualan dedak. Tiga tantangan itu adalah pertama, persaingan di antara kompetitor, kedua, kekurangan waktu dan ketiga, kekurangan tenaga kerja.

“Tiga hambatan itu cukup dirasakan. Ketiganya memiliki beban yang relatif berbeda. Saya harus urus anak, tiba-tiba orang sudah datang beli dedak. Saya pusing. Apalagi, anak-anak masih kecil dan bersekolah,” katanya.

Menurut Hilde, beberapa hambatan ini menyebabkan pendapatan dari usaha penjualan dedak menurun.

”Pada awal mula usaha ini dibangun, pendapatan kami bisa mencapai Rp6-7 juta per/hari. Namun, sekarang, dengan banyaknya kompetitor, pendapatan kami berkurang mencapai Rp2 juta per/hari,” jelas Hilde.

Hilde mengatakan, selain usaha penjualan dedak beras, dirinya dan suami juga sempat menjalankan usaha penjualan dedak jagung. Ada dua jenis dedak jagung yang dijual, yakni dedak jagung berwarna putih dan dedak jagung berwarna kuning.

“Kami pernah menjualnya dengan harga Rp6000 hingga Rp7000 per/kilogram, tetapi lama baru laku. Jadi, kami tidak mau jual lagi,” katanya.

Hilde mengatakan, banyak pelanggan sudah mulai membangun kerja sama. Para pelanggan itu antara lain berasal dari Larantuka dan Sabu yang sudah lama menetap di Maumere.

“Mereka sudah lama bekerja sama dengan kami. Jadi, kami bersyukur,” katanya.

Albert Gerson Unfinit, Musisi Nian Tana di Kota Seribu Candi

0

Musisi Albert Gerson Unfinit atau yang melambung dengan nama panggung Black Finit adalah pria berdarah Maumere, kelahiran 11 Maret 1983.

Alumnus SMPK Frater Maumere ini sejak kecil, bahkan sebelum masuk Sekolah Dasar, sudah jatuh cinta dengan dunia seni. Mulai dari lukis, musik, vokal, lawak, hingga puisi, semuanya dia tekuni.

“Tidak ada darah seni dari keluarga besar. Saya sendiri bingung tapi ini jalan saya,” katanya kepada Ekora NTT ketika diwawancarai 10 November 2018 lalu.

Dia pun berkisah, tahun 2000-an kota Maumere masih jauh dari industri musik. Belum ada studio rekaman. Namun, optimismenya terhadap musik menguatkan langkah dia ke kota seribu candi Yogyakarta.

Alhasil, pada awal tahun 2002, dia pun memulai proyek solo bergenre reggae dengan nama “Black Finit”. Meskipun begitu, sebelum akhirnya jatuh cinta dengan reggae, aliran punk dan rock sudah lebih dulu dia coba.

Pada 25 November 2011 lalu, pria yang akrab dengan tatanan rambut ala dreadlock ini merilis album EP berisi 6 lagu melalui labelnya sendiri Gong Waning Production. Pada tahun 2015, album penuh pertamanya “Digiyo Digiye” dirilis dan berisikan 11 lagu.

Tahun 2017, Gerson pun diajak berkolaborasi oleh produser Grayce Soba (Soba Studio) untuk merekam beberapa lagu bergenre EDM (Electronic Dance Music) yang mana Gerson memainkan gitar sekaligus bernyanyi. Kolaborasi ini melahirkan beberapa single, di antaranya Mims, No rules dan Pink Dinner.

Bagi Gerson, setiap penikmat musik berhak memberi predikat pada jenis musik mana pun. “Reggae itu istimewa, dia adalah jenis musik eksklusif,” tambahnya.

Dan, hal yang menjadikan reggae istimewa terletak pada lirik lagu yang tak lepas dari pesan damai. Hal itu menjadi titik awal Gerson menentukan orientasi musiknya. Siapa yang tak kenal Bob Marley? Legenda musik reggae yang satu ini adalah inspirasi pertama Gerson dalam bermusik.

Kemudian, jelang akhir tahun 2018 Black finit meluncurkan satu single berjudul “Bukan Puisi” terinspirasi dari karya seniman Yogyakarta. Lagu ini menggambarkan bagaimana seseorang mensyukuri kehidupan dengan segala keindahan alam juga keberagaman manusianya.

Agama, suku, ras bahkan pilihan politik yang berbeda harusnya bukan menjadi halangan untuk tetap menjaga nyala api toleransi terhadap keberagaman di Indonesia saat ini.

Tak tanggung-tanggung, Gerson Finit juga membawa kebudayaan bahasa daerahnya ke dalam karya seninya. Misalnya dalam penggalan lirik lagu Bukan Puisi sebagai berikut, “Imung deung teba tar, ganu dala reta lero wulan”, yang berarti, teman baik berserakan, seperti bintang di tempatnya matahari dan bulan.

Gerson memang sengaja meminta ruang dalam lagu Bukan Puisi untuk tetap punya nyawa Maumere. “Belum sempurna tanpa kalimat itu,” ungkapnya.

Namun, tidak hanya pada lagu tersebut, isian-isian lirik pada lagu-lagu sebelumnya juga banyak menggunakan bahasa daerah Sikka. Tentu saja, lewat itu Gerson berupaya melestarikan dan memperkenalkan kebudayaan Maumere kepada penikmat musik reggae di seluruh Indonesia.

“Bahasa daerah adalah salah satu kebudayaan yang wajib dilestarikan anak daerah,” tambah dia.

Selain itu, dalam kaitannya dengan isi lagu, Gerson Finit sepakat bahwa karya lagu yang bagus adalah yang berbahasa santun, bila mengkritik harus solutif dan dengan nada yang sedap ditelinga. 

Lalu, pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana musisi dari timur seperti Gerson Finit diterima, bertahan bahkan berkembang di Yogyakarta. Dia bilang, kuncinya adalah pantang menyerah.

“Saya coba dari studio ke studio, duduk ngobrol dengan musisi besar di sini,” kata pria Waipare, Maumere ini.

Selain itu, menurutnya jaringan pergaulan lintas etnis juga harus diperluas. Dan harus bergaul juga dengan orang dari beragam keahlian sebab ada banyak hal positif yang bisa diambil dari proses tersebut.

Pergaulannya dengan semua orang dari kelas sosial apa saja, seperti kaum tunasusila, pecandu obat, dan mantan narapidana tak sedikit berimbas pada penilaian negatif dari orang lain.

“Sudah biasa, nanti juga mereka mengerti,” tandasnya.

Di akhir obrolan dengan Ekora NTT, Gerson meminta anak muda Maumere untuk tidak takut mengeksplorasi kemampuan diri dan jangan menyia-nyiakan ide yang ada di kepala.

Dan yang terakhir, yang menarik,  dia katakan, “Jangan lupa ajak teman-teman kita, jangan berjuang sendiri.”