Kondisinya Makin Runyam: Nasib Korban Kekerasan Seksual di Meja Adat

Maumere, Ekorantt.com – Keterikatan dengan hukum adat, membuat masyarakat menjadikan lembaga adat sebagai opsi untuk menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi, termasuk kekerasan seksual. Sayangnya penyelesaian kasus-kasus tersebut tidak berpihak kepada korban.

*

Perjalanan menuju kampung kelahiran Mude (bukan nama sebenarnya) berjarak 40 kilometer dari hiruk-pikuk kota Maumere. Suasana sepi sangat terasa di sepanjang perjalanan. Desa tempat Mude tinggal, sangat sering dijumpai tanjakan, jalanan berkelok. Banyak juga jalanan dengan lubang menganga.

Di desanya, beberapa tahun belakangan, kabar soal kasus kekerasan seksual sering kali terjadi. Mude menjadi salah satu dari sekian perempuan malang itu: jadi korban kekerasan seksual.

Usianya kini 23 tahun. Ia tak menamatkan pendidikan SD, dan memilih menghabiskan masa remaja dengan merantau ke Kalimantan. Ia juga pernah menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) di salah satu kerabat. Pada akhirnya ia memutuskan kembali ke rumah dan menjadi petani.

Lokasi kebun milik orang tuanya itu bersebelahan dengan kebun milik si pelaku kekerasan seksual yang berusia 30-an tahun lebih tua dari Mude. Mude kemudian hamil. Sang ibu, Yani (bukan nama sebenarnya), baru mengetahui tindakan pelaku, saat kandungan Mude menginjak usia 7 bulan.

“Saya tanya ke dia, nona, siapa yang buat (menghamili) kau begini?” Yani menanyakan itu saat ia menemukan Mude sedang menangis di kamar. Baru saat itu, Mude mengakui bahwa ia hamil. Ia juga menyebutkan nama pelaku.

“Dia menunjukkan uang Rp50.000 kepada saya, dan bilang bahwa uang ini diberikan oleh pelaku saat mengajaknya berhubungan badan,” kata Yani dalam bahasa daerah.

Yani dan suami atau ayah Mude kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada ketua RT dan Linmas tingkat desa. Laporan mereka ditindaklanjuti. Pertemuan keluarga besar dari pihak ibu dan ayah Mude pun berlangsung, dan selanjutnya dipertemukan dengan keluarga besar si pelaku.

Pada hari yang ditetapkan, pelaku bersama keluarganya datang membawa tua wawi (moke dan babi; untuk ritus denda adat) serta uang tunai, babi, sarung dan moke untuk denda adat. Keluarga Mude menolak barang-barang bawaan dari pelaku.

“Tapi mereka tidak kasih watu tanah (bidang tanah) untuk anak kami,” kata Yani.

Pelaku dan keluarganya bersikeras untuk tidak memberikan bidang tanah kepada pihak korban dengan alasan karena hal ini tidak ada di kesepakatan awal. Pun jika memberikan watu tanah, anak yang dilahirkan harus diambil dan diserahkan kepada keluarga pelaku. Tentu saja keluarga Mude menolak.

Terdapat celah-celah yang sangat mungkin dimasuki dalam penyelesaian kasus Mude: ia bisa saja menjadi objek dari denda adat, atau mereka bisa saja menuduh Mude dan menyatakan bahwa hubungannya dengan pelaku atas dasar mau sama mau.

Penyelesaian adat kasus Mude membuat runyam dan menggantung. Dan akhirnya tak ada kesepakatan apa-apa karena kesepakatan tersebut merugikan Mude sebagai korban.

Pada akhirnya Mude tak mendapatkan keadilan apapun. Keluarganya sendiri yang mengusahakan biaya persalinan dan merawat Mude serta bayinya. Sang pelaku masih bebas dan tidak mendapatkan sanksi adat.

Korban seharusnya berhak menuntut haknya termasuk ganti rugi, namun itu juga tak bisa diselesaikan.

Kasus ini menambah deret kasus kekerasan yang tak bisa diselesaikan oleh lembaga adat karena keputusan adat justru merugikan perempuan korban. Situasi yang sama ditemukan oleh Tien Handayani Nafi dkk, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Pada tahun 2015, mereka melakukan riset berjudul “Peran Hukum Adat dalam Menyelesaikan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Kupang, Atambua, dan Waingapu”. Penelitian ini menggunakan studi literatur data sekunder dari lembaga-lembaga layanan penanganan kasus kekerasan bagi perempuan, wawancara, dan pengamatan terlibat.

Salah satu temuan dalam penelitian ini menyatakan bahwa korban kekerasan seksual justru bisa dinikahkan dengan pelaku jika diselesaikan di lembaga adat. Jika korban menolak, maka kasus ini akan dibiarkan menggantung. Penyelesaian kasus ini tentu saja merugikan korban. Akibatnya, kasus kekerasan macam ini jarang diselesaikan secara adat.

Pada kasus lain, seorang anak berusia 12 tahun yang mengalami kekerasan seksual oleh keluarga angkatnya tidak mendapatkan keadilan apapun karena kekerasan yang ia alami tidak dilaporkan ke polisi atau lembaga adat.

Penelitian ini juga menyebutkan dalam masyarakat yang masih memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat dan nilai-nilai sosial budaya yang dianggap mengikat, kasus kekerasan terhadap perempuan lebih banyak diselesaikan melalui hukum adat ketimbang melalui ranah hukum negara.

Mekanisme melalui hukum adat ini dipilih karena dianggap mampu memulihkan hubungan antara keluarga pelaku dengan keluarga korban ataupun dengan masyarakat setempat.

Bagaimana sebenarnya alur penyelesaian kasus kekerasan seksual oleh lembaga adat?

Fransiskus Gelar, ketua lembaga adat di Desa Bloro, Kecamatan Nita menjelaskan kepada saya bagaimana alur menyelesaikan laporan kekerasan seksual dari warga desa. Lembaga adat di desa Bloro dibentuk pada tahun 2016, plus upaya menuliskan hukum-hukum adat yang telah ada di masyarakat. Hukum-hukum itu dijadikan Peraturan Desa (Perdes), sebuah usaha untuk memberi jiwa pada hukum adat dan diharapkan menjadikannya lebih kuat.

Fransiskus duduk bersama lima anggota lainnya dalam lembaga adat yang terwakilkan dari setiap dusun dan salah satu anggotanya adalah perempuan. Ia menyebutnya sebagai tim.

Bagaimana alur penyelesaian kasus kasus kekerasan seksual? Mulanya laporan diterima oleh ketua RT atau ketua RW untuk memediasi antara korban dan pelaku. Kemudian, keluarga korban dan keluarga pelaku akan dipertemukan.

Dalam pertemuan itu, korban pun turut dipertemukan dengan pelaku, dan lembaga adat ikut hadir. Pengadilan adat dimulai dengan sumpah adat. Pengadilan ini pun tidak mengharuskan pelapor untuk menyertakan bukti ataupun sanksi. Yang utama adalah pelaku telah mengakui perbuatannya.

Ketua RT/RW sebagai pemerintah desa bertugas memimpin ‘sidang’ dan bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus ini hingga selesai. Lembaga adat bertugas untuk mendampingi dan dipercayakan untuk menjalankan ritus-ritus dalam ‘pengadilan’ kasus tersebut dan memberikan sanksi-sanksi adat atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku.

Sanksi-sanksi adat dapat berupa barang: sarung, baju, kuda, babi, gading, uang tunai; hingga pengusiran dari kampung. Sanksi-sanksi itu diperhitungkan berdasarkan butir-butir hukum adat apa saja yang dilanggar dalam kasus tersebut.

Jika kasus kekerasan seksual, pemulihan nama baik dilakukan dengan memberikan utan labu (sarung dan baju) kepada korban. Sanksi adat lain berupa kuda, gading, dan uang tunai. Jika korban hingga memiliki anak, maka watu tana (bidang tanah) harus diberikan tanpa harus mengambil anak tersebut untuk masuk ke suku si pelaku.

Jika kesepakatan selesai, tua wawi (arak dan babi) akan diolah dan dimakan secara bersama-sama oleh orang-orang tua yang hadir termasuk lembaga adat. Makanan ini harus dihabiskan dan tidak boleh dibawa pulang ke rumah. Tua wawi menjadi ritus penutup.

Usai perkara adat selesai, hukuman sosial yang harus dijalankan oleh pelaku adalah bong atau berteriak dari rumahnya ke rumah adat (diganti dengan kantor desa setempat). Bong dilakukan untuk mengumumkan kesalahannya disertai pesan agar masyarakat lain tidak melakukan kesalahan yang sama.

Kesepakatan lain bersama masyarakat adalah perkara yang sudah diselesaikan tidak boleh diungkit lagi dan tidak boleh diceritakan. Hal ini untuk menghindari stigma kepada korban.

Sanksi adat yang besar disertai hukuman sosial yang keras dianggap memiliki kemampuan untuk memberikan efek jera kepada masyarakat dan memberikan keadilan bagi korban dan pelaku. Namun, mengapa kasus seperti yang dialami Mude tidak selesai? Mengapa masih ada kasus serupa di desa lain yang memiliki lembaga adat? Bagaimana jika denda adat malah menormalisasikan kekerasan seksual?

Satu hal lain yang tertinggal dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di meja adat: pemulihan korban secara psikologis. Bagian ini terlupakan dan korban membawa lukanya seumur hidup.

Apa yang salah?

Penyelesaian kasus kekerasan seksual di lembaga adat yang kini ada disadari betul tidak cukup ideal oleh Viktor Nekur, seorang pengacara sekaligus aktivis hukum adat di Flores sejak 2012. Ia mengajak saya untuk melihat ke belakang guna menjawab pertanyaan besar yang saya punya: apa yang menjadi persoalan utama dari penyelesaian perkara kekerasan seksual di lembaga adat? Apakah penyelesaian di meja adat menjamin bahwa tidak ada stigma yang diemban oleh korban? Mengapa dalam proses penyelesaiannya justru harus mempertemukan korban dan pelaku dan keduanya diberikan porsi yang sama dalam menyelesaikannya, padahal korban harus mendapatkan haknya dibanding pelaku. Mempertemukan korban dengan pelaku juga seharusnya tak boleh dilakukan karena membangkitkan kembali trauma korban.

Sejak dahulu, nenek moyang masyarakat menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan perkara-perkara di masyarakat hingga akhirnya kolonialisme datang dan menghancurkan struktur hukum adat. Saat kemerdekaan, Indonesia mulai meraba-meraba untuk menemukan pijakan hukum baru. Salah satu upayanya adalah mengadopsi hukum dari penjajah. Upaya lainnya adalah menggunakan hukum adat yang masih berlaku di masyarakat, terutama di masyarakat adat.

Indonesia sendiri mengakui hukum adat dan tertuang pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Perlu digaris bawahi pada pasal ini: negara hanya mengakui hukum adat, selama masih hidup.

Viktor kembali menjelaskan bahwa keadilan hukum adat dapat ditegakkan jika dua unsur penting terpenuhi: struktur hukum adat dan materi atau substansi hukum adat. Dua unsur tersebut akan membentuk budaya hukum yang baik.

“Di adat ini, ketika struktur adatnya hilang atau redup, maka materi hukum atau substansi hukumnya terbang bebas. Bagaimana kita akan mendapatkan suatu budaya hukum yang bagus?” katanya.

Hukum adat berguna untuk menjaga moral masyarakat. Jika substansi hukum yang menjadi pijakan ditafsirkan secara bebas, dan menjadi semakin rapuh, budaya hukum tak sanggup untuk menjaga moral masyarakat. Hal ini turut membuat kriminal sering kali terjadi di masyarakat dan penanganannya tidak cukup baik.

Sebenarnya, jelas Viktor, hukum adat sanggup menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang adil dan berpihak kepada korban. Hukum adat bersifat magis religi, mengikat, dan hukumannya jelas dan sangat keras bagi yang melanggar.

“Bahkan untuk menyentuh tubuh perempuan, harus bayar. Jika sampai punya anak, maka me dopo ama: anak harus mendapat tanah untuk hidupnya kelak, dan ibunya harus mendapat utan patan (sarung). Kasus inses, hukumannya adalah usir dari kampung.” kata Viktor.

Dari obrolan dengan Viktor, ada satu poin penting: hukum adat yang kokoh harusnya cukup ideal untuk menjawab kebutuhan korban kekerasan seksual: pemulihan nama baik, pemenuhan kebutuhannya sebagai seorang perempuan, dan bebas dari stigma masyarakat. Namun karena lembaga adatnya yang tidak kokoh baik struktur maupun substansi hukum, keadilan kepada korban tidak terpenuhi.

Apa yang perlu diperbaiki oleh lembaga adat?

Viktor, memberikan saran untuk memperkuat kapasitas lembaga adat dan pengakuan eksistensi lembaga adat secara formal. Kemudian diikuti dengan pendampingan oleh pemerintah desa pada lembaga adat desa untuk menuliskan kembali adat-istiadat, melestarikan nilai-nilai adat yang masih ada, dan bagaimana menyelesaikan kasus-kasus termasuk kasus kekerasan seksual.

“Pidana dan perdata adat harus dilatih, diselesaikan dan harus diemban oleh pemangku adat,” katanya. Sisanya adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang perlunya penegakan hukum melalui lembaga adat.

Lembaga adat juga harus menjalankan fungsinya selain menangani perkara-perkara adat, yaitu menggali dan mempertahankan nilai-nilai adat yang masih hidup di masyarakat termasuk melestarikan situs-situs adat. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, lembaga adat harus berkoordinasi dengan pemerintah desa.

Yosefina Daku, Dosen Hukum dari Universitas Nusa Nipa juga memberikan pandangannya tentang hukum adat dan perannya dalam menyelesaikan kekerasan seksual.

“Lembaga adat adalah mitra antara masyarakat adat dengan pemerintah. Bagaimana lembaga adat melindungi masyarakat adat ini jika masyarakat adat tidak menghidupi hukum-hukum adat?”

Yofin menegaskan bahwa masyarakat turut berperan serta untuk menghidupkan kembali hukum-hukum adat di wilayahnya. Lembaga adat harus paham betul tentang hukum-hukum adat. Lembaga adat harus punya aturan untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual, termasuk memiliki proses beracara secara adat. Substansi penyelesaian harus diatur. Struktur dan pedoman harus dimiliki oleh orang-orang yang menjabat di dalam lembaga adat. Lembaga adat juga perlu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, kebutuhan, dan kondisi masyarakat.

Yofin memberikan pandangannya nyaris sama seperti Viktor. Mereka menyarankan agar lembaga adat harus berbenah demi tuntutan dari permasalahan-permasalahan di masyarakat. Namun, perlu diingat bahwa butuh waktu lama untuk mencapai sebuah lembaga adat yang kokoh. Terlebih jika telah bersinggungan dengan kapitalisme, tantangannya pun menjadi berbeda.

Melihat situasi sekarang, apakah masih relevan jika kasus kekerasan seksual diselesaikan oleh lembaga adat?

“Tidak relevan lagi jika tidak ada proses yang jelas di lembaga adat, tidak ada orang yang ditunjuk untuk menjadi kepala adat untuk bisa mewakili kelompok-kelompok yang berseteru,” kata Yofin.

Yofin juga mengatakan bahwa hukum adat menjadi tidak relevan jika tidak menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekarang, termasuk kebutuhan korban untuk pemulihan.

Dulu, penyelesaian kekerasan seksual di ranah hukum formal masih tertatih-tatih, tapi kini kita sudah ada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Seharusnya masyarakat bisa menggunakan UU ini tanpa terkekang oleh adat. Namun jika masyarakat harus menggunakan lembaga adat, maka ketentuan adat harus berubah seperti UU TPKS  yang sangat progresif, aturan adat bisa mengadopsi hukum formal yang progresif.

Oleh: Carlin Karmadina (Volunteer Maumere TV)

*Artikel ini merupakan hasil beasiswa peliputan “Perempuan Berdaya di Media” oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos dalam Kemitraan Program We Lead yang didukung Global Affairs Canada. Isi seluruh artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Stunting dan Perilaku (Tidak) Sehat

0

Oleh: Lasarus Jehamat*

Menurut klasifikasi kesehatan, beberapa hal berikut diidentifikasi sebagai penyebab stunting, yakni rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani.

Disebutkan, faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab anak stunting. Jika ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik kepada bayi dan anaknya maka peluang munculnya stunting sangat tinggi.

Selain itu, ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak.

Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi Balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%).

Ricardo (dalam Bhutta, 2013) menyebutkan balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun (sehatnegeriku.kemkes.go.id, 03/09/2022).

Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, masih ada 15 kabupaten di NTT yang berkategori merah dalam kasus stunting. Status merah berarti prevalensi stunting NTT masih di atas 30 persen (Kompas.com, 03 Maret 2022). Data menunjukkan, tren prevalensi stunting di NTT fluktuatif, yakni 24 (2020), 20,9 (2021) dan 22,7 (Februari 2022).

Secara umum, lima belas kabupaten yang masuk kategori merah stunting adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Kabupaten TTS dan TTU memiliki prevalensi di atas 46 persen.

Tujuh kabupaten dan kota berstatus kuning dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, di antaranya Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur. Tiga daerah seperti Kabupaten Ngada, Sumba Timur dan Negekeo mendekati status merah. Tidak ada satu pun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni berprevalensi stunting antara 10 hingga 20 persen.

Ada adagium penting yang harus diingat terkait stunting. Yang pendek belum tentu stunting, tetapi yang stunting pada umumnya pendek. Saya tidak berpretensi menjelaskan stunting dari aspek kesehatan. Tulisan ini hanya menyoroti stunting dari aspek sebab sosial budaya dan mendiskusikan kebijakan negara di NTT. Selain karena status stunting yang tinggi, kemiskinan ekstrim nyata ada di sini.

Membaca data, fenomena stunting di NTT muncul karena dua sebab sekaligus. Pertama, secara internal, praksis sosial dan beberapa praktik budaya masyarakat cenderung berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental anak serta melanggeng masalah sosial dan kesehatan pada giliran berikutnya.

Kedua, secara eksternal, negara mesti bertanggung jawab atas semua kebijakan ekonomi yang berdampak pada menurunnya kadar kesehatan masyarakat.

Tulisan ini hanya membahas sebab internal munculnya stunting yakni karena salah praktik budaya dan buruknya kebiasaan sosial masyarakat. Jika sedikit dihubungkan dengan perspektif teoritik, tulisan ini ingin membahas perilaku sosial dan budaya masyarakat NTT.

Patut dicatat bahwa kesaksian yang ditulis di sini lebih pada eksplorasi pengalaman individu penulis terkait pola didik dan perilaku sehat masyarakat jika dihubungkan dengan salah praktik sosial dan budaya.

Salah Paham Sosial Budaya

Aturan kesehatan menunjukkan selain kondisi fisik dan lingkungan, kebijakan, dan lain-lain, kesehatan calon ibu dan pola hidup calon ibu sehari-hari sangat berpengaruh pada status kesehatan bayi dan anak. Dengan demikian, kadar gizi anak-anak, laki-laki dan terutama perempuan harus menjadi perhatian bersama.

Menariknya, masih terjadi pada masyarakat kita, di beberapa tempat, saat ideologi patriarki masih melekat kuat dan dipraktikkan di ruang sosial masyarakat, posisi anak perempuan dan calon ibu nyata-nyata kurang dihiraukan baik secara sosial maupun dari aspek kesehatan.

Fakta anak laki-laki menjadi prioritas agak sulit dibantah. Realitas seperti ini memang perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Hanya, untuk satu dua kasus, di beberapa tempat di NTT misalnya, anak perempuan tidak boleh makan bersama dengan yang lain. Perempuan baru boleh makan jika kelompok yang lain sudah selesai makan. Setelah mencuci piring dari kelompok laki-laki, perempuan baru bisa makan. Fakta orang tua makan lebih dahulu dari anak-anak dan perempuan masih menadi pemandangan sosial di beberapa tempat.

Menariknya, pada beberapa tahun lalu, ada semacam hukum sosial yang menarik saat menyantap makanan bergizi, seperti mengkonsumsi daging ayam. Saat mengkonsumsi daging, pada periode tersebut, orang tua (ayah) biasanya menyantap bagian isi daging, sedangkan anak-anak mendapatkan bagian kepala, tulang dan sayap ayam yang disembelih itu.

Salah kaprah sosial dan budaya tersebut didukung penuh oleh masuknya pasar ke masyarakat melalui produk instan andalannya. Melalui produk tersebut, penyedap rasa dijadikan alat untuk memengaruhi lidah masyarakat terutama lidah bayi dan anak-anak. Yang terjadi kemudian ialah bayi lebih sering melahap makanan yang telah dicampur dengan kuah mie instan ketimbang dengan kuah sayur atau kacang-kacangan.

Merujuk pada kasus di atas, menurut saya ada dua sebab utama merebaknya gejala stunting di NTT. Konfigurasi sosial, budaya, dan adat, serta ideologi menyebabkan calon ibu terus ditekan. Determinasi ideologi patriarki berimplikasi pada penyudutan perempuan ke ruang sempit rumah fisik dan sosial budaya.

Akibatnya, aspek kesehatan ibu dan calon ibu sungguh diabaikan. Inilah yang menjadi salah satu sebab awal merebaknya stunting di daerah ini.

Pada bagian lain, negara dan modal mendeterminasi kaum perempuan melalui produk yang dibawa sampai ke desa. Galibnya, negara bisa memiliki dua wajah sekaligus; sebagai aparatus pelayan masyarakat dan sebagai media dan pintu masuknya modal ke masyarakat.

Hemat saya, melalui dua wajah ini, negara berhasil memporakporandakan kekuatan masyarakat dalam menjaga kesehatan.

Memeriksa Perilaku Sosial Budaya

Perilaku sosial budaya harus diperiksa dan diintervensi. Model intervensinya bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, negara dituntut untuk kembali ke jalan yang benar dengan menampilkan dan mempraktikan wajah humanis.

Dengan kata lain, negara dilarang menunjukkan muka setan yang memfasilitasi semua kepentingan modal ke masyarakat. Termasuk di dalamnya ialah memfasilitasi kepentingan lembaga lain di luar negara dan modal yang bertujuan memengaruhi kekuatan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar secara hegemonik.

Oleh karena itu, penguatan kapasitas perempuan, orang tua, dan masyarakat harus terus dibangun. Proses itu memang membutuhkan waktu yang lama. Untuk jangka pendek, proses peningkatan kapasitas dilakukan melalui semua jalur dengan kesehatan sebagai garda terdepan.

Setelah lembaga kesehatan, lembaga pendidikan, ekonomi, pertanian, adat, dan lembaga lain harus bahu-membahu mengkampanyekan kepedulian terhadap ibu, calon ibu, bayi, dan anak-anak untuk menghentikan peningkatan pertumbuhan angka stunting. Termasuk di dalamnya ialah penguatan kelembagaan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal.

Secara horizontal, kampanye perbaikan perilaku tidak sehat menjadi perilaku sehat, perlu mengandalkan kerja sama semua pihak dengan basis saling menghargai dan saling mendukung. Sebab, stop stunting saat ini tengah menjadi program seksi yang bukan tidak mungkin penuh dengan lumuran kepentingan.

*Penulis adalah Dosen Sosiologi Fisip Undana; Koordinator Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata Undana; Peneliti Teras Demokrasi Indonesia (TDI)

Pengaruh Permainan Bisik Berantai terhadap Kemampuan Menyimak Anak-Anak

0

Oleh: Adeltrudis Ina Uding*

1. Latar Belakang

Anak membutuhkan kasih dan perhatian dan kasih sayang dari orang tua yang utuh agar perkembangannya dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Anak juga sangat peka terhadap terhadap rangsangan-rangsangan yang terjadi di dalam lingkungan hidupnya (Hasturi, 2012: 7).

Orang tua sering memiliki impian tertentu terhadap anaknya dan berorientasi penuh akan keberhasilan anaknya. Dalam hal ini, orang tua kadang memaksa anak-anaknya untuk mampu membaca, menulis, dan berhitung dengan baik.

Namun hal yang sering diabaikan oleh orang tua adalah bagaimana kemampuan menyimak yang harus dikembangkan dalam diri setiap anak. Harus disadari perlu adalah menyimak adalah salah satu proses belajar yang sangat baik dalam mengembangkan kemampuan intelektual dalam menafsir gambar, video atau audio yang ditampilkan (Bdk Febry Maghfirah, 2019: 1).

Anak berhadapan dengan satu kenyataan yang mungkin sangat memprihatinkan yakni perkembangan teknologi. Mereka kadang dimanjakan dengan alat-alat komunikasi orang dewasa, bahkan dipaksakan untuk menjadi dewasa. Apalagi berhadapan dengan orang tua yang sangat sibuk bekerja dan jarang ada bersama mereka di rumah.

Tanggung jawab untuk mengasuh lebih banyak diserahkan kepada pengasuh. Berhadapan dengan kenyataan ini, banyak anak yang ditelantarkan dan tidak mengalami kasih sayang yang utuh dari orang tua mereka.

Atas dasar ini, pendidikan anak usia dini harus memerhatikan secara penuh mengenai perkembangan anak. Bukan hanya memerhatikan kemampuan dalam membaca, menulis dan berhitung, tetapi harus diperhatikan secara sungguh adalah bagaimana kemampuan menyimak yang harus dimiliki secara baik oleh anak-anak usia dini. Salah satu sarana untuk membantu bagaimana meningkatkan kemampuan menyimak dari anak usia dini adalah permainan bisik berantai.

2. Mengembangkan Kemampuan Menyimak Melalui Permainan Bisik Berantai

2.1 Kemampuan Menyimak Anak Usia Dini 

Menyimak dari kata dasar simak yang berarti mendengarkan atau memerhatikan secara baik-baik apa yang diucapkan oleh orang lain. Arti yang kedua adalah meninjau. Kemampuan menyimak dalam diri anak usia dini harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.

Banyak anak dalam perkembangannya tidak diperhatikan secara serius kemampuan menyimaknya. Beragam tawaran instan yang telah menggantikan pola asuh anak membuat perhatian akan perkembangan menyimak anak diabaikan. Ketika anak-anak membutuhkan kesempatan untuk mendengar atau memerhatikan; mereka harus berhadapan dengan situasi di mana yang mereka dengar atau mereka simak adalah layar smartphone atau hp.

Selain itu, perhatian orang tua terhadap perkembangan mereka juga terkendala oleh kesibukan yang harus dialami setiap hari. Apalagi orang tua tidak memiliki banyak waktu untuk anak-anak mereka; lebih memilih untuk bekerja daripada memerhatikan perkembangan anaknya. 

Kemampuan menyimak pada anak usia dini harus dilandaskan pada perhatian penuh orang tua dan peserta didik. Apabila peran penting dalam membantu anak usia dini ini diabaikan maka berakibat buruk pada perkembangan intelektual mereka yakni daya ingat dan daya imajinasi akan menjadi berkurang. 

Febry Maghfirah dalam urainnya memaparkan bahwa sangat banyak sekali kegunaan dari kemampuan menyimak, jika kemampuan menyimaknya baik maka beberapa pencapaian perkembangannya pun dapat tercapai dengan  baik.

PERMENDIKBUD (2014) menegaskan tentang Standar  Nasional PAUD yang telah diatur tingkat pencapaian perkembangan bahasa anak usia 5-6 tahun pada kemampuan menerima bahasa yaitu: (Febry Magrhrifah, 2019: 14)

  1. Menjawab pertanyaan yang lebih kompleks.
  2. Menyebutkan kelompok gambar yang memiliki bunyi yang sama.
  3. Berkomunikasi secara lisan, memiliki pembendaharaan kata, serta mengenal simbol-simbol untuk persiapan membaca, menulis dan berhitung.
  4. Menyusun  kalimat  sederhana  dalam  struktur  lengkap  (pokok  kalimat- predikat-keterampilan)
  5. Memiliki lebih banyak kata-kata untuk mengekspresikan ide pada orang lain.
  6. Melanjutkan sebagian cerita/dongeng yang telah diperdengarkan.
  7. Menunjukkan pemahaman konsep-konsep dalam buku cerita.

Dari pemaparan singkat di atas dapat ditemukan bahwa kemampuan menyimak pada anak usia dini sangat diperlukan untuk perkembangan kepribadiannya. Kemampuan ini sangat bermanfaat dalam menerima bahasa dari informan yang ditujukan langsung padanya. Kemampuan berbahasa yang baik mengandaikan adanya kemampuan menyimak apa yang disampaikan secara baik dan benar. Oleh karena itu, anak-anak usia dini perlu diperhatikan secara serius dalam perkembangan dan pertumbuhan mereka.

2.2 Permainan Bisik Berantai dan Manfaatnya bagi Kemampuan Menyimak Anak Usia Dini 

Permainan bisik berantai merupakan satu jenis permainan yang cukup lama dipopulerkan oleh masyarakat. Permainan ini bisa dalam bentuk membaca satu kalimat lalu menyampaikan kepada orang berikutnya selanjutnya disampaikan kepada beberapa orang lagi. 

Yang mau dicapai dari jenis permainan ini adalah apakah pesan awal dan akhir dari proses membaca gambar atau tulisan tersebut dapat dipahami dengan cermat atau tidak.

Permainan bisik berantai membantu orang untuk dapat memahami dengan jelas apa yang disampaikan oleh temannya dan temannya tersebut menyampaikan kepada teman berikutnya sampai orang terakhir. Orang terakhir akan menyampaikan hasil pendengarnya (simakan) dari beberapa teman sebelumnya.

Apabila hasilnya sama maka kelompok tersebut memiliki kemampuan dan kerja sama yang baik. Seandainya terdapat kesalahan dalam mendengar atau menyimak maka hasil dari penyampaian pesan boleh jadi ada kesalahan. 

Permainan bisik berantai memampukan anak-anak usia dini untuk dapat mengembangkan kemampuan menyimak mereka. Kemampuan ini harus diasah atau ditingkatkan demi perkembangan diri anak-anak. Anak-anak lebih mudah mengingat dengan secara lebih teliti akan apa yang telah mereka lalukan.

Permainan bisik berantai membantu mereka untuk menyimak secara saksama akan apa yang disampaikan oleh teman-teman mereka. Konsentrasi yang baik dari seorang anak usia dini, memberikan daya tangkap yang baik dalam menyimak.

Selain itu, dalam permainan bisik berantai dapat meningkatkan daya ingat yang kuat bagi anak-anak. Daya ingat dapat dipacu dengan baik dalam hal-hal sederhana seperti mendengarkan bisikan yang disampaikan oleh teman-temannya.

Aktivitas guru yang sedang melakukan bisik berantai kepada anak-anak/Ekora NTT

Kemampuan untuk menyimak dalam permainan bisik berantai dapat membantu anak-anak usia dini untuk merangsang otak mereka dalam mendengarkan atau menonton sesuatu.

Selain untuk merangsang otak mereka, permainan tersebut membantu mereka untuk menciptakan daya imajinasi untuk merumuskan sesuatu. Hasil dari menyimak dapat membantu mereka untuk menemukan hal mungkin menyenangkan dan menginspirasi. 

Anak-anak usia dini, identik dengan usia bermain. Oleh karena itu untuk membantu membangkitkan kemampuan mereka hal penting yang harus ditempuh adalah melalui permainan. Dengan permainan bisik berantai kemampuan menyimak anak-anak usia dini semakin dipacu.

Usaha yang tidak kalah serius yang harus dilakukan oleh orang tua dan guru pendamping usia dini adalah harus berani mengorbankan waktu dan tenaga untuk hadir dan bersama anak-anak usia dini.

Apabila tidak adanya pendampingan yang serius dari para orang tua dan guru usia dini maka anak-anak akan mengalami krisis perhatian dan pendidikan yang serius. Orang tua dan guru diharapkan untuk mampu bekerja sama dalam proses pembentukan dan pendidikan anak usia dini. 

Usaha untuk menumbuhkan minat anak untuk menyimak harus dikemas dalam suasana belajar dan mengajar yang menarik. Oleh karena itu, melalui media dan permainan dan latihan-latihan sederhana dapat meningkatkan kemampuan mereka dan membantu mereka untuk bertumbuh menjadi orang-orang yang cerdas dan berguna bagi banyak orang. Masa depan anak-anak usia dini menjadi tanggung jawab orang tua dan guru pendamping anak usia dini.

3. Penutup

Perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita dan di dalamnya ada kehadiran dan kelahiran seorang anak. Anak itu lahir dari keluarga. Atas dasar ini, masa depan mereka merupakan tanggung jawab orang tua dan semua komponen yang terlibat di dalamnya (Gilarso, 1996: 1).

Masa depan anak-anak usia dini menjadi tanggung jawab orang tua dan para pendidik anak usia dini.  Di masa usia yang harus dipenuhi dengan beragam permainan, seorang anak usia dini harus benar-benar menikmati masa masanya seturut apa yang semestinya.

Permainan hendaknya membangkitkan kemampuan dan perkembangan mereka. Oleh karena itu, perkembangan mereka harus diperhatikan dengan baik. Permainan yang baik dapat membantu mereka. Permainan bisik berantai diterapkan dalam kehidupan anak usia dini membantu mereka untuk meningkatkan kemampuan menyimak mereka. 

Kemampuan menyimak harus dirangsang demi perkembangan generasi bangsa. Di tengah perkembangan teknologi yang kian menggeliat, usaha untuk mendidik anak-anak usia dini dihadapkan dengan begitu banyak tantangan.

Oleh karena itu, harus ada sikap berkorban yang serius dari semua pihak yang terlibat untuk berperan menciptakan pendidikan yang bermutu bagi generasi penerus bangsa.

Pendidikan bisa berhasil dengan baik mengandaikan bahwa semua orang mau terlibat aktif dalam menjalankannya. Akhirnya, pendidikan anak usia dini dapat berhasil kalau orang tua dan pendidik anak usia dini saling terbuka untuk membangun kerja sama yang baik.

Daftar Pustaka

Gilarso, T (ed) Membangun Keluarga Kristiani., Yogyakarta: Kanisius, 1996

Hastuti, Psikologi Perkembangan Anak., Yogyakarta: Tugu,  2012

Maghfirah, Febry “Pentingnya kemampuan Menyimak Pada Anak Usia Dini”,  Bunga Rampai Usia Emas. 5: 1, Juni 2019

*Penulis Adalah Guru Paud di TK Negeri Pembina Botung

ETMC Lembata: Matim Tahan Imbang Juara Bertahan PS Malaka, Persami Raih Tiga Poin

0

Lewoleba, Ekorantt.com – Juara Bertahan Eltari Memorial Cup 2019 PS Malaka harus puas berbagi angka setelah ditahan imbang Persematim Manggarai Timur 2:2 pada laga awal ETMC 2022 di Stadion Gelora 99 Lewoleba, Jumat (9/9/2022).

Meski PS Malaka Sempat unggul 2:0 pada awal babak pertama melalui Striker Yoko Jehaman dan Tonce Tuna, Persematim berhasil memperpendek selisih gol pada menit ke-31 melalui striker bernomor punggung 10 Febri Tena. Kedudukan 2:1 bertahan hingga akhir babak pertama.

Memasuki babak kedua, masing-masing kesebelasan saling mengancam jala penjaga gawang.

Dewi Fortuna memihak Persematim setelah pada menit ke-70 melalui tendangan sudut, bola mampu merobek gawang Malaka dan mengubah kedudukan menjadi 2:2.

Hasil seri bertahan hingga wasit Abdul Syukur asal Kota Kupang meniup peluit panjang.

Dengan hasil imbang, tim besutan Adrianus Bria Seran itu membuat sang juara bertahan harus berjuang untuk menang di laga kedua melawan Persami Maumere jika ingin lolos dari fase grup.

Perseftim Kalah

Sementara itu, Perseftim harus menelan pil pahit dan menerima kekalahan 0-1 dari Persami Maumere dalam penyisihan Grup A, Sabtu (10/9/2022) pagi.

Pada babak pertama, tepatnya menit ke-21, lewat umpan bola mati, sang striker Persami, Yoris Nono dengan kecepatan tinggi menyambut bola dan melesakkan dengan begitu mudah ke gawang Perseftim. Kedudukan menjadi 0-1.

Perjuangan anak-anak Flores Timur terus meningkat, tapi tampak lini tengah tak membangun gerakan aliran bola yang tepat sasar.

Kristina Temu, warga Hokeng yang sudah lama menetap di Lewoloba mengatakan, Perseftim harus mengakui kekalahan tersebut karena matinya lini tengah dan belakang.

“Setengah mati, tetapi tetap semangat. Kami tetap mendukung Perseftim,” kata perempuan asal Lewotobi, Kecamatan Ile Bura tersebut.

Dengan kemenangan tipis 1-0 atas Perseftim, Persami Maumere berhak memeroleh 3 poin penuh, sementara Perseftim harus menerima akhir perjuangan tanpa angka.

Wakili NTT di Pesparani Tingkat Nasional, Bupati Djafar Apresiasi Tim PSDC Ende

0

Ende, Ekorantt.com – Kelompok Paduan Suara Dewasa Campuran (PSDC) asal Kabupaten Ende berhasil meraih juara satu dalam perhelatan Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) Katolik II Tingkat Provinsi NTT di Kupang pada 4-7 September 2022.

Otomatis mereka akan mewakili Provinsi NTT dalam Pesparani tingkat nasional.

Bupati Ende Djafar Achmad mengapresiasi keberhasilan tersebut. Bahkan, ia ikut memberikan dukungan secara langsung tim PSDC Ende pada puncak penyelenggaraan Pesparani di aula Immaculata Unwira Kupang.

“Meski tidak juara umum. Saya memberikan apresiasi kepada tim Pesparani Asal Kabupaten Ende yang tampil bagus. Terutama paduan suara yang berhasil menjadi juara dan mewakili NTT ke tingkat nasional,” ujar Bupati Djafar.

Sementara itu, Ketua Kontingen Pesparani Kabupaten Ende Laurentius D. Gadi Djou mengaku bangga dengan prestasi yang ditorehkan tim PSDC Ende. Prestasi ini menjadi kado untuk seluruh masyarakat Kabupaten Ende.

Lori bilang, tidak sekadar meyakinkan dewan juri, tim PSDC mampu bernyanyi dan memuji Tuhan.

“Adik-adik kita mampu memberikan yang terbaik. Salut,” ungkapnya.

Untuk diketahui, Pesparani merupakan sebuah pesta paduan suara gereja Katolik tahunan dan tahun ini baru digelar untuk kedua kalinya pada tanggal 4-7 September 2022 di Kota Kupang.

Sebelumnya dilaksanakan pada tahun 2019, tahun 2020 dan 2021 tidak diselenggarakan karena pandemi Covid-19.

Menariknya NTT juga mendapat kepercayaan untuk menjadi ruan rumah pelaksanaan Pesparani Tingkat Nasional di Kupang pada 28-31 Oktober 2022 yang akan diikuti ribuan peserta dari 34 Provinsi di Indonesia.

Mahasiswa Baru Politeknik St. Wilhelmus Flores Bertambah

0

Mbay, Ekorantt.com – Jumlah mahasiswa baru Politeknik St. Wilhelmus Flores tahun 2022 meningkat yakni mencapai 174 orang dibandingkan tahun lalu 69 orang.

Hal ini disampaikan Direktur Politeknik St. Wilhelmus Flores, Frederikus Lena Jago saat membuka kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) Politeknik St. Wilhelmus Flores di Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo pada Kamis, 8 September 2022.

“Mereka ini datang dari berbagai wilayah yang ada di daratan Flores yakni dari Nagekeo, Ngada, Manggarai Timur, Manggarai dan Manggarai Barat,” ujarnya.

Ia berharap para mahasiswa dapat bertumbuh sehingga dapat berkontribusi bagi keluarga dan masyarakat.

“Dukungan terselenggaranya perkuliahan tersebut datang dari berbagai stakeholders, yang pertama tentunya dari Yayasan St. Wilhelmus yang secara konsisten agar lembaga pendidikan ini terus berkembang dan berdampak bagi masyarakat,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua panitia PKKMB Egidius Taneo menjelaskan PKKMB merupakan tahapan dalam menyiapkan mahasiswa baru untuk menjadi mahasiswa yang dewasa dan mandiri.

“Kegiatan ini juga dapat dijadikan titik tolak pembinaan idealisme, penguatan rasa cinta tanah air, kepedulian terhadap lingkungan, menciptakan generasi yang berkarakter religius, nasionalis, gotong-royong, dan berintegritas”, ujarnya.

Egidius bilang, PKKBM kali ini diikuti sebanyak 135 mahasiswa baru dari 174 mahasiswa baru yang mendaftar.

“Sisanya izin dan akan ikut pada tahun berikutnya,” ujarnya.

Lebih jauh, Egidius menjelaskan bahwa tema PKKBM tahun ini yakni mewujudkan mahasiswa politeknik yang mandiri, berprestasi, berdaya saing, dan menjadi katalis perubahan di era revolusi 4.0.

Untuk diketahui, kegiatan PKKMB ini dilaksanakan di aula kampus Politeknik St. Wilhelmus selama dua hari, 8-9 September 2022.

Isyak Nuka: Tarif Angkutan Umum di NTT Naik 30 Persen

0

Kupang, Ekorantt.com – Dinas Perhubungan Provinsi Nusa Tenggara Timur menaikkan tarif angkutan umum, sebagai imbas dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar dan Pertalite.

Kepala Dinas Perhubungan NTT, Isayak Nuka mengatakan, kenaikan harga BBM tentu menimbulkan gejolak di tengah masyarakat, terutama para operator angkutan umum.

Menurut Isyak, untuk menyikapi gejolak dan aksi masyarakat, pemerintah sudah menandatangani Peraturan Gubernur Nomor 93 Tahun 2022, terkait penyesuaian tarif angkutan umum di NTT.

Dalam Pergub tersebut, besaran tarif dasar batas atas sebesar 30% di atas tarif dasar, dan tarif batas bawah sebesar 20%.

Pergub ini, kata Isyak, menjadi rujukan atau dasar kepala daerah untuk menetapkan tarif angkutan umum di wilayah masing-masing, dan tidak boleh melampaui tarif batas atas 30 persen.

“Pergub sudah diterbitkan dan disampaikan kepada seluruh kepala daerah. Ini langkah gubernur untuk menyikapi aksi yang sudah terjadi di beberapa kabupaten,” ujar Isyak dalam keterangan persnya di Kupang, Kamis, 8 September 2022.

Sementara untuk tarif angkutan laut, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur sedang memproses peraturannya, guna melakukan penyesuaian tarif.

“Mudah-mudahan minggu depan sudah selesai. Karena kenaikan harga BBM jenis Solar dan pertalite ini berdampak pada sektor jasa angkutan darat maupun angkutan laut,” terangnya.

Isyak menambahkan, kenaikan tarif ini hanya berlaku untuk angkutan umum. Sedangkan tarif ojek online (ojol) akan diatur oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dalam hal ini Dirjen perhubungan Darat.

“Jadi tarif yang diatur pemerintah dengan Pergub hanya mengatur kenaikan tarif mulai dari bus berbagai jenis, sampai dengan taxi sebesar 30 persen,” tandasnya.

Kepala Biro Administrasi Pimpinan Setda NTT Prisila Q. Parera mengaku salut dengan sikap masyarakat NTT yang menghadapi kenaikan harga BBM Solar dan Pertalite dengan tenang.

“Pemerintah menyatakan bersyukur situasi NTT sangat kondusif tanpa gejolak di tengah masyarakat. Dan berupaya menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok dan dinamika inflasi sehingga tetap dalam taraf normal. Pemerintah memandang perlu penyesuaian tarif transportasi di NTT,” ungkapnya.

Patrik Padeng

386 Mahasiswa Prodi PGSD Unika St. Paulus Ruteng Ikut Pembekalan Magang II

Ruteng, Ekorantt.com – Sebanyak 386 mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unika St. Paulus Ruteng mengikuti pembekalan magang II di Aula Missio, Jumat, 9 September 2022.

Ketua Panitia Sabina Ndiung,  dalam sambutannya, mengatakan bahwa magang merupakan bentuk pengenalan mahasiswa terhadap sekolah baik menyangkut ekosistem, suasana akademik, maupun budaya yang dibangun yang lakukan secara berjenjang.

“Kegiatan magang II merupakan lanjutan dari program magang I yang berorientasi pada kemampuan merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran secara berkelanjutan yang berorientasi pada murid,” jelas Sabina.

Kegiatan magang II, kata Sabina, juga bertujuan untuk meningkatkan kompetensi-kompetensi keguruan yaitu profesional, pedagogik, personal, dan sosial sebagai calon guru SD.

“Harapannya bahwa melalui kegiatan magang II mahasiswa mampu memiliki kompetensi-kompetensi keguruan dengan  adaptasi pada perubahan kurikulum dan teknologi sesuai dengan tuntutan Pendidikan abad 21,” jelasnya.

Diharapkan juga mahasiswa magang memiliki nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila yaitu beriman, bertawa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkebhinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif untuk mewujudkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

Sementara itu, Ketua Prodi PGSD Unika St. Paulus Ruteng, Mikael Nardi menjelaskan bahwa magang II merupakan suatu tahap penting bagi mahasiswa PGSD dalam mempersiapkan diri sebagai seorang Guru SD.

Nardi berharap agar peserta mengikuti kegiatan ini dengan serius. Dengan begitu, materi yang diperoleh menjadi bekal di tempat magang nanti.

“Apa yang menjadi substansi dari kegiatan magang II betul-betul diterapkan di tempat magang Anda. Oleh karena itu pembekalan menjadi sesuatu hal yang penting untuk kita semua agar kita memiliki kesiapan,” kata Nardi.

“Anda dituntut untuk masuk sekolah, masuk kelas tepat waktu sebagaimana Anda dituntut untuk mengikuti perkuliahan tepat waktu,” tambahnya.

Mahasiswa yang mengikuti magang II juga mengenal lebih jauh visi, misi, dan mimpi-mimpi Prodi PGSD, FKIP Unika Santo Paulus Ruteng dalam mendidik generasi muda Indonesia yang terbuka, demokratis, manusiawi dan berwawasan ekologis.

Untuk diketahui, peserta magang II itu sebanyak 386 orang l, yang terdiri dari dua angkatan yakni angkatan 2019 dan 2020. Mereka akan menjalankan magang di kabupaten Manggarai, kabupaten Manggarai Timur, dan kabupaten Manggarai Barat.

Kontributor: Selvianus Hadun

Pintu Air Cabang Mbay Terus Ukir Prestasi

Mbay, Ekorantt.com – KSP Kopdit Pintu Air Cabang Mbay merayakan HUT ke-8 pada 9 September 2022 dengan terus mengukir prestasi.

Adapun prestasi tersebut seperti penambahan jumlah anggota, aset, dan jumlah sisa hasil usaha (SHU).

Pada Maret 2022, Cabang Mbay keluar sebagai peringkat pertama untuk penambahan jumlah anggota. Kemudian, pada Juli 2022 meraih peringkat pertama pengumpulan SHU dan Agustus 2022 meraih peringkat kedua.

Dalam nada syukur HUT ke-8 tersebut, deretan prestasi merupakan suatu bukti keberhasilan kerja tim besar, baik komite maupun manajer dan segenap staf.

Demikian disampaikan Manajer Area Flores Bagian Barat 2, Maria Margaretha Y. Bupu kepada Ekora NTT, Jumat (9/9/2022).

“HUT kali ini belum kami libatkan anggota, tetapi hanya syukur bersama secara internal saja. Namun kami sadari bila tahun ini merupakan tahun keberuntungan buat kami, karena kami selalu masuk dalam urutan lima besar dari 52 Cabang Pintu Air yang tersebar di seluruh Indonesia,” tutur ibu yang akrab disapa Iva.

Ditambahkannya, pertimbangan untuk tahun-tahun mendatang bakal melibatkan anggota setelah ada komunikasi dengan pimpinan kantor pusat.
Jumlah anggota Cabang Mbay mencapai 8.018 dengan jumlah aset 52,6 miliar lebih.

Dengan mengacu pada angka-angka yang tersaji, Maria bilang, Cabang Mbay menunjukkan tren pertumbuhan yang baik karena terus meningkat.

Sementara itu, dari anggota yang berjumlah 8.018 orang itu diketahui dominan usahanya mereka bergerak di bidang pertanian.

Sedang terbanyak kedua adalah dari usaha dagang, baik kios maupun lapak kecil-kecilan dan sedikit jumlah nelayan.

Menurut pengakuan Maria, untuk penguatan kepada anggota, setiap bulannya selalu ada kunjungan dari manajemen dan komite dalam rangka sosialisasi kebijakan serta penguatan kapasitas literasi berbisnis dan ekonomi rumah tangga.

Febrian Mado: Bertani Hortikultura Praktis Dapat Uang Jangka Pendek

0

Maumere, Ekorantt.com – Tim Leader Yayasan Bina Tani Sejahtra (YBTS) Ganesha Youth Project, Vinsensius Febrian Mado, mengapresiasi keputusan orang muda Desa Dobonuapuu, Kecamatan Mego yang tergabung dalam Poktan Muda Taruna Tani.

Anak-anak muda tersebut juga mengikuti pendampingan khusus dari YBTS untuk menekuni holtikultura.

“Bertani hortikultura itu hal paling praktis untuk mendapatkan uang dalam jangka pendek. Pada saat yang sama teman-teman orang muda sedang melakukan investasi,” demikian sambutan singkat Febrian pada penanaman perdana tanaman tomat Servo F1 Poktan Muda Taruna Tani, Rabu (7/9/2022).

Kegiatan penanaman di lokasi milik Nikolaus Yodi/Ekora NTT

Kegiatan penanaman dilaksanakan di lokasi milik anggota Nikolaus Yodi Pulong dihadiri 11 anggota Poktan, PPL, Team Leader YBTS Ganesha Youth Project beserta staf.

Sementara Staf YBTS Youth Inclusion and Market Connectivity Officer (YIMCO) pada Ganesha Youth Project, Agustinus Kayetanus Wasek mengatakan, kegiatan tanaman perdana salah satu di antara kegiatan pendampingan petani muda holtikultura yang didampingi YBTS lewat Ganesha Youth Project.

Sejak Juni-September 2022, lanjut Agustinus, pendampingan sudah dimulai oleh YBTS bersama BPP Kecamatan Mego lewat sosialisasi program, identifikasi petani muda, pengolahan lahan dan persemaian.

“Saat ini 11 petani muda Desa Dobonuapuu yang didampingi baik pada tahapan pengolahan lahan maupun persemaian. Targetnya September 2022 Poktan Taruna Tani sudah lakukan penanaman,” jelas Agustinus.

Agustinus bilang, ada 3 jenis usaha yang akan dibudidayakan secara khusus yakni cabai, tomat dan melon.

Efren, Ketua Poktan Muda Taruna Tani mengajak teman-temannya untuk semangat bekerja sekaligus berterima kasih kepada YBTS dan PPL yang setia mendampingi mereka sampai saat ini.

Senada dengan Efren, PPL Desa Dobonuapuu mewakili BPP Kecamatan Yustinus Pulong menyemangati petani muda ini dengan slogan “Bersama Kita Bisa”.