Jangan Kalah dengan Mama Maria

Tenun ikat telah menjadi warisan yang berharga dalam tradisi masyarakat kita. Ini sudah semacam paradaban. Menenun juga bisa menjadi tonggak ekonomi keluarga. Itulah yang dialami Mama Maria.

“Menenun bukan lagi pekerjaan sampingan saya”, tutur Mama Maria Felixia ketika memulai perbincangan dengan saya di kediamannya di Kelurahan Madawat, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka awal Januari 2019 lalu.

Ibu tiga anak ini rupanya menghabiskan lebih dari 12 jam dalam sehari untuk menenun.

Perkakas tempurnya adalah “panta” atau seperangkat alat tenun dan beberapa gulungan benang. Meskipun telah memasuki senjakala usia, semangat dia tak kendor sedikit pun.

Apalagi Mama Maria juga tergabung dalam Kelompok Tenun Ikat Maumere Wenda bersama lima penenun lainnya. Tentu ini merupakan bagian dari pelestarian kebudayaan tradisional yang patut diapresiasi.

iklan

Berdasarkan pengakuannya, kelompok tersebut dibentuk dengan harapan untuk mempermudah akses pemasaran.

“Dari guling benang, ikat, celup, tenun, sampai siap  dipasarkan, semuanya kami kerjakan sendiri di kelompok tenun ini,” pungkasnya.

Aktivitas menenun memang telah mendarahdaging dan dia lakukan itu sejak masa kecilnya. Keahliannya dalam menenun didukung kondisi lingkungan kala itu, yang mana sudah menjadi kewajiban bagi anak perempuan untuk lihai menggunakan alat tenun, bermain-main dengan motif ataupun memintal benang.

Tak dapat dimungkiri, dia pun mengomentari tipikal kaum muda masa kini yang menurutnya menjadi generasi instan.

“Anak zaman now ini tidak tahu apa-apa, mereka hanya tahu mesin,” keluhnya.

Dan keberadaan mesin itu sendiri nyaris menggantikan alat-alat kerja yang telah lama digandrungi para penenun tenun ikat seperti dirinya.

Namun, sebagai bagian dari tradisi dan kebudayaan, hal ini wajib hukumnya untuk jadi perhatian khusus masyarakat dan pemerintah agar senantiasa merawat dan melakukan pelestarian. 

Lantas, soal target tenunan, dalam sebulan Mama Maria mengusahakan agar setidaknya empat lembar sarung mesti siap dipasarkan. Waktu yang dibutuhkan untuk menuntaskan satu lembar sarung  itu tiga setengah hari.

Sementara, harganya pun berbeda-beda, tergantung motif dan jenisnya, demikian Mama Maria.

Sejak ditinggal suami tercinta tahun 2002 silam, Mama Maria memang menjadikan kegiatan menenun sebagai tonggak kebutuhan ekonomi keluarga. Dengan menjual hasil tenunnya, dia berhasil menyekolahkan ketiga anaknya hingga perguruan tinggi.

Bahkan demi melunasi biaya registrasi, jam kerja akan diperpanjang. Kadang dia harus duduk menenun dari pagi sampai jam 11  malam.

Namun, usahanya itu dapat terbilang lancar. Alasannya, sarung-sarung buatan Mama Maria senantiasa diburu di pasaran.

“Kami baru beberapa menit di pasar, sarung langsung laku,” ujarnya optimistis.

Selain itu, Mama Maria dan penenun lainnya di Maumere sangat terbantu dengan gerakan pemerintah dan seluruh masyarakat yang mewajibkan penggunaan baju sarung di berbagai instansi pada hari tertentu.

Meskipun begitu, dalam melancarkan usahanya, Mama Maria masih terkendala modal uang. “Kadang kami harus cari pinjaman untuk beli obat celup. Setelah laku baru diganti,” bebernya.

Pada Festival Seni dan Budaya Maumere tahun 2018 ini,  Mama Maria dan Kelompok Tenun  Ikat Maumere Wenda mendapat satu stan untuk memamerkan karya mereka. Dia pun berharap agar kegiatan-kegiatan sejenis terus dikembangkan dan para anak muda Maumere khususnya tidak boleh sungkan untuk mempelajari budaya warisan leluhur tersebut.

TERKINI
BACA JUGA