Pengantar
Masyarakat Flores Timur merayakan festival budaya bernama Nubun Tawa di Lewolema Oktober tahun lalu.
Tiga hari berturut-turut (5-7 Oktober 2018), Nubun Tawa menghimpun-satukan siapa saja yang datang. Pemerintah kabupaten Flores Timur terlibat penuh di dalamnya.
Segala sumber daya diarahkan untuk menyukseskan festival ini. Seniman-seniman pun, dengan segala dayanya, menghadirkan pementasan yang bikin hati berdecak kagum.
Dan masyarakat adalah aktor utamanya. Mereka sungguh terlibat penuh dalam perayaan budaya ini.
Nubun Tawa menyajikan berbagai macam atraksi dan pementasan yang sayang kalau dilewatkan. Ekora NTT tidak ketinggalan untuk meliput festival ini.
Dan tentu saja ada ole-ole yang dibawa pulang. Elvan de Porres, jurnalis Ekora NTT meraciknya dalamnya feature yang menarik untuk dibaca:
Terik siang begitu menyengat, Jumat (5/10/2018), di tanah Lamaholot Flores Timur. Tapi, itu tak mengendorkan semangat ratusan orang tua, kawula muda dan anak-anak yang berkumpul di kecamatan Lewolema, sebelah utara kota Larantuka.
Hari itu mereka merayakan seni dan budaya Flores Timur 2018 “Pai Taan Tou”. Namanya Festival Nubun Tawa. Berlangsung selama tiga hari berturut-turut.
Parade pembukaan Festival Nubun Tawa diiringi nyanyian dan tarian khas Lamaholot. Sekaligus menghantar siapa saja masuk lebih khusyuk kerangkaian acara itu.
Busana-busana adat dikenakan hampir seluruh warga. Mereka tumpah ruah di jalanan, berarak dari gerbang masuk di desa Bantala menuju lapangan Lewotala.
Salah satu tarian adalah Hedung. Tari ini berasal dari Adonara dan dulunya dibawakan sebagai ritual sebelum dan sesudah perang.
Untuk konteks sekarang, Hedung menyimbolkan kemenangan atau kegembiraan. Boleh jadi masyarakat Lewolema sendiri yakin, penyelenggaraan tersebut merupakan pesta mereka. Pesta rakyat sendiri.
Di lapangan Lewotala, Nubun Tawa resmi dibuka. Beberapa atraksi kebudayaan disuguhkan masyarakat. Penuh kesungguhan dan tak sekadar membikin senang siapa pun yang hadir pada kesempatan itu.
Misalnya, ritus menyalakan api yang dilakukan tokoh adat Lewotala lewat rapalan doa atau mantra terlebih dahulu. Bila salah-salah, api takkan mungkin menyala.
Sebab, ini merupakan mitologi penting dalam masyarakat berkenaan dengan pembakaran kayu di kebun adat.
Tapi, api akhirnya menyala dan tersebarkan ke tujuh buah obor di sekitarnya. Tujuh obor, lambang tujuh desa di Lewolema.
Adapun pertunjukan Le’on Tenada berupa panahan tradisional yang khas dimiliki masyarakat Lamotou, desa Painapang. Le’on Tanada baru bisa dilaksanakan setelah upacara pembangunan rumah adat Kokok Pada Bale.
Menariknya, dalam proses Kokok Pada Bale sendiri masih terdapat ritus-ritus penting lainnya yang tak boleh dilewatkan begitu saja.
Memang agak lama, namun begitulah urutan adatnya, kata beberapa warga yang menyaksikan dari luar lapangan.
Ketika hari beranjak sore, para pengunjung festival diajak warga untuk trekking ke bukit Eta Kenere. Dari atas bukit, momen sunset dapat terekam jelas.
Namun, menyaksikan sunset hanyalah satu bagian dari peristiwa harmonisasi manusia bersama alam. Usai matahari benar-benar tenggelam, bukit Eta Kenere menjadi panggung teater dan tari.
Beberapa seniman tampil, seperti Iwan Dadijono, Darlene Litay, Veronika Ratu Makin bersama Sanggar Sina Riang, dan Opa Kun.
Esok harinya, Sabtu (5/10/201), kegiatan bergeser ke desa lain. Dibuka dengan diskusi budaya Lamaholot di Riangkotek. Musisi Ivan Nestorman dan Pastor Simon Suban Tukan, SVD didapuk sebagai pembicara.
Bagi Ivan, kesenian harus bertolak dari apa yang ada dalam masyarakat. Kesenian tak butuh sesuatu yang mewah. Warisan dari nenek moyang merupakan hal yang sangat berharga.
Sementara dalam kapasitasnya sebagai rohaniwan, Pastor Simon menegaskan, gereja tidak boleh melihat keanekaragaman budaya dalam masyarakat sebagai hal yang asing dan harus dihindari.
Gereja mesti kontekstual dengan mengaitkan pesan-pesan keimanan dan nilai-nilai kultural yang berlaku dalam diri umat/masyarakat.
Desa Riangkotek juga santer terkenal dengan cerita Raja Basa Tupa. Pada masa silam, dia merupakan pemimpin di wilayah tersebut yang gencar melakukan perlawanan terhadap kolonialis Belanda.
Sabtu siang, anak-anak Riangkotek membahasakan kembali perjuangan Basa Tupa ke dalam teater. Pementasan berlangsung tepat pada salah satu titik peperangan.
Kisah Basa Tupa berakhir terenyuh. Meskipun awalnya mampu mengalahkan musuh, raja yang sakti itu mesti terkena racun dan dibawa entah ke mana.
Masyarakat penonton larut dalam suasana. Beberapa bahkan mengeluarkan titik-titik air mata. Mereka tentu tahu baik kisah historis tersebut.
Sore harinya para pelajar berarak-arakan dalam karnaval budaya menuju pantai Kawaliwu.
Di pinggir pantai, saat matahari benar-benar tenggelam, seniman tamu Ruth Marlina mementaskan sebuah monolog.
Monolog ini mengangkat isu-isu sosial yang sejatinya juga dialami masyarakat Flores Timur dan NTT pada umumnya, seperti penjualan manusia dan diskriminasi terhadap perempuan.
Pada hari terakhir, acara festival berpindah lagi ke desa-desa lainnya, seperti Balukhering dan Ile Padung.
Pagi hari, para wisatawan bersama masyarakat berkunjung ke perkebunan mete di desa Balukhering. Desa ini merupakan salah satu pusat mete terbesar di Flores Timur.
Sementara desa Ile Padung memiliki tradisi penyulingan arak yang senantiasa dihidupi dan menghidupi masyarakatnya hingga sekarang.
Sumber utama perekonomian mereka berasal dari penjualan minuman tradisional tersebut.
Dari arak, mereka bahkan menyekolahkan anaknya hingga jadi sarjana ataupun pejabat publik. Sebuah hal umum yang telah banyak diketahui oleh masyarakat Flores Timur.
Penutupan acara sendiri berlangsung di tepi pantai Leworahang. Hampir semua komunitas seni di kabupaten Flores Timur diundang untuk tampil. Ada yang datang jauh-jauh dari pulau Solor dan Adonara.
Panggung utama benar-benar menjadi milik masyarakat. Tradisi-tradisi yang hampir punah kembali diangkat dan disajikan kepada penonton, seperti pembuatan tenun berbahan kapas dan permainan musik suling tradisional.
Festival Nubun Tawa pun ditutup dengan Dolo-dolo dan tarian massal tradisional Sole Oha.
Memang selain tarian dan nyanyian yang mendominasi hampir setiap mata acara, festival ini juga menyuguhkan aspek kemasyarakatan lain yang tak kalah pentingnya.
Ada semacam keterlibatan sosio-kultural yang ditunjukkan, seperti pameran tato dan kerajinan-kerajinan tradisional. Juga aktivitas perekonomian yang digerakkan masyarakat sekitar melalui barang dagangan mereka.
Para seniman tamu yang tampil juga tak mentah-mentah membawakan karyanya. Selalu ada koloborasi dengan seniman juga masyarakat setempat.
Misalnya, penari Iwan Dadijono (Jawa Tengah) yang mengkreasikan gerakan tubuhnya dengan bacaan mazmur dari Pastor Inno Koten dan tiupan seruling pemuda Frengky dari Boruk Kedang.
Ataupun Darlene Litay (Sorong) yang spontan melibatkan beberapa bocah Lewolema untuk merespons olah tubuhnya.
Seniman asal Jepang Yasuhiro Morinaga malah memadukan irama musik elektroniknya dengan empat seniman lokal sekaligus; penyanyi Petronela Tokan dan Eda Tukan serta penabuh gendang Diaz bersaudara.
Selama tiga hari, orang-orang Lewolema terlibat dan dilibatkan secara langsung dalam festival ini. Boleh jadi mereka sedang melihat kembali jati dirinya dalam varian atraksi kesenian dan kebudayaan.
Namun, hal semacam ini menjadi tantangan tersendiri juga bagi seluruh komponen masyarakat, terutama generasi mudanya. Musababnya, makna Nubun Tawa sendiri merujuk pada tumbuhnya semangat muda.