Saya Jual, Anda Tidak Beli

Maumere, Ekorantt.com – Bulan Januari telah berlalu dan waktu akhirnya beranjak menuju Februari. Biasanya, pada awal bulan baru, orang-orang akan mulai memacakkan target hidup yang hendak dicapai sembari menjulangkan segumpal harapan lewat beragam cara.

Berdoa sendirian di kamar, menulis buku harian ataupun memosting status pada varian media sosial. Meskipun, kita tahu, geliat ini tak sama hebohnya seperti ketika orang menyambut tahun baru atau merayakan ulang tahun kelahiran.

Barangkali juga orang-orang akan mengawali hari pertama dalam bulan dengan aktivitas berkesan. Bisa saja sebagai bentuk pembangkit inspirasi atau penanda memori supaya dapat dikenang kelak.

Tapi ada juga yang tak mau berlebihan mengkultuskan waktu dan membiarkan setiap momen mengalir begitu saja dengan sendirinya.

1 Februari 2019. Saya duduk di salah satu kedai di sekitaran Jalan Kimang Buleng, Kota Uneng, Maumere. Desain kedai ini sederhana dan terbuat dari bambu yang kemudian dicat.

iklan

Saya memesan segelas kopi hitam lalu duduk lesehan di bagian belakang tempat tersebut.

Tujuan saya, selain mencecap kopi, adalah lanjut mengetik sebuah berita perekonomian yang saya liput beberapa waktu lalu.

Tentu, duduk bersendiri di tempat yang nyaman memang hadirkan suasana batin dan inspirasi tersendiri. Apalagi suasananya  tidak terlalu ramai.

Di area lesehan itu, duduk juga dua orang lelaki dewasa. Bila saya memesan kopi, mereka memesan makanan. Kalau tidak salah, ayam lalapan. Saya tak terlalu memerhatikan mereka berdua. Saya sibuk tunduk mengutak-atik laptop.

Ketika saya lagi asyik mengetik sambil menyeruput kopi, tiba-tiba saya dikejutkan oleh sebuah suara. Agak serak dan sedikit dipaksakan. “Jual buah…Om, beli pepaya. Ini ada salak.”

Awalnya, saya tak terlalu menghiraukan. Namun, denyar suara itu makin besar dan sepertinya mendekat ke tempat lesehan.

Saya mengangkat muka dan melihat sesosok perempuan tua sedang menggendong sebakul buah-buahan. Dia mengenakan sarung motif Sikka dan tampak sedang menjajakan jualannya.

Dekat dua lekaki di hadapan saya. “Om, beli buah. Pilih sendiri,” tawarnya. Orang yang ditawari belum merespons. Dan dia tak mau beranjak.

“Mama, jangan ganggu orang lagi makan,” salah seorang lelaki menyahut. Tapi nada sahutan itu lebih menyerupai sebuah penolakan. Tetap penjual itu masih mematung di situ.

Agak lama dia berdiri, barangkali merapalkan harapan agar jualannya dilirik, dan tiba-tiba lelaki lainnya memberikan respons. Dia mengeluarkan dompetnya, mengambil uang dan memberikan kepada si penjual.

Tanpa mengambil apa-apa dari keranjang jajakan. Setelah itu, ibu tersebut pergi dan mereka kembali makan.

Ketika catatan ini ditulis, saya sebetulnya dirundung penyesalan karena pada waktu itu, saya hanya menjadi figur pengamat dan tidak berinteraksi sama sekali dengan perempuan tersebut.

Barangkali karena saya tidak ditawarkan buah jualan sehingga saya pun enggan untuk memanggilnya lantas melibatkan diri dalam aksi jual-beli.

Boleh jadi juga ibu itu melihat saya yang kepalang serius dengan laptop sehingga dia pun tak mau mengganggu. Jarak pandang kami juga sedikit berjauhan.

Ada dua hal yang dapat dijelaskan dari peristiwa pada hari pertama di bulan Februari tersebut. Pertama, di kedai tersebut, interaksi yang terjadi antara kedua lelaki dan ibu penjualadalah sebentuk rasa iba bahwa ada orang berpenampilan sederhana dan dia (harus) diberi uang.

Dan tak ada aktivitas perdagangan di situ. Boleh jadi, dia beri uang agar ibu itu segera pergi dan tak menggangu ritual makan ayam lalapan. Mereka tak mau kenikmatan itu terpenggal-penggal.

Kedua, apa yang saya alami merupakan model dari manusia yang merasa gengsi untuk bantu orang di tempat-tempat umum. Takut dibilang sok baik, ataupun sok keren-kerenan jadi penyelamat bagi sesama umat manusia.

Selain itu, posisi saya dan ibu tersebut juga menampilkan adanya jarak kelas sosial. Dia mungkin melihat saya sebagai bagian dari masyarakat kelas menengah yang sibuk (dengan  laptop) dan enggan diganggu.

Makanya, ketika saya bertanya dalam hati “Mengapa ibu itu tak mau datang mendekati saya?”, dia barangkali akan memberikan jawaban begini, “Sama saja. Saya datang jual, tapi Anda tidak akan beli. Anda mungkin hanya akan kasih saya uang dan minta saya segera pergi.”

TERKINI
BACA JUGA