Pengajar Universitas Charles Darwin Australia: Gempa dan Tsunami Bukan Bencana Alam

Maumere, Ekorantt.com – Sejak ditimpa tragedi gempa bumi dan tsunami Flores dua puluh enam tahun silam, kota Maumere semakin berbenah.

Pembenahan paling nyata tampak dalam dibangunnya kembali rumah-rumah, kompleks pertokoan, gedung-gedung perkantoran dan penataan lanskap perkotaan.

Hampir sepanjang bibir pantai perairan Maumere pun banyak bertebaran resort, kafe, homestay dan hotel.

Bahkan untuk mengenang peristiwa tersebut, pemerintah kabupaten Sikka, pada masa kepemimpinan Bupati Yos Ansar Rera, membangun dan meresmikan taman dan monumen Tsunami di tengah kota.

Meskipun pemanfaatannya terlihat tidak jelas dan hanya jadi pajangan belaka.

iklan

Pantauan Ekora NTT, lokasi tersebut minim sekali pengunjung. Pada malam hari, lampu-lampunya bahkan tidak menyala.

Pada 27 September 2018 lalu, sebuah diskusi bertemakan “Bagaimanakah Komunikasi Berperan dalam Menangani Krisis dan Bencana ” terjadi di Biggong Tedang Kopi, Lokaria.

Acara yang terselenggara berkat kerja sama Maumere TV, Lembaga Kursus dan Pelatihan Christine, dan Biggong Tedang Kopi itu menghadirkan Dr. Jonatan Lassa, pengajar Humanitarian, Emergency and Disaster Management Universitas Charles Darwin Australia.

Yang hadir kebanyakan mahasiswa/i komunikasi Universitas Nusa Nipa juga beberapa orang jurnalis dan angggota-anggota komunitas di Maumere.

Pemandunya, Rini Kartini, Dosen Komunikasi Universitas Nusa Nipa.

Memulai diskusi tersebut, Jonatan sempat menggelitik para audiens dengan pertanyaan apakah gempa bumi itu bencana alam atau bukan.

Semua audiens sontak menjawab, iya. Dia kembali bertanya, “Mana yang lebih berbahaya, kecelakaan lalu lintas atau atau gempa bumi?”

Suasana diam.

Lalu tiba-tiba seorang peserta diskusi mengatakan, kecelakaan lalu lintas dan minuman keras. Jonatan lantas menerangkan lebih lanjut.

Dia bilang, kalau data kematian akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia dicek dalam rentang sepuluh tahun terakhir, itu bisa sama dengan jumlah korban gempa bumi atau tsunami di Aceh.

Bagi dia, gempa bumi dan tsunami sebenarnya tidak menyebabkan bencana. Yang membuat itu diasumsikan sebagai bencana adalah karena ada korban jiwanya.

“Gempa bumi itu fenomena alam. Bukan bencana alam. Alam tidak pernah membuat bencana. Logikanya sederhana, ketika gempa terjadi, bangunan runtuh dan mengenai kita. Yang salah itu bangunannya. Siapa yang bikin bangunannya, ya sudah pasti itu kita manusia,” jelas penggagas Forum Academia NTT kelahiran So’e ini.

Tak pelak, Jonatan pun mengeritik kualitas konstruksi bangunan masyarakat Flores sekarang yang “tidak antigempa”.

Menurutnya, model gedung-gedung sekarang lebih mengutamakan aspek keindahan ataupun tampilan materialnya saja ketimbang formasi dasar dan ikatan bangunan.

Dalam penelusurannya di kota Maumere saja, dia menemukan beberapa contoh bobroknya developer membangun rumah.

“Saya punya fotonya. Harusnya kalau ingin membangun rumah, konsultasikan dengan baik dulu terhadap ahli struktur rumah. Tapi bahayanya apabila ahli struktur rumah malah terlibat dalam ketidakberesan ini. Belum lagi kalau bangunan-bangunan proyek,” tuturnya.

Jonatan juga menambahkan, hal-hal seperti itu tidak menjadi perhatian serius masyarakat karena memori terhadap gempa dan tsunami Flores barangkali telah berlalu seiring berjalannya waktu.

Namun, dia juga tak memungkiri ada kalangan masyarakat yang sadar dengan membangun rumah dari papan kayu dan bambu.

Mengenai kondisi Maumere yang berada dalam zona merah bencana, salah seorang audiens sempat mengajukan pertanyaan mengenai kebijakan yang harus dilakukan ke depan terhadap tata letak bangunan di kota Maumere.

Sebabnya, banyak sekali bangunan-bangunan yang berada di dekat pantai. Apalagi topografi kota Maumere sendiri sangat mendatar dan bersejajar langsung dengan lautan.

Jonatan menjawab, “Ini memang persoalan rumit. Tapi intinya, masyarakat harus selalu sadar dan berwaspada. Segala risiko bisa saja terjadi. Kalau untuk gempa, sebetulnya yang harus diantisipasi adalah soal konstruksi rumah itu sendiri.”

Direktur Maumere TV, Herman Yoseph Fredy pada penutup diskusi tersebut mengatakan, acara ini merupakan bagian dari pembentukan wacana kritis yang mesti ada dalam diri kaum muda.

Dengan demikian, kaum muda bisa sadar dan paham bahwa sebetulnya ada masalah yang sedang terjadi di kota ini.

“Saat ini kita memang tidak sadar. Tapi kalau sudah ada peristiwa baru kita mulai analisis macam-macam, bahkan dengan pendekatan teologis dan filosofis. Sebagai orang media, kami juga disadarkan untuk senantiasa mengedukasi publik tentang hal-hal semacam ini,” pungkasnya.

Namun, sangat disayangkan bahwa kegiatan semacam ini hanya dihadiri oleh sedikit kalangan. Harusnya banyak tokoh masyarakat, akademisi dan pemangku kebijakan turut datang menyimak dan ikut berdiskusi dalam kegiatan yang gratis dan terbuka untuk publik luas ini.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA