Maumere, Ekorantt.com – Saat saya pertama kali membesuknya pagi itu, Senin (18/2), ia sedang duduk mencangkung di kursi hijau di kediamannya di Kelurahan Nangameting, Kecamatan Alok Timur.
Di depan teras rumah, terdapat sebuah mesin jahit yang sudah usang. Entah sudah berapa tahun mesin tua itu terpancang di sana.
Punggungnya bungkuk. Rambut sudah memutih. Ia pakai kaos putih “Bank NTT” berkerak biru.
Kalau sedang omong dengan lawan bicara, ia akan merunduk-runduk. Betapa mental inlander masih bercokol kuat di batin beberapa anak bangsa.
Bahkan sesudah 73 tahun negeri bak untaian Jamrud Khatulistiwa seperti pernah diagungkan Multatuli dalam “Max Havelaar” ini merdeka.
Daud de Rosary (79) menghabiskan hampir seluruh waktu hidupnya di jok oto. Kakek tua ini bekas sopir. Suatu profesi yang jadi impiannya paling liar sedari kecil.
Akan tetapi, butuh niat baja dan kerja keras untuk wujudkan impiannya ini.
Usai menamatkan pendidikan dasar di Sekolah Rakyat (SR) Lela pada tahun 1953, Daud belajar menjahit dari bapaknya.
Tetapi, ia merasa, menjahit bukanlah impiannya. Walaupun bapaknya seorang penjahit yang bagus, ia tidak mau ikut jejak menjadi penjahit. Ia mau putar haluan dan banting stir profesi keluarga yang itu-itu saja.
Maka, pergilah Daud kecil mengadu nasib di Misi Santo Yoseph Maumere. Tentu dengan tetap kantongi impian jadi sopir.
Di sana, ia pertama-tama kemudikan traktor misi. Kemudian dia dipindahkan ke divisi penggilingan padi dan jagung.
“Saat di penggilingan padi dan jagung, saya sudah urus SIM,” katanya.
Usia kerja Daud di divisi penggilingan padi dan jagung tidak panjang. Karena dinilai terlalu nakal oleh para biarawan, ia dimutasi ke divisi mesin gergaji belah kayu untuk selanjutnya dipindahkan lagi ke divisi bengkel besi.
Mutasi yang terus menerus ini tidak membawa impiannya jadi sopir menjadi kenyataan. Maka, ia ambil sikap dan keputusan yang edan plus sableng.
“Waktu itu, saya menghadap Bruder Alfons, SVD. Saya katakan, Bruder, karena saya sudah punya SIM, saya minta pindah ke bengkel oto untuk jadi sopir. Bruder jawab, pindah tidak bisa, tapi, kalau keluar bisa. Saya balik badan langsung keluar,” ceritanya.
Percakapan antara Daud dan Bruder Alfons adalah akhir karirnya sebagai pekerja Misi sekaligus awal dari karir panjangnya sebagai sopir di bumi manusia ini.
Pertama-tama, ia menjadi Konjak di oto “Muncul” milik pengusaha Tionghoa di Maumere. Ia tidak lama jadi Konjak di “Muncul.”
Ia kemudian pindah ke Larantuka dan menjadi sopir di Kejaksaan Negeri Larantuka. Di lembaga negara inilah, impiannya jadi sopir pertama kali jadi kenyataan.
Tetapi, impian yang kesampaian tidak berbanding lurus dengan jumlah rupiah yang masuk ke kantong.
Tiga tahun melayani para jaksa, tak satu rupiah pun mampir ke sakunya. Ia bertahan hidup karena belas kasihan keluarga.
“Saya tinggal dengan bapak kecil sehingga masih ada harapan. Mereka sampai marah-marah karena saya tak digaji,” katanya.
Pada Pemilu II tahun 1971, Daud pindah ke Maumere dan menjadi sopir pick up milik Gayus Laban. 3 tahun pula ia abdikan diri di sini.
Upah sebesar 10% dari penghasilan. Itulah upah pertama dari hasilnya peras keringat sebagai sopir.
Pada 1982, saat Presiden Suharto datang panen jagung Hibrida di Waigete, Daud dipekerjakan Baba A Kiang, pemilik Perusahaan Nusantara Indah.
Bersama dengan enam pekerja lainnya, ia kerja cukup lama di sini dengan upah Rp5.000,00 per/minggu sebelum akhirnya di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Ia diberi pesangon Rp1.000.000,00.
Walau di-PHK, Daud tidak berkecil hati. Justru di tempat Baba A Kiang inilah, ia merasa telah melakukan sesuatu yang berarti bagi umat manusia sepanjang karirnya sebagai sopir.
Pasalnya, ia dipercayakan mengangkut jubin, keramik, dan semen ke Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero dan Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret.
Sependek pengetahuannya, itulah kali pertama lembaga pencetak imam-imam Katolik pribumi itu pasang jubin dan keramik.
Rasa bangganya membuncah saat pihak seminari mengundangnya ikut ambil bagian dalam perayaan ulang tahun lembaga calon imam itu.
Ia diundang karena dinilai berjasa ikut meletakkan fondasi pembangunan gedung seminari.
Usai di-PHK oleh Baba A Kiong, Daud hijrah ke Kefamenanu. Tetapi, tidak lama kemudian ia dipanggil kerja lagi oleh anak Baba A Kiong menjadi sopir truk di Toko Bangunan Cahaya Nusantara di Wairotang.
Seperti pengalamannya bersama dengan Baba A Kiong, upah kerjanya di toko pimpinan Menantu Baba A Kiong ini tidak menentu. Ia pertama kali diupah Rp50 ribu per/minggu, lalu naik berangsur-angsur menjadi Rp75 ribu, Rp100 ribu hingga Rp150 ribu per/minggu.
Sampai di-PHK puluhan tahun kemudian, upahnya kempot di angka Rp150 ribu per/minggu.
“Tetapi, waktu itu, harga barang di pasar masih murah,” katanya.
Tentu saja, dengan upah yang jauh di bawah standar minimum itu, Daud kesulitan membiayai kebutuhan rumah tangganya setiap hari.
Untunglah, almarhum istrinya bisa membantu penghasilan keluarga dengan menjual kue. Dengan begitu, ia dapat sekolahkan anak-anaknya.
Pendidikan terbaik anaknya adalah Sekolah Pelayaran Yapenrais Maumere sehingga kini bisa kerja di kapal pesiar.
Anak-anaknya yang lain juga sempat enyam pendidikan di sekolah bermutu di Maumere seperti SMP Vifi dan SMP Frateran Maumere.
Anaknya bisa sekolah di SMP Frater karena dibiayai oleh Frater BHK. Anak-anaknya sudah berkeluarga, kecuali si bungsu laki-laki yang kini tinggal bersamanya di Nangameting.
Pada tahun 2006, Daud Sang Sopir di-PHK untuk kedua kalinya. Alasan PHK, ia buta. Padahal, ia masih merasa mampu bawa oto dari Geliting ke Maumere.
“Teman-teman pekerja bela saya. Tapi, sudahlah,” katanya.
Daud dapat pesangon PHK Rp25 juta. Ia manfaatkan uang itu untuk beli semen, kayu, dan seng untuk membangun rumah.
Ia rombak rumah daruratnya yang terbuat dari halar dan bambu menjadi rumah lantai semen dinding setengah batu.
Sejak di-PHK, Daud hanya tinggal di rumah. Ia isi waktu dengan menjahit. Pesanan tidak banyak. Anak bungsunya, Evensius de Rosary (19) tidak punya pekerjaan tetap.
Cuma cetak batako. Penghasilan keluarga menjadi seret. Ia benar-benar alami kesulitan finansial di usia senja.
Bahkan untuk listrik dan air saja, ia tak mampu membiayai. Beberapa malam dilaluinya dalam kegelapan. Ia harapkan belas kasihan dari tetangga.
Listrik diambil dari meteran tetangga. Demikian pun air. Ditimba dari sumur tetangga. Untuk makan minum sehari-hari ia harapkan bantuan dari anak-anaknya yang sudah berkeluarga.
“Tergantung anak-anak. Kalau ingat, mereka kirim. Tapi, Tuhan tidak mungkin tidak kasih kita makan,” kata Daud dengan air mata yang siap tumpah.
Menurut Daud, kesulitan terbesarnya saat ini adalah air minum bersih dan listrik. Betapa akan sangat meringankan beban hidupnya jika Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka di bawah kemudi Bupati Robby Idong memberinya bantuan air bersih dan listrik.
Atas dasar alasan itulah, bersama saya, pada hari Senin (18/2), ia antusias sekali ikut program Hari Mendengarkan atau Hearing Day dari Bupati Idong di Lapangan Kota Baru.
Ia mau minta listrik dan air ke Mantan Camat Nele itu. Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Hari Mendengarkan batal dilaksanakan karena Bupati Idong masih melakukan perjalanan dinas ke Jakarta.
“Tidak apa-apa. Tunggu bulan depan lagi,” katanya.
Dengan cerita di usia senja yang begitu pilu, apakah Kakek Daud menyesal jadi sopir?
“Saya tidak pernah menyesal jadi sopir. Sopir adalah cita-cita saya sejak kecil. Dengan jadi sopir, banyak orang kenal. Selain itu, saat saya masih muda, banyak cewek tertarik. Saat jadi sopir di Waiwerang, nona-nona Adonara 1/2 mati dengan saya. Hehehehe.”
Itulah tawa pertama dan terlebar Daud Sang Sopir selama wawancara yang sendu itu.