Soal “Mark Up”, Publik Jangan Mendahului BPK

Maumere, Ekorantt.com – Opini beberapa pengamat hukum, misalnya dari Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus dan Pengacara Orinbao Law Office, Viktor Nekur, tentang bukti-bukti dugaan “mark up” dana tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi 35 anggota DPRD Sikka Periode 2014-2019 membentuk opini publik tentang dugaan korupsi berjemaah di lepo kulababong.

Bagaimana tanggapan DPRD Sikka terhadap opini publik itu?

Sah-Sah Saja

Ketua DPRD Sikka, Gorgonius Nago Bapa mengatakan, pendapat publik tentang dugaan mark up anggaran tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi 35 anggota DPRD Sikka sah-sah saja.

Akan tetapi, publik harus mencari tahu benar tidaknya pernyataan tersebut. Kalau anggota DPRD dinilai melakukan mark up, maka harus ada lembaga kompeten untuk membuktikannya.

iklan

“Tidak bisa sembarang sampaikan mark up. Kalau periksa APBD, yang berwenang adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),” katanya.

Us Bapa berharap, masyarakat Sikka mesti tahu betul duduk soal suatu masalah sebelum memberikan komentar.

Ia meminta masyarakat Sikka datang langsung ke gedung DPRD Sikka untuk cari tahu tentang apa yang dilakukan dewan dan bisa berdiskusi langsung dengan anggota dewan.

“Jangan hanya dapatkan info ujung saja, tetapi tidak tahu dari awal. Supaya informsi dan tanggapan itu benar, supaya dia tahu duduk persoalannnya. DPRD itu terbuka. Siapa saja yang ingin tahu tentang apa yang dikerjakan DPRD, silahkan datang dan berdiskusi di lepo kulababong,” katanya.

Us Bapa mengaku tidak terlalu suka menanggapi suatu isu atau polemik di media, baik media online maupun media cetak. Sebab, menurutnya, media menulis lain dari apa yang menjadi omongannya.

“Kalau masyarakat mau tahu kondisi di DPRD, silahkan datang saja untuk berdiskusi. Saya tidak terlalu mau berkomunikasi di media. Kalau ingin lebih jelas, biar lebih jelas ketemu langsung,” katanya.

Pembuktian “Mark Up” Wewenang BPK

Anggota DPRD Sikka dari Partai Demokrat, Agustinus Romualdus Heny kepada Ekora NTT, Senin (18/2), pembuktian dugaan mark up dana tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi 35 anggota DPRD Sikka adalah kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sekarang, BPK sedang melakukan pemeriksaan atau audit APBD 2018.

Publik tidak boleh memberikan penilaian mark up sebelum rilis hasil pemeriksaan BPK.

“Sekarang [BPK, red] sudah di Maumere dan mulai melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan APBD 2018. Saya tidak tahu kapan selesainya,” katanya.

Fitnah

Anggota DPRD Sikka dari Partai NasDem, Siflan Angi kepada Ekora NTT, Selasa (21/2) mengatakan, dugaan setiap orang tentang “mark up” dana tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi adalah sah-sah saja.

Akan tetapi, dugaan ini mengarah ke fitnah karena belum bisa dibuktikan.

Menurut Siflan, sejak tahun 2005 sampai 2017, dirinya menerima dana tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi berdasarkan Perbup Nomor 35 Tahun 2017 tentang Standar Harga Satuan Barang dan Biaya TA 2018 masing-masing sebesar Rp6 Juta dan Rp7,5 Juta.

Pada 2017, terbit Perbup Nomor 45 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Perbup Nomor 35 Tahun 2017 tentang Standar Harga Satuan Barang dan Biaya TA 2018 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.

PP Nomor 18 Tahun 2017 yang diundangkan pada Mei 2017 secara tegas mengatur kenaikan dana tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi anggota DPRD masing-masing menjadi Rp10 Juta dan Rp12,5 Juta per/bulan.

“Kena PPh. Soal terima berapa, tanya ke bendahara. Kita hanya tahu saja gaji sudah masuk ke rekening,” katanya.

Menurut Siflan, tidak ada mark up dana tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi anggota DPRD Sikka karena semua sudah melalui prosedur hukum yang berlaku.

Dirinya mengaku heran, bupati menuding anggota DPRD Sikka melakukan mark up, mendesak Polres memproses, dan menyuruhnya mengembalikan uang hasil mark up.

“Kalau ada temuan BPK, kami akan kembalikan. Tetapi, bupati tidak boleh mengadili kami sebelum kekuatan hukum menyatakan kami bersalah. Ini kan bupati ngawur. Bupati tidak tempatkan diri sebagai pimpinan wilayah, tetapi seolah-olah Kejati, Kapolda, ketua BPK. Bupati tidak paham Undang-Undang Nomor 23 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Penyelenggara pemerintahan daerah adalah bupati dan DPRD. Bupati jangan pikir dia sendiri,” katanya.

Siflan mengaku siap mengembalikan uang hasil mark up apabila BPK mendapatkan temuan.

“Tapi, jangan sebelum proses ini, kita fitnah. Kalau saya salah, tidak perlu didesak, saya siap diproses apa saja,” katanya.

Siflan berharap, BPK segera memproses kasus ini secepatnya agar publik tahu persoalan sebenarnya.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA