Sulastri, Perempuan Pemasak Garam di Maumere

Maumere, Ekorantt.com – “Usaha memasak garam ini sangat menjanjikan. Sayang, produksinya masih sangat minim karena saya masih menggunakan cara tradisional. Kalau stok garam yang biasa didatangkan dari luar daerah menipis maka garam tradisional ini yang menjadi primadona masyarakat Sikka,” cerita Sulastri Mena, perempuan pemasak garam saat ditemui Ekora NTT, Selasa, (19/3/19) di pondok garam miliknya.

Warga Kota Uneng, kelahiran 56 tahun silam ini menceritakan kalau usaha memasak garam yang digelutinya bersama sang suami merupakan warisan turun-temurun.

Pekerjaan ini pun dijalaninya dengan tekun dan gembira. Terlepas dari segala jeri lelah yang dialaminya, memasak garam bagi Sulastri adalah pekerjaan yang menyenangkan dan membanggakan.

Pekerjaan memasak garam bagi kebanyakan orang mungkin biasa-biasa saja tapi baginya sangat menggiurkan dari segi pendapatan.

Apalagi kalau dikerjakan dengan sungguh. Dengan masak garam saja Sulastri dan sang suami mampu menghidupi kebutuhan keluarga dan pendidikan anak-anaknya.

iklan

“Kami bisa sekolahkan anak sampai sarjana. Ada yang sudah jadi pegawai swasta dan pegawai negeri sipil. Walaupun mereka sudah kerja tapi usaha ini terus kami jalankan, karena ini warisan nenek moyang.” cerita Sulastri dengan bangga.

Bahan baku garam halus yang dimasak oleh Sulastri dan sang suami diperoleh dari bongkahan garam kasar ini dipasok dari Bima dan Kaburea.

Harga satu karung garam kasar adalah  Rp 200 ribu.

“Saya pikiran kalau garam kasar belum diantar, karena ini yang nanti dimasak untuk menghasilkan garam halus. Kalau belum diantar saya langsung pergi cek di TPI, pokoknya saya usahakan harus dapat garam kasarnya. Karena kalau tidak dapat, kami tidak masak garam dan tidak dapat uang. Masak dan jual garam ini uangnya banyak, ” ungkapnya.

Menurut Sulastri, garam halus yang dihasilkan sehari bisa mencapai 50 kg dengan harga jual Rp 350 ribu rupiah.

Garam halus tersebut dijual ke pelanggan di Nita dan Lekebai.

Kadang ia dan sang suami  langsung jual ke pasar.

Kalau dijual eceran di pasar 50 kg halus bisa raup keuntungan sampai Rp 600 ribu.

Kesulitan yang paling membuat kesal bagi para pemasak garam berdasarkan cerita Sulastri adalah ketika pasokan kayu api menipis atau habis.

Ditambah biasanya semua warga Kampung Garam lebih senang membeli garam di pasar ketimbang membeli padanya.

TERKINI
BACA JUGA