Saya Perempuan yang Berkarya

Maumere, Ekorantt.com – “Logu Senhor”, sebuah devosi kerakyatan warisan Portugis sejak abad ke-16 di Gereja Santo Ignatius Loyola Sikka, sedang memasuki irmida (tempat perhentian) II.

Sekitar 2000-an umat Katolik di Keuskupan Maumere dan keuskupan lainnya khusuk dalam doa.

Mayora, seorang transgender, adalah salah satu peserta “Logu Senhor” yang menunaikan ritual ibadah pada setiap perayaan Jumat Agung di gereja tua tersebut.

Kepada Ekora NTT, Jumat (19/4), Mayora bercerita banyak tentang harapannya dalam “Logu Senhor”dan pengalamannya memperjuangkan kebebasan mengekspresikan gender sebagai seorang transgender.

Sekalipun berasal dari Maumere, Mayora baru pertama kali mengikuti prosesi “Logu Senhor” di Gereja Sikka.

iklan

Hal ini tidak mengherankan karena ia lahir dan menjadi dewasa di Papua. Informasi tentang devosi kerakyatan yang sudah berumur ratusan tahun ini ia dengar dari tuturan orang.

Saat memasuki Gereja Sikka, timbul rasa was-was dalam diri Mayora tentang sikap orang terhadap dirinya sebagai seorang transgender.

Dahulu, ia takut sekali pada Gereja Katolik. Ia tidak tahu, apakah Gereja mau menerima dirinya sebagai seorang transgender.

Namun, ternyata, ia mengalami sesuatu yang sangat berbeda. Umat menerimanya. Ia pun langsung melibatkan diri bersama dengan anggota koor dan larut dalam doa.

“Saya baru dua tahun ekspresikan gender saya sebagai waria. Di Maumere, baru tahun ini, saya ekspresikan diri sebagai seorang transgender. Dulu, saya takut sekali pada Gereja. Saat itu, saya belum siap. Saya tidak tahu, Gereja terima saya atau tidak,” ungkapnya.

Saat melakukan “logu” atau merunduk di bawah “Senhor” atau salib Tuhan Yesus, Mayora daraskan beberapa doa dan harapan.

Pertama, ia berdoa agar semua karya dan pekerjaannya bisa sukses.

Mayora aktif terlibat dalam kegiatan pelayanan pastoral di Maumere. Saat ini, ia menjadi pembina Sekolah Anak Misioner (Sekami) Paroki Habi.

Ia melatih nyanyi kelompok paduan suara “Little Angel.” Bersama dengan Orang Muda Katolik (OMK), ia membuat telur Paskah di Wolomude.

Di lingkungan, ia sering dipercayakan memimpin doa dan menjadi master of ceremony (MC). Ia pertama kali melakukan karya pelayanan pastoral sebagai waria ini di Paroki Bolowon.

Selain aktivitas pastoral, ia bekerja di salon dan membuka les privat bahasa Inggris.

Mayora berpendapat, semua kegiatannya dalam lingkungan Gereja adalah bagian dari pelayanan pastoralnya sebagai seorang waria.

Ia memahami kegiatan pastoral sebagai karya kegembalaan yang dilakukan oleh semua orang beriman yang sudah dibaptis.

Oleh karena itu, pelayanan pastoral tidak pernah mengecualikan waria sebagai pelayan pastoral. Ia hendak menghapus stigma bahwa tempat kerja waria itu hanya di salon atau menjadi pengemis atau pekerja seks komersial (PSK) di jalan.

Ia membuktikan, waria bisa melakukan semua jenis pekerjaan apa pun.

“Mengapa saya katakan pastoral? Karena saya bisa ajak teman-teman saya. Inilah kekhasan dari Maumere. Inilah devosi kerakyatan yang ada di Maumere. Orang bertanya, kok waria bisa melakukan karya pastoral? Kadang orang tidak mengerti pastoral itu apa. Pastoral itu adalah karya kegembalaan yang dilakukan oleh semua orang beriman yang sudah dibaptis,” ungkapnya.

Kedua, Mayora berdoa agar keluarga dan masyarakat bisa menerima dan menghargai ekspresi gendernya sebagai seorang transgender.

Februari 2018 adalah bulan di mana Mayora pertama kali mengekspresikan gendernya sebagai seorang perempuan ke hadapan publik. Dengan segala keberanian yang ada pada dirinya, ia putuskan untuk menjadi seorang transgender.

Sesungguhnya, ia awalnya merasa takut dan belum siap. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, ia berhasil meyakinkan dirinya bahwa ia adalah seorang perempuan.

“Awal memutuskan itu, saya belum sepenuhnya menerima diri. Karena saya belum tahu, apa itu gender? Apa itu keadaan diri saya?”

Namun, setelah keputusan yang berani tersebut, Mayora menjadi yakin, ia tidak salah menjadi seorang perempuan.

Sekarang, ia bisa terima diri dan merasa merdeka mengekspresikan diri laiknya seorang perempuan. Ekspresi gender tersebut ia wujudkan dalam bentuk cara berpakaian, karir, dan pekerjaan sebagai seorang perempuan.

“Saya adalah seorang perempuan yang berkarya,” katanya kukuh.

Namun, menurut Mayora, mengatakan bahwa ia adalah seorang perempuan sesungguhnya tidak terlalu tepat. Sebab, ia sudah lama menjadi perempuan. Dahulu, ia dibesarkan dan dibentuk dalam budaya patriarki.

Dalam budaya kehidupan laki-laki tersebut, ia dipaksa menjadi laki-laki. Sebagai anak dalam sebuah keluarga, ia mesti taat kepada titah orang tua.

Salah satu titah itu adalah orang yang berkelamin penis harus berpakaian laki-laki, mengerjakan pekerjaan laki-laki, dan melakukan permainan laki-laki seperti bermain bola kaki.

“Tapi, sifat dasar dalam diri saya adalah perempuan,” katanya.

Dalam perjalanan waktu, Mayora sadar, gender adalah konstruksi sosial yang dibikin masyarakat untuk membedakan perempuan dan laki-laki.

Menurut konstruksi sosial tersebut, hanya ada dua gender, yaitu laki dan perempuan. Akan tetapi, konstruksi sosial tidak selamanya benar.

Dalam dirinya yang nyata, ia temukan fakta bahwa ia berbeda dari orang yang berjenis kelamin penis. Perbedaan itu tampak dalam segi fisik, pembawaan, kejiwaan, karya, dan pekerjaannya.

“Dan akhirnya saya mengatakan, saya adalah seorang perempuan yang tanpa memiliki “tanda petik” [vagina, red]. Saya sudah siap terima diri saya. Tapi, keluarga saya belum bisa terima, termasuk orang tua dan sadara-saudara saya. Tapi, ini proses untuk saya,” ungkapnya.

Tantangan terbesar Mayora dalam kehidupannya sebagai seorang transgender adalah stigma. Stigma tidak hanya datang dari masyarakat, tetapi juga dari pemerintah.

Stigma dari pemerintah tampak dalam program Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Asumsi di balik program tersebut adalah waria tidak bisa melakukan pekerjaan apa pun dan karena itu mesti disantuni negara.

Untuk beberapa tempat, di Jawa, misalnya, program tersebut mungkin saja relevan. Namun, menurut Mayora, PMKS sama sekali tidak relevan diterapkan di Maumere. Sebab, para waria di sini memiliki pekerjaan dan berpendidikan. Mereka bukan pengemis.

Mayora melawan stigma di atas dengan membangun cara berpikir positif dan terlibat aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Misalnya, kalau ada hajatan pesta di keluarga, ia ambil bagian di panitia dan mempersiapkan kelancarannya. Kalauada kematian, ia biasa menghubungi pastor dan memimpin doa.

“Ada banyak hal positif yang bisa saya lakukan. Keluarga bisa tahu, ternyata menjadi waria itu tidak seperti yang mereka bayangkan. Masyarakat pada umumnya bisa terima selagi kita melakukan hal yang positif,” ungkapnya.

Dalam momen berahmat “Logu Senhor” ini, Mayora punya harapan besar. Ia sangat berharap, masyarakat, keluarga, dan negara bisa menerima dan menghormati perbedaan dan keberagaman.

Waria atau kaum LBGT (lesby, gay, biseksual, transgender) bukanlah penyakit. Ia tidak pernah punya kesempatan untuk memilih jadi waria atau bukan. Menjadi waria adalah anugerah Tuhan yang mesti ia syukuri.

Sebab, dalam raganya yang lakidan jiwanya yang perempuan, kemampuan untuk berbuat baik tak pernah luntur. Dengan kata lain, kemampuan manusia untuk berbuat baik tidak ditentukan oleh gender.

“Melalui Senhor, saya bisa temukan diri. Saya bisa melakukan semua perbuatan baik dalam diri saya sebagai seorang waria. Harapan saya, ke depannya, keberagaman ini bisa dihargai, termasuk generasi saya ke depannya, yang punya ekspresi transgender bisa dihormati dan diperjuangkan untuk bisa mengekspresikan diri secara positif,” kata Hendrikus Kelen (nama baptis Mayora) penuh harap.

Doa Mayora boleh jadi terlalu progresif untuk konteks Indonesia dan Asia. Pasalnya, sejak tahun 2016 lalu, Negara Pancasila ini berlaku tak terlalu ramah pada LGBT.

Seorang menteri dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK dalam sebuah koran nasional pernah berujar, LGBT adalah ancaman nasional. Di negeri seberang, pemerintah Brunei Darusalam ambil ancang-ancang untuk terapkan hukuman rajam mati bagi LGBT. Namun, justru pada situasi batas inilah, iman Mayora pada “Senhor” diuji dalam tanur api.

TERKINI
BACA JUGA