Panti Santa Dymphna Wairklau: Bermula dari 10 Gadis Difabel

Maumere, Ekorantt.com – Memasuki Panti Rehabilitasi Penyandang Difabilitas yang sebagian besar penghuninya adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang “ditangkap”  di jalan-jalan, tidak seperti memasuki panti lain karena mata Anda akan disuguhkan dengan pemandangan yang unik.

Ada yang menghadap tembok dan mengata-ngatai seperti mengungkapkan kekecewaan, ada yang berteriak, ada yang duduk diam membisu tanpa satu kata pun.

Opsi memihak dan membela mereka yang dilecehkan harkat dan martabatnya, mereka yang cacat secara mental maupun fisik, mereka yang bisu dan tuli, mereka yang berkeliaran di jalan-jalan kota dan kampung sebagai akibat dari depresi, stres, kekerasan, pelecehan penistaan dan penipuan dan ketidaksetiaan, menampung, merawat dan merehabilitasi  kondisi fisik dan mental mereka adalah wujud konkret dari iman.

Eksistensi mereka sebagai pribadi dengan kebutuhan dan kemampuan khusus ini sering kurang dan bahkan tidak mendapat perhatian dari masyarakat, pemerintah, dan keluarga atau orang tua.

Mereka ibarat “sampah” yang harus dibuang dari tengah masyarakat.

iklan

Namun, sebenarnya, kata Suster Lucia, CIJ, Pendiri Panti, mereka adalah pilihan Allah. Mutiara pilihan keberpihakan Allah dalam dan melalui Putra-Nya Yesus Kristus adalah kaum pinggiran yang dianggap “sampah” oleh masyarakat.

Di mata masyarakat, mereka adalah  “sampah”, tetapi di mata Allah, mereka adalah mutiara.

Bukan orang sehat yang membutuhkan tabib, tetapi orang sakit. Opsi Allah dalam diri Putra-Nya adalah berpihak kepada mereka yang sakit.

“Mereka adalah mutiara karena untuk merekalah Allah datang. Mereka adalah mutiara karena justru untuk mereka, Allah rela menjelma menjadi manusia. Ia lahir di kandang hina. Menderita dan wafat di kayu salib hina agar manusia terentas dari lumpur kedurjanaan sampah kecacatan dan dosanya. Sampah di mata kita, tapi mutiara pilihan Allah, sampah di mata manusia tapi mutiara di mata Allah,” kata pemilik nama asli Meo Sofia ini.

Hal ini mendorong Suster Lucia, CIJ untuk mendirikan Panti Rehabilitasi Penyandang Disabilitas Santa Dymphna Wairklau, Maumere, Kabupaten Sikka, Flores, NTT, pada bulan Juni 2004, 15 tahun silam.

Panti kini menampung 118 penyandang disabilitas mental dan 12 orang cacat fisik. Satu-satunya Panti rehabilitasi di NTT yang menampung orang gila ini  dipimpin oleh suster kelahiran Mataloko, Bajawa, 19 September 1966.

Ketua Yayasan Bina Daya St. Vincentius Cabang Sikka (Yasbida) ini pun menuturkan awal pendirian Panti Dymphna dan bagaimana suka dukanya merajut kasih bersama mereka yang diberi label terpinggirkan dan sampah masyarakat ini.

“Mama Suster, bagaimana kalau kami ditampung untuk terus belajar menjahit?” pinta 10 gadis difabel kepada Sr. Lucia, CIJ.

“Saya tidak punya uang untuk membangun rumah panti bagi kamu,” jawab Sr. Lucia.

Terbentuknya Panti Santa Dymphna terinspirasi dari dan merupakan jawaban atas permintaan 10 gadis difabel pada suatu kesempatan pelatihan menjahit yang difasilitasi Sr. Lucia, CIJ dan didanai oleh Dinas Sosial Kabupaten Sikka dari tanggal 1-26 November 2003.

Awalnya, permintaan itu ditanggapi secara pesimis oleh Sr. Lucia, CIJ.

“Saya tidak punya uang,” keluhnya.

Namun, “the voices of the voiceless”, suara kaum tak bersuara itu tetap menggema dalam hati suster dan mendorongnya untuk mencari jalan keluar.

Pada tanggal 22 November 2003, 10 gadis difabel itu datang ke Kantor Yasbida, tempat Sr. Lucia berkarya sebagai Ketua Yayasan Bina Daya Cabang Sikka.

Lagi-lagi, 10 anak difabel itu meminta kepada suster untuk menampung mereka.

Sebab, mereka mau belajar lebih banyak lagi tentang menjahit dan kalau perlu tentang ketrampilan lain seperti menyulam, merenda, dan memasak.

Kehadiran 10 gadis ini membuat Suster Lucia terus berpikir tentang cara merespons permintaan mereka.

Dalam hati kecilnya, terlintas suara bahwa ini adalah rahmat di mana visi dan misi kongregasi harus direalisasikan.

Keberpihakan kepada yang kecil (option for the poor) yang merupakan panggilan Gereja universal dan misi kongregasi harus diwujudkan.

“Ini adalah peluang, rahmat yang harus ditanggapi dalam aksi yang nyata. Allah-lah yang menghendaki semuanya ini lewat anak-anak ini,” kata Sr. Lucia.

Oleh karena itu, menurut Suster Lucia, bila Allah menghendaki dan menyelenggarakan, pasti Dia selalu memberi jalan.

Sebab, apa yang mau dilakukan adalah implementasi dari sabda Yesus sendiri. Para gadis difabel ini adalah representasi dari “orang kecil” dan orang yang “hina dina.”

“Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku,” kata Yesus dalam Injil Matius 25:50.

Selanjutnya, Suster Lucia dan 10 gadis difabel melakukan aksi penggalian dana. Mereka meminta bantuan dana di beberapa toko dan instansi pemerintah setempat; persis seperti sabda Yesus, “Carilah, maka kamu akan mendapat. Ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” Berjuang, bekerja keras, dan tetap berharap pada penyelenggaran Allah adalah kunci kesuksesan.

Oleh karena itu, mereka tetap berjuang.

Selama kurang lebih 3 hari, Suster Lucia dan 10 gadis difabel itu mampu membukakan hati mereka yang mempunyai kepedulian terhadap nasib kaum kecil.

Mereka memperoleh dana sebesar Rp462.500,00. Inilah dana awal yang merupakan sejarah dan buah dari perjuangan hingga panti kini menjadi besar dan dapat menampung ratusan penyandang disabilitas serta bisa melakukan banyak aktivitas pemberdayaan dan penyembuhan terhadap kaum cacat.

Suster Lucia akhirnya menampung 10 gadis tersebut di sebuah rumah sederhana milik yayasan dan hidup apa adanya bersama mereka.

Dari jumlah uang yang ada, ia tambahkan lagi dengan uangnya sendiri sebesar Rp2 juta. Uang itu adalah hasil honornya sebagai instruktur keterampilan bagi anak-anak cacat yang disponsori Dinsos Sikka.

Dengan demikian, jumlah uang yang terkumpul menjadi Rp2.462.500,00.

Jumlah uang yang ada tidak cukup untuk memulai suatu pembangunan panti. Namun, Suster Lucia tidak gentar.

Ternyata jalan dan berkah Tuhan selalu menyertai setiap perjuangan mereka yang berpihak kepada yang miskin, papa, kecil, dan pendosa.

Banyak orang menyumbang baik secara moral maupun material.

Pada tanggal 26 Januari 2004, peletakan batu pertama pembangunan panti dimulai. Upacara peletakan pertama dipimpin Romo Beslon Pandiangan, O.Carm.

Pelaksanaan pembangunan mulai berjalan kendati tertatih-tatih. Sampai Maret 2004, pembangunan belum juga rampung sebagai akibat dari kekurangan dana.

Namun, semuanya itu tidak membuat suster menyerah. Justru kendala itu dilihat sebagai peluang untuk terus berjuang.

Langkah selanjutnya yang ditempuh Suster Lucia adalah melakukan koordinasi dengan Dinsos Sikka.

Dinsos Sikka pun membantu kaum disabilitas dengan menyuntikan dana pembangunan sebesar Rp8juta.

Jumlah dana yang terkumpul mencapai Rp13.572.500,00. Uang sejumlah itu memang belum cukup merampungkan pembangunan panti. Namun, bagi Tuhan, tidak ada yang mustahil.

Akhirnya, pembangunan panti bisa dirampungkan pada bulan Juni 2004.

Berkomunikasi dengan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Diakui Sr. Lucia, hal itu butuh kesabaran yang sangat tinggi. Ketika diajak berkomunikasi, sering kali yang didapat adalah ludah dan caci maki.

“Untuk itu, sebelum mendekati orang gila (ODGJ, red) untuk diajak ke Panti Sta Dymphna terlebih dahulu saya novena. Inilah yang menjadi kekuatan saya,” ujar suster kelahiran Mataloko, Bajawa, 19 September 1966 silam ini.

Ia punya banyak pengalaman iman dengan ODGJ. Lola, misalnya, seorang perempuan keturunan Tionghoa yang sudah akrab dengan jalan-jalan di kota Ende.

Wanita tersebut adalah korban penipuan dan pemerkosaan. Ia mengalami stres dan depresi  hingga menderita gangguan jiwa.

“Walaupun ia mengalami stres dan depresi, tapi dia adalah anak manusia yang dicintai Tuhan. Sebelum saya menjemputnya, terlebih dahulu saya novena 9 hari. Saya melakukan komunikasi dari hati ke hati selama 6 jam tepatnya dekat Gereja Shalom Ende,” kata alumnus Stipas Ruteng ini.

Baginya, tindakannya berangkat dari rasa kepedulian sosial dan panggilan keberpihakan pada kaum terlantar. “Sesungguhnya apa yang kamu perbuat terhadap saudaraku yang paling hina ini kamu lakukan untuk Aku,” kata Yesus dalam Mat 25: 40.

Germana Ger atau yang akrab disapa Ger (32) sehari-hari selalu mencari sisa-sisa makanan di tempat sampah untuk dimakan. Suster Lucia menceritakan, tidak mudah mengajak Ger untuk membangun hidup yang layak dari kebiasaannya di jalan-jalan.

“Suatu ketika, setelah Novena, saya bertemu dengan Ger di samping kantor Departemen Agama Kabupaten Sikka. Saya menyapanya dengan lembut, memeluknya dengan penuh kasih, dan merangkulnya dengan kekuatan cinta. Akhirnya Ger mau diajak ke Panti untuk bergabung dengan teman-teman lain yang juga senasib dengan dia,” jelas Suster Lucia.

Suster Lucia mengatakan, Minggu pertama adalah minggu pemulihan fisik. Ger diberi makanan yang bergizi dan diasupi obat-obatan.

Ketika membuang air besar, yang keluar adalah gumpalan cacing sebanyak 12 gumpal. Kondisi fisiknya sungguh memprihatinkan karena sebelumnya dia hidup dari sampah-sampah di kota.

Suster Lucia mengaku, biaya operasional tiap bulan untuk para penghuni cukup besar. Untuk memenuhi kebutuhan penghuni panti, sejak tahun 2012, melalui lobi, Deperindag Sikka memberikan 2 kapling di pasar Alok untuk usaha warung Panti Sta. Dymphna.

“Kami gantungkan hidup dengan usaha warung dan penjualan kue serta kebaikan hati para donatur,” ungkapnya.

Yuven Fernandez

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA