Banting Stir dari Karyawan ke Petani, Edhardus Raup Penghasilan Rp150 Juta Per/Tahun

Bola, Ekorantt.com – Kabupaten Sikka merupakan salah satu daerah penghasil komoditas terbesar di Flores. Kakao, kelapa, vanili, cengkeh, gaharu, pala, lada, nangka, sengon dan lain-lain tumbuh subur di wilayah ini. Tanaman-tanaman tersebut bisa tumbuh subur karena sudah punya tingkat adaptasi yang tinggi dengan keadaan iklim dan cuaca di Kabupaten Sikka.

Kondisi ini sangat disadari oleh Edhardus, petani contoh di Kabupaten Sikka. Beberapa tahun lalu, Edhardus dinobatkan menjadi petani berprestasi tingkat Provinsi NTT. Pria yang berdomisili di Desa Wolokoli, Kecamatan Bola, membudidayakan berbagai jenis komoditas tanaman seperti kakao, vanili, cengkeh, sengon, pala, gaharu, salak, dan lain-lain. Mantan Karyawan PT Mars ini menjual hasil komoditasnya ke desa tetangga hingga kabupaten tetangga seperti Ende, Nagekeo, dan Flores Timur.

“Menjadi petani itu jauh lebih menguntungkan dari pada menjadi karyawan. Karyawan dipanggil “Pak”, tapi dompetnya kosong,” seloroh Edhardus saat ditemui di Desa Wolokoli, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, NTT, Rabu (1/1/2020).

Ed banting stir dari pekerjaan sebagai fasilitator di PT Mars menjadi petani kakao di kampung halamannya di Wolokoli. Dia membentuk CV Poles dan menyebut dirinya pengusaha kakao untuk memotivasi masyarakat desa mengikuti jejaknya. CV Poles adalah pioner kakao lestari yang fokus memberi pelatihan dan pengadaan bibit kakao dan berbagai komoditas lainnya.

“Saya tidak suka diperintah orang. Lebih baik jadi petani dan menjadi manager bagi diri sendiri walaupun kerja sendiri,” kata dia.

iklan

Kini, penghasilan Ed mencapai Rp150 Juta/tahun. Keuntungan bersih setiap bulan mencapai Rp6-7 Juta/bulan. Uang itu diperolehnya dari hasil penjualan bibit berbagai jenis komoditas seperti kakao, vanili, sengon, pala, cengkeh, gaharu, dan lain-lain.

Pentingnya Sertifikasi Bibit Komoditas di Sikka

Akan tetapi, sayangnya, hampir semua komoditas di Kabupaten Sikka belum disertifikasi. Dari puluhan komoditas itu, hanya kelapa saja yang sudah disertifikasi dengan sentra produksi terbesar terdapat di Kecamatan Nita, Bloro. Kakao, vanili, dan cengkeh adalah beberapa contoh komoditas di Sikka yang belum disertifikasi. Padahal, sentra produksi komoditas-komoditas di atas sudah tersebar di semua wilayah di Kabupaten Sikka. Sentra produksi cengkeh terbesar terdapat di Kecamatan Bola, Doreng, dan Kecamatan Hewokloang. Sementara itu, sentra produksi kakao menyebar di hampir semua wilayah di Kabupaten Sikka. Kakao malah sudah menjadi komoditas kawasan dan komoditas unggulan tingkat nasional. Di Kecamatan Bola, sudah terdapat lebih dari 1.000 Ha kebun kakao.

“Akan tetapi, mengapa kakao tidak disertifikasi?” tanya Ed.

Dewasa ini, pasar hanya menerima kakao bersertifikasi. Oleh karena itu, para petani kakao di Sikka mesti mendatangkan bibit kakao bersertifikat dari Jawa dan Sulawesi. Umumnya, pohon induk kakao di Jawa dan di Sulawesi sudah bersertifikasi. Ed sendiri mendatangkan bibit kakao bersertifikat dari Jember. Padahal, kualitas kakao di Sikka tidak kalah dengan kualitas kakao dari daerah lainnya di Indonesia. Ed mengklaim, kadar lemak kakao di Wolokoli 4,8 Mg lebih tinggi dari kadar lemak Standar Nasional Indonesia (SNI) sebesar 3,6 Mg.

Untuk membangun industrialisasi pertanian kakao, Ed dan para petani lainnya membentuk Koperasi Produksi Gapoktan Nusa Loran di Wolonwalu. Koperasisudah sempat memproduksi “Cocoa Nul: Bubuk Kakao Asli Wolonwalu”. Akan tetapi, produksi “Cocoa Nul” harus berhenti, bukan karena ketiadaan bahan baku kakao yang berkualitas, melainkan karena mesin rusak. Disinyalir, mesin alami kerusakan karena pemerintah keliru membeli mesin.Nasib Koperasi Produksi Gapoktan Nusa Loran kini di ujung tanduk.

Selain kakao dan cengkeh, vanili adalah komoditas unggulan di Kabupaten Sikka yang belum disertifikasi. Dengan umur panen 7-8 bulan, para petani di Sikka akan sanggup menghasilkan vanili terbaik. Berdasarkan hasil uji laboratorium, vanili di Sikka adalah vanili terbaik di Indonesia. Dengan kualitas komoditas yang bagus, Ed menyarankan agar Pemda dan DPRD Sikka segera men-sertifikasi bibit kakao, cengkeh, vanili, nangka, advokat, pala, dan komodotas unggulan lainnya di Kabupaten Sikka.

“Kalau tidak disertifikasi, kita akan selalu datangkan bibit dari luar,” pungkas Ed.

Uji Kandungan dan Sertifikasi Vanili

Terkait vanili, Sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten Sikka Valleryanus Samador saat ditemui EKORA di ruang kerjanya, Senin (27/1) menjelaskan, pemerintah akan melakukan uji kandungan vanili. Setelah itu, untuk menjamin mutu, pemerintah juga akan melakukan sertifikasi vanili oleh lembaga yang berwenang.

Menurut Valleryanus, mutu vanili adalah persoalan yang dihadapi oleh Dinas Pertanian Kabupaten Sikka. Mutu vanili yang rendah selanjutnya berpengaruh terhadap harga vanili yang rendah. Menurut dia, harga vanili di Kabupaten Sikka adalah terendah di Provinsi NTT. Harga vanili basah berkisar Rp100 Ribu – Rp150 Ribu per/kilogram, sedangkan rata-rata harga pasaran Rp450 Ribu – Rp500 Ribu per/kilogram. Di Kabupaten Alor, karena sudah disertifikasi, harga vanili mencapai Rp850 Ribu per/kilogram.

“Menurut Bupati, harga vanili di Singapura mencapai jutaan rupiah per/kilogram,” kata Valleryanus.

Selain mutu dan harga yang rendah, demikian Valleryanus, Kabupaten Sikka juga alami persoalan pengadaan benih atau bibit vanili. Pihaknya berkomitmen memperbaiki bibit dan memanfaatkan teknologi budidaya vanili. Sekarang, pihaknya sedang mengajukan proposal pengadaan bibit ke kementerian.

Pemerintah juga akan memfasilitasi pemasaran vanili di Kabupaten Sikka. Selama ini, para petani memasarkan vanili kepada para pedagang besar di Kota Maumere dan di Geliting.

Menurut Valleryanus, sentra produksi vanili di Kabupaten Sikka terdapat di wilayah Kecamatan Doreng seperti Desa Kloangpopot, Desa Watumilok, Desa Wogalirit, Desa Hebar, dan Desa Nenbura serta di wilayah Kecamatan Bola seperti Desa Umauta, Desa Wolokoli, dan Desa Wolonwalu. Pihaknya tidak mengantongi jumlah real petani vanili di Kabupaten Sikka karena mereka pada umumnya tanam vanili pada saat harga pasar naik. Pihaknya juga tidak memiliki data terkait luas tanah yang digarap khusus untuk vanili. Namun, rata-rata daerah dengan ketinggian 400 meter di atas permukaan laut bisa ditanami vanili.

“Kita tidak bisa pastikan soal luas tanah. Tanam vanili beda dengan tanam jagung atau padi. Kalau tanam padi atau jagung, arealnya sudah disiapkan, sedangkan kalau tanam vanili bergantung pada tren harga. Pada periode yang bagus, mereka tanam. Tapi, kalau harga vanili turun, orang jarang tanam vanili,” pungkasnya.

Tentang kisah sukses Mo’at Edhardus, Pembaca yang budiman bisa tonton di channel Youtube ini, ini, dan ini.

TERKINI
BACA JUGA