Ruteng, Ekorantt.com – Wabah virus corona tidak hanya membuat kebanyakan orang takut dan cemas. Penyakit yang pertama muncul di Wuhan, China ini juga membikin stigma.
Orang-orang yang ditetapkan sebagai Orang Dalam Pemantauan, Orang Tanpa Gejala, Pasien Dalam Pengawasan pasti akan dikucilkan, baik oleh masyarakat awam, maupun oleh sebagian petugas medis – karena dianggap sebagai “penebar virus”.
Di Lopa, Desa Golo Leda, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, misalnya, warga ramai-ramai tidur di kebun lantaran ada pelaku perjalanan yang baru tiba di kampung mereka.
Warga sekampung pelaku perjalanan itu takut. Mereka beranggapan bahwa virus corona pasti sudah ada dalam tubuh pelaku perjalanan yang datang dari Malaysia itu.
Namun, tidak demikian dengan Alina M.S. Niut. Gadis 26 tahun yang bekerja sebagai tenaga sukarela pada Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai ini, justru “dekat” dengan Orang Tanpa Gejala (OTG).
Rini, demikian ia disapa, merupakan petugas jaga OTG yang menjalani karantina di Wisma Atlet Stadion Golo Dukal, Kabupaten Manggarai. Setiap hari, Rini selalu berhadapan dengan OTG: mengurus makan-minum mereka, mendampingi OTG saat berolahraga dan lainnya.
Ia mengaku, sejak pertama kali ditugaskan untuk menjaga OTG di tempat karantina tersebut, dirinya sering melihat beberapa temannya yang takut dengan OTG.
“Saya rasa, itu aneh dan miris sekali. Padahal mereka sudah tahu bahwa Covid-19 itu seperti apa dan tugas mereka apa,” tutur Rini kepada Ekora NTT.
Tim medis, kata Rini, merupakan garis terdepan dalam melawan pandemi Covid-19. Oleh karena itu, ia mengaku tidak merasa cemas, apalagi takut saat bertugas.
“Justru saya senang di sana. Saya ikhlas dalam menjaga mereka. Karena itu sudah bagian tugas kami sebagai tenaga kesehatan untuk rawat mereka,” ujarnya Alumnus FKM Undana Kupang itu.
“Kalau kami makan snack seperti ubi dan kopi, saya biasa bagi dan buatkan untuk mereka,” lanjutnya.
Menurutnya di shelter kabupaten Manggarai, meskipun tidak pernah kontak langsung dengan OTG, tapi kedekatan hati mereka begitu terasa.
“Saya juga turut merasakan bagaimana perasaan mereka yang jauh dari keluarga, melepas semua aktifitas yang biasa mereka lakukan sehari-hari,” ceritanya.
Rini menuturkan, OTG yang dikarantina lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar, begitu juga dengan petugas kesehatan. Rini mengaku bangga dengan keluarga yang begitu memahami tugasnya.
“Ketika saya pulang rumah, orang rumah tidak pernah takut karena sudah di awal ada Covid-19 juga, saya sudah berikan edukasi di orang rumah. Jadi, mereka tidak takut,” pungkasnya.
Stop Stigma
Berdasarkan pengalaman pribadinya bersama OTG di tempat karantina Rini pun merenungkan bahwa baik ODP, PDP, OTG maupun pasien positif Covid-19 tidak pantas untuk mendapatkan cemoohan, cercaan, fitnah, bahkan stigma. Yang pantas diberikan untuk mereka adalah dukungan, dukungan, dan dukungan.
Mereka membutuhkan dukungan dari semua pihak, baik keluarga, masyarakat maupun untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Yang penting juga adalah informasi yang positif akan mendorong untuk sembuh dan kembali pulih.
Rini mengalami bahwa beban orang yang dikarantina tidak hanya beban sakit. Benar bahwa pasien itu sakit. Ada gangguan dalam tubuhnya karena masuknya virus. Tapi beban lain yang dialami adalah beban mental, batin atau beban psikologis.
Rini menyaksikan bahwa orang yang dikarantina merasakan beban psikologis itu. Mereka tak bicara, tapi roman wajah bisa memperlihatkan keadaan hati. Ia prihatin dengan mereka. Setia dan senang menjaga orang yang dikarantina, demikian dukungan yang ditunjukkan Rini.
Dengan kerendahan hati, Rini meminta masyarakat untuk tidak panik dengan pandemi Covid-19. Apalagi menstigma negatif mereka-mereka yang dikarantina.
Adeputra Moses