Cerita Guru Sekolah Luar Biasa (Bagian 1)

Borong, Ekorantt.com – “Menjadi guru Sekolah Luar Biasa itu indah, unik dan menyenangkan,” kata Emilianus Nuning.

Emilianus, 55 tahun, merupakan salah satu guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Borong.

Alumnus Sekolah Pendidikan Guru Luar Biasa (SPGLB) Makassar ini telah menghabiskan sebagian besar hidupnya bersama anak-anak berkebutuhan khusus di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur.

Emil, demikian ia biasa disapa, mulai meniti karir di SLB Karya Murni Ruteng, Kabupaten Manggarai, pada 1988.

22 tahun mengabdi di sekolah yang didirikan biarawati Katolik itu, pada 2010, Emil memilih untuk pindah ke SLB Negeri Borong, Kabupaten Manggarai Timur.

iklan

Selama lebih dari 30 tahun menjadi guru di SLB, tak terhitung suka dan duka hidup yang pernah ia lalui.

“Siswa-siswi kita ini kan datang dengan bebagai jenis ketunaan dan karakter. Perilaku mereka juga tidak sama,” tuturnya.

Menurutnya, banyak pengalaman-pengalaman pahit yang dihadapi para guru di sekolah. Yang paling parah misalnya ada siswa yang membuang air kecil atau besar di dalam kelas.

“Menghadapi perilaku siswa-siswi yang seperti ini butuh kesabaran dan ketabahan,” ujarnya.

Meski demikian, Menurut Emil, mengajar siswa-siswi berkebutuhan khusus, sesungguhnya menyenangkan, unik, dan ada kebahagiaan tersendiri.

“Kuncinya harus memiliki kecintaan kepada mereka yang berkekurangan, baik fisik maupun mental,” katanya. “Guru harus bisa didik mereka sampai mandiri dalam segala hal.”

Hal senada juga diutarakan oleh Epifania Delos. Wanita 42 tahun yang sejak 2012 menjadi guru sekaligus pembina asrama di SLB Negeri Borong itu mengatakan bahwa kunci utama untuk setia mengajar, mendidik dan merawat anak-anak berkebutuhan khusus adalah rasa cinta.

“Awalnya saya melihat ini tugas berat karena latar belakang ketunaan mereka yang berbeda-beda. Ada tuna netra, tuna rungu, tuna grahita dan lain-lain,” katanya. “Tetapi, karena rasa cinta dan rasa memiliki, saya menikmati tugas saya.”

Meski seringkali berhadapan dengan perilaku peserta didik yang menguji kesabaran, Stefania mengaku tetap tabah dan setia mendampingi mereka. Semua itu ia lakukan karena cinta. Ia bahkan menganggap para muridnya seperti anak kandung.

“Saya mencintai mereka seperti anak saya sendiri. Saya memperlakukan mereka juga seperti anak saya sendiri,” ungkapnya.

“Kami seperti keluarga. Mereka juga banyak tingkah dan lucu-lucu,” tambahnya.(Bersambung…)

TERKINI
BACA JUGA