Senyum Renta Penenun Wolotopo

Ende, Ekorantt.com – Kampung Wolotopo terletak di Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende. Jarak Kampung Wolotopo dari Kota Ende sekitar 14 kilometer dari Kota Ende. Bisa ditempuh 30 menit dengan berkendara dari pusat kota.

Berada di pesisir selatan, Kampung Wolotopo mampu menggoda wisatawan yang berkunjung. Pemandangan laut dan gunung bikin mata tak berkedip. Selain alam yang memesona, rumah-rumah adat setempat yakni Sa’o Ata Laki, Sa’o Sue, dan Sa’o Ata Robo berdiri kokoh di atas susunan batu-batu tua yang berumur ratusan tahun. Ada pula kuburan batu beserta batu sesaji.

Menariknya juga, wisatawan bisa menjumpai dan berinteraksi langsung dengan mama-mama penenun. Mereka sangat ramah dan apa adanya. Mereka selalu mengumbar senyum kepada siapa saja yang datang. Itulah yang berkesan saat Ekora NTT berkunjung ke Kampung Wolotopo pada medio Juli 2021 lalu.

Mama-mama penenun itu duduk berbaris di kolong rumah adat Wolotopo. Dengan alat seda (alat tenun tradisional), mereka tekun menenun sarung adat Lio.

Ada yang sibuk merancang motif, ada pula yang sedang asyik menenun. Mereka bersaudara dan tinggal serumah dalam rumah adat Sa’o Sue. Saban hari, pekerjaan tetap mama-mama ini adalah menenun. Menenun memang telah menjadi sebuah tradisi yang diwariskan bertahun-tahun oleh orang tua dan nenek moyang mereka.

iklan

Kampung Wolotopo terkenal dengan kain tenun ikat Ende Lio. Setiap bulan, puluhan kain adat dihasilkan oleh mama-mama di Wolotopo. Kain adat ragi (kain adat pria Ende Lio) dan lawo (kain Adat wanita Ende Lio) dihasilkan, kemudian dijual. Sebagiannya lagi ditenun untuk urusan wurumana (adat).

“Saya bersyukur dulu masih gadis diajarkan mama saya untuk menenun. Tidak ada latihan khusus. Saya hanya lihat mama menenun, lalu saya bisa dengan sendirinya,” ujar mama Paulina (68) kepada Ekora NTT kala itu.

Untuk menyelesaikan satu lembar kain tenun ikat wanita, kata Mama Paulina, butuh waktu dua atau tiga minggu. Sedangkan untuk kain tenun pria, butuh waktu paling kurang satu minggu.

Penenun lain, Mama Kristina menuturkan bahwa pada zaman dahulu, seorang wanita dikatakan dewasa kalau sudah bisa menenun. Belum bisa dibilang dewasa kalau tidak bisa menenun.

“Jadi dulu itu, orang bisa berkeluarga kalau sudah bisa tenun. Sekarang karena zaman sudah maju, itu sudah tidak pakai lagi,” ujar Mama Kristina.

Mama Kristina berharap, generasi muda bisa belajar menenun. Ia khawatir tradisi menenun akan hilang begitu saja.

Kekhawatiran Mama Kristina muncul saat orang muda sudah jarang belajar menenun. Menenun hanya menjadi keistimewaan yang dimiliki oleh orang tua seperti dirinya.

“Kami itu doa, kalau anak cucu kami tetap mau belajar dan bisa tenun agar warisan ini tidak hilang begitu saja,” kata Mama Kristina

TERKINI
BACA JUGA