Maumere, Ekorantt.com – Pantai merupakan destinasi wisata yang selalu dapat memberikan kesan tenang dan nyaman dengan keindahan yang diberikan laut. Tetapi bagaimana jika pantai atau lingkungan sekitar kita malah menjadi tempat penampungan sampah terakhir di musim hujan?
Di tengah ketidakkeberdayaan pemerintah untuk menangani sampah, sejumlah komunitas maupun individu tergugah untuk ambil bagian dengan memungut sampah bahkan mengelolanya menjadi barang berharga.
Sebut saja, Komunitas Trash Hero di Kabupaten Nagekeo, Komunitas Anak Cinta Lingkungan [ACIL] di Kabupaten Ende, Gerakan Masyarakat Peduli Sampah [GMPS] Kabupaten Manggarai dan Komunitas Cinta Bersih Labuan Bajo [KCBL].
Di Kabupaten Sikka, ada Susilowati atau Ibu Susi (53) wanita asal Rowoseneng, Jawa Tengah yang telah mengelola sampah sejak tahun 2016. Susilowati yang sebelumnya tinggal di Pakistan harus rela pindah domisili ke Maumere-Flores untuk mengurus sampah. Ia bersama suaminya lantas membuka usaha bank sampah di Lokaria-Kota Maumere.
Perjalanan Pindah Domisili
Susilowati bercerita pada tahun 1996 saat waktu cuti, ia bersama suaminya [Herman] berlibur ke Flores dan saat itu menjadi saat pertama mereka menginjakan kaki di daratan Flores. Ia bersama Herman lalu menjelajahi wilayah Flores walaupun kondisi infrastruktur cukup memprihatinkan saat itu.
Meski awalnya hanya ingin menghabiskan waktu cuti di Flores, Susilowati masih ingat betul karakter masyarakat saat itu. Sikap sopan dan keramahan yang ditunjukan masyarakat saat itu merasukinya hingga memutuskan pindah domisili.
“Saat tiba di wilayah Maumere tepatnya di Paga waktu itu, saya melihat keramahan dan kekompakan masyarakat sekitar yang mendukung keputusan saya untuk tinggal di pulau ini,”kisah Susilowati.
Setelah liburan, ia bersama suaminya kembali ke Pakistan untuk mengurus perpindahan ke Flores. Mereka membutuhkan waktu yang terbilang cukup lama untuk mengambil keputusan. Hingga pada tahun 2000, mereka kembali ke Flores.
Mengawali perjalanan mereka untuk tinggal dan menetap, beliau memutuskan ke Maumere. Di Maumere pada tahun 2000-an, Susilowati bekerja menjadi travel agent di Care Internasional Indonesia, selanjutnya beliau membuka Cafe Maumere di Jalan Gadja Mada.
Susilowati juga mendirikan sekolah play group untuk anak-anak yang bernama rainbow. Hingga pada tahun 2014, Herman kemudian menjual rumah mereka di Pakistan dan membeli sebidang tanah di wilayah Pantai Lokaria, Maumere. Pantai ini diberi nama Pantai Paris-Maumere.
“Awal-awal kami tinggal sini di Bulan Oktober hingga Maret pada musim barat, kami selalu menerima hadiah yakni sampah dari laut. Sampah-sampah yang dibuang dan ditumpuk dibawah oleh sungai-sungai dan berakhir di laut,” tutur Susilowati.
Selama itu, ia memperhatikan keberpihakan pemerintah dalam menangani sampah yang dianggap sangat lemah. Belum lagi faktor infrastruktur dan ekonomi yang tidak merata di daerah tersebut dan dapat dikatakan belum sepenuhnya mendapat sentuhan dari pemerintah.
“Disinilah saya membantu mereka dengan cara membuka usaha [bank sampah] dan dapat membuka lapangan pekerjaan untuk mereka agar membantu ekonomi mereka meskipun harus meninggalkan kehidupan sebelumnya di Pakistan,” katanya.
Sampah Ekonomis
Awalnya, Susilowati bingung harus seperti apa hingga mendapatkan ide untuk mengelola sampah ketika ia berlibur ke Bali. Ide tersebut dikembangkan bersama 6 [enam] orang difabel dan 6 [enam] orang nondifabel menjadi produk yang memiliki nilai jual tinggi.
Saat itu, mereka tidak hanya mengumpulkan sampah dari laut saja, mereka lalu membuat bank sampah. Masyarakat dapat menjual sampah-sampah dan dari sampah-lah mereka menjadikan produk indah yang dapat dijual untuk pemakaian sehari-hari.
“Jika di bank masyarakat menabung uang, maka di bank sampah masyarakat dapat menabung sampah untuk diolah dan dijual kembali dengan harga yang cukup besar. Nah, jika kalian bertanya darimana modal awal kami membuka bank sampah, maka jawabannya adalah dari hasil homestay Pantai Paris milik kami,”tutur Susilowati.
Produk-produk yang dibuat berupa parabot dapur yakni, piring yang terbuat dari gelas minuman plastik, tas dari sachet kopi, keranjang laundry atau keranjang belanjaan dari gelas minuman plastik.
Adapun meja dan kursi dari botol-botol plastik bekas, vas bunga dari botol kaca, hiasan dinding dari potongan kain tenun yang tidak dipakai dan masih banyak lagi.
Semua produk ini bisa didapatkan dengan harga bersahabat yakni mulai dari Rp10.000 hingga Rp700.000. Anyaman-anyaman piring dari gelas minuman dapat dibeli dengan kisaran harga Rp10.000 hingga Rp15.000 per pieces, anyaman tas dari sachet kopi juga dapat dijumpai dengan harga murah yaitu Rp 35.000 hingga Rp 100.000, juga keranjang anyaman dari harga Rp 75.000 hingga Rp120.000.
Berbeda dengan barang lain yang dijual per pieces, meja dan kursi dari botol dijual dengan harga Rp600.000 hingga Rp 700.000 per set.
“Harga ini, termasuk murah dan ramah lingkungan. Hasil dari penjualan produk ini juga dapat membantu ekonomi teman-teman yang ikut mengelola sampah,”tutur dia.
Nia Diwi