Yuven Fernandez*
Perayaan Natal memang selalu identik dengan lagu-lagu seperti O Holy Night, Jinggle Bell, Let it Snow dan sebagainya. Natal juga tak lepas dari kehadiran gemerlapnya pohon natal bersalju dan sosok Sinter Klas yang lucu.
Di banyak pusat perbelanjaan susasananya memang dikemas benar-benar khas natal. Pernak-pernik natal seperti pohon natal menghiasi setiap sudut pusat perbelanjaan. Indah nian dan memikat setiap mengunjung.
Natal tampaknya dikemas dalam logika ekonomi agar menjadi komoditas yang bisa meraup keuntungan besar. Makna Natal pun bisa jadi tergeser oleh pelbagai eksploitasi ekonomis.
Apa pun bentuk dari logika ekonomi pasar, Natal tetap sebuah perayaan keluarga dengan makna yang teramat mendalam bagi umat Kristiani. Natal wajib dimaknai sebagai sebuah perayaan kesederhanaan di tengah potret kelabu kemiskinan akut yang dialami orang-orang kecil, pandemi, bencana, dan ancaman perubahan iklim.
Adalah penyair kenamaan Libanon, Khalil Gibran jauh-jauh hari lewat karyanya Anggur Cinta telah menulis semacam awasan akan patutnya sebuah kegembiraan sukacita Natal dirayakan.
Ia menulis: Yesus Kristus datang ke dunia bukan untuk membangun kuil dan altar-altar yang megah di tengah pondok-pondok kusam kemalangan manusia, melainkan Yesus Kristus datang ke dunia untuk menjadikan hati manusia sebagai kuil dan altar sebagai tempat berdiamnya.
Dengan demikian makna natal harusnya menjadikan semua yang merayakannya semakin mengedepankan aspek kemanusiaan.
Selain pandemi yang sudah melanda tanah air sejak tahun 2020, mengakhiri ziarah tahun 2021, wajah bumi pertiwi juga diwarnai dengan aneka bencana yang menimpa. Tersebutlah bencana banjir, tanah longsor, dan yang masih segar dalam ingatan adalah letusan gunung Semeru Jawa Timur.
Kerugian material dan hilangnya nyawa manusia tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi potret kelabu, sekelabu abu Semeru menyisakan catatan manis. Di tengah kelamnya bencana muncul kesadaran akan kuatnya social capital dalam masyarakat.
Dari gerakan spontan nasi bungkus, gerakan spontan saling membantu, spontanitas menerima dan membantu para korban, menyembul optimisme bahwa solidaritas tak pernah mati terkubur. Semuanya itu justru menyeruak dalam sekejap dari arus bawah.
Barangkali kita perlu belajar dari warga sekitar Semeru. Seharusnya solidaritas kemanusiaan itu hidup di seluruh negeri tercinta ini. Kebersamaan itu membutuhkan toleransi.
Semeru sedang merangkul manusia. Bencana itu telah menggerakkan manusia untuk memperhatikan sesama. Semangat hidup berbagi untuk sesama menemukan jawabannya di tengah-tengah bangsa yang sedang mengalami krisis kemanusiaan.
Satu refleksi bagi kita semua adalah haruskah kita menunggu bencana untuk menumbuhkan solidaritas sosial? Solidaritas yang tumbuh secara sporadis, tanpa koordinasi dan instruksi itu menyadarkan kita akan modal kebersamaan yang besar.
Solidaritas rakyat yang murni tanpa pamrih. Dinamika empati menuntut kehadiran kita di pusaran derita, bukan sebagai orang asing atau pendatang, tetapi sebagai saudara yang sungguh ikut sehati, seperasaan dan sependeritaan.
Kita dapat belajar dari cara Allah menampakkan keberpihakan-Nya kepada manusia dalam inkarnasi sang Putera. Solidaritas besar inkarnasi Sang Juru selamat yang kita rayakan.
Natal berarti lahir (Natus, kata bahasa Latin). Dalam kepercayaan umat Kristiani, Natal merupakan perayaan kelahiran Yesus Kristus. Dalam teologi Kristiani, peristiwa itu disebut sebagai inkarnasi. Allah menjelma menjadi manusia. Sang Sabda menjadi daging, manusia.
Peristiwa Natal sendiri merupakan peristiwa kasih. Allah mengasihi manusia. Allah hadir dalam sejarah manusia. Mau ‘berkotor tangan’ dan bersolider dengan manusia.
Ketika hadir dalam sejarah manusia, Yesus mau bersolider dengan kehidupan manusia yang serba terbatas. Bahkan kelahiran di kandang yang hina melambangkan kehadiran Yesus bagi kelompok rentan, miskin, lemah, dan tak berdaya.
Inilah makna Natal yang harus dirayakan oleh umat Kristiani dalam kehidupan sehari-hari. Spiritualitas natal inilah yang senantiasa mendorong umat Kristinani untuk berbagi dan bersolider dengan sesama yang lemah dan menderita.
Semoga perayaan solidaritas Allah yang memanusia mendorong kita menghargai kemanusiaan seperti Allah sendiri menghargainya. Selamat hari raya Natal 2021 dan selamat menyongsong Tahun Baru 2022.
*Penulis adalah Jurnalis Ekora NTT