Larantuka, Ekorantt.com – Bunga (19), bukan nama sebenarnya, tak pernah berpikir akan jatuh dalam dunia prostitusi. Ia diajak temannya untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga di Larantuka, ibu kota Flores Timur.
Bunga yang selalu mendapat kekerasan dari orangtuanya mengikuti ajakan temannya dan meninggalkan kampung halamannya pada 2019, saat ia masih berusia 16 tahun.
“Ada teman yang ajak saya. Dia bilang bantu mamanya di sini (Larantuka-red),” tuturnya kepada Ekoran NTT, Kamis (14/7/2022).
Namun, saat tiba di Larantuka, temannya membawa bunga ke rumah salah satu ibu. Di rumah itu sudah ada beberapa gadis seusia Bunga. Kepada Bunga, ibu itu memberitahukan bahwa mereka akan bekerja melayani tamu.
“Saya tanya maksudnya apa ini, dia bilang, tidak! cari tamu. Saya pikir saya datang sini ini bantu ema (mama) kerja kah apa kah,” cerita Bunga.
Bunga tak berdaya. Ia menuruti kemauan si ibu pemilik rumah untuk melayani pria hidung belang. Sejumlah pria biasanya memesan jasa Bunga melalui media sosial atau melalui temannya. Kemudian mereka bertransaksi di tempat yang ia sebut Kandang Kambing. Tempat itu dekat Pura, tempat ibadah umat Hindu.
“Di Kandang Kambing itu, kami bertemu kakak-kakak (laki-laki) dengan patokan tarif 300.000,” ujarnya.
Dari jumlah itu, kata dia, sebesar 50 ribu rupiah diberikan kepada ibu yang menampung mereka, sebagai biaya sewa kamar.
Bunga menyebut, sehari ia biasa melayani dua sampai tiga pria. Ia terpaksa melakukan itu karena sudah terlanjur terjerembab ke dalam pekerjaan yang diharamkan agama dan adat istiadat setempat itu.
Bunga mengatakan ia belum punya niat untuk pulang ke kampung halamannya di wilayah Flores Timur karena takut kepada ayahnya.
“Bapa sifat terlalu jelek le. Bapa masih pukul kami. Kami sudah dewasa itu kah, tapi masih dipukul dan dimaki,” tuturnya.
Ia mengatakan bahwa selain dirinya, ada delapan kawannya juga terlibat dalam prostitusi online di Larantuka. Mayoritas dari mereka berasal dari Kabupaten Flores Timur.
“Ada juga yang dari Maumere dan Lembata,” katanya.
Sementara itu, Mawar (20), bukan nama sebenarnya, menyebut bahwa ia sempat menjembatani transaksi BO antara temannya sendiri dengan pria hidung belang.
“Itu laki-laki tanya kita (melalui chat Facebook), apakah ada teman yang mau dibayar. Terus kita tanya teman, kebetulan dia butuh uang, dia mau. Waktu itu bawa di hotel. Bayar 250 ribu rupiah,” tuturnya.
Banyak Faktor Pemicu
Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka Anselmus Atasoge menyatakan sangat prihatin dengan fenomena prostitusi di kota pariwisata religius tersebut.
“Bagi saya, fenomena ini disebabkan oleh macam-macam faktor. Kita mesti mengurai faktor-faktor itu sebelum menaruh penilaian dari pelbagai perspektif,” katanya.
Secara umum, Atasoge menyebut dua faktor utama yang menyebabkan para gadis itu terlibat prostitusi, yakni faktor internal seperti kekurangan pengetahuan tentang seksualitas, kekurangan control diri, kondisi pubertas dan lain sebagainya.
“Faktor eksternal yang paling disoroti adalah lingkungan keluarga, selain sekolah dan masyarakat. Saya menyebut keluarga sebagai faktor eksternal yang utama sebab keluarga menjadi tempat utama pembentukan tingkah laku, moral, watak dan pendidikan bagi anak dan remaja. Tentu ada banyak unsur yang berperan di dalamnya,” bebernya.
Alumnus STFK Ledalero tersebut menyebut, seks bebas, bisa jadi disebabkan oleh ketiadaan kasih sayang yang sempurna dari orang tua di dalam keluarga, sehingga mereka mencari dan menemukannya di luar rumah.
“Bisa jadi, mereka menemukannya dalam diri para pria yang menggunakan jasa open booking-nya mereka,” ujarnya.
“Atau bisa terjadi juga bahwa apa yang mereka lakukan itu sebagai bentuk ekspresi kekecewaan mereka terhadap perilaku kasar-keras yang mereka alami dari orang tua mereka. Mereka mungkin tahu bahwa tindakan mereka salah dari sisi moral dan keagamaan. Namun, kurang mampu membangun resiliensi diri terhadap perilaku yang mereka terima dan tak memiliki jalan lain serta terbukanya peluang transaksional melalui kemudahan teknologi maka pertahanan moralnya melemah dan tak terkontrol,” imbuhnya.
Fenomena ini, bagi Ansel sekiranya harus menjadi perhatian semua pihak mulai dari orang tua, guru, masyarakat, dan pemerintah.
“Kita tidak menginginkan agar masa depan para remaja kita hancur karena kesalahan kita sendiri sejak dari rumah,” ujarnya.
Ansel pun menyadari bahwa fenomena ini menjadi tantangan besar bagi keluarga-keluarga saat ini.
Menurutnya, dari perspektif Katolik, seksualitas dan perkawinan itu merupakan sebuah kesucian dan jalan menuju kekudusan.
“Tuhan menciptakan lembaga perkawinan dan keluarga dengan rencana istimewa karena keluarga dibutuhkan oleh Tuhan untuk menjadikannya panggilan dan jalan kekudusan. Panggilan kekudusan itu bukan privilese khusus bagi para klerus dan biarawan-biarawati melainkan bagi semua anggota Gereja, dan karena itu kasih keluarga adalah serentak panggilan dan jalan kekudusan,” jelasnya.
Kesadaran akan panggilan ini, Kata Ansel, hendaknya membangkitkan penghargaan dan kebanggaan sebagai keluarga, serta mendorong keluarga untuk menghargai kesucian dan kemurnian hidup perkawinan yang sejak dini harus ditanamkan pula pada generasi muda.
“Tujuannya agar calon-calon pasangan suami istri termasuk para remaja kita boleh menghargai kekudusan itu sejak dini sebelum akhirnya berkeputusan untuk membangun hidup keluarga,” tutupnya.
Tim Ekora NTT