Larantuka, Ekorantt.com – Kegiatan Talk Show menyongsong HUT Tenun Ikat Nasional mengundang Bernard Tukan untuk berbicara soal Tenun Ikat, Identitas Kultur dan Produk Budaya Multidimensi.
Pemerhati budaya asal Flores Timur tersebut menguraikan secara lugas tenun ikat sebagai identitas kultur dalam komunitas budaya menjadi penanda dan pembatas, serentak mempresentasikan budaya komunitas yang utuh.
“Produk budaya yang multidimensional maksudnya sebagai semua unsur kebudayaan dapat ditemukan dalam tenun ikat mulai dari bahan dan peralatan, proses dan hasil pengerjaan, serta penggunaanya,” ungkapnya, saat sesi Talk Show di aula SMK Hendricus Leven Waibalun, Flores Timur, Rabu (7/9/2022).
Perayaan Hari Tenun Ikat Nasional tersebut, digelar berkat kerja sama atau kolaborasi antara SimpaSio Institute dengan Teras Mitra. Mereka menggelar Talk Show dan lomba modifikasi tenun ikat Lamaholot.
Kegiatan tersebut melibatkan para siswa- siswi di tiga jurusan yakni; Multimedia, Farmasi, dan Tata Busana, juga para guru dan pegawai di sekolah SMK Hendricus Leven.
Kepala Sekolah Sr. Clarent, Cij memberi apresiasi atas terselenggaranya kegiatan tersebut, karena sesuai dengan kebutuhan siswa-siswi dan kondisi lingkungan lokal.
“Seluruh warga sekolah hadir dengan mengenakan kain tenun ikat. Sungguh semarak dan luar biasa, apresiasi balik dari tim kreatif SimpaSio Institute,” ujar Suster Clarent.
Selain Bernard Tukan, narasumber lain dalam Talk Show adalah Ibu Maria Kromen, seorang pengrajin tenun ikat.
Maria Kromen dengan jelas menarasikan pengalamannya saat belajar menenun sejak kecil dari ibunya. Ia seorang yang tekun memproduksi kain tenun hingga saat ini.
“Salah satu tantangan yang dihadapinya yakni permintaan untuk membuat tenunan dengan motif yang sesuai selera pembeli,” ungkap Maria Kromen.
Lebih jauh, kata Maria, para pengrajin selama ini selalu terbiasa dengan motif-motif warisan pendahulu.
“Atas permintaan untuk dibuat motif lain, solusinya dengan mendesain motif itu di komputer. Kebetulan ia sendiri memiliki keterampilan tersebut,” terangnya.
Ia menegaskan, tenun ikat memiliki prospek ekonomi. Ia bangga dengan ketekunan dan hasil kerjanya walau tidak sempat melanjutkan studi setelah tamat SMA.
Maria hanya bermodalkan kursus komputer, kursus menjahit, dan belajar mandiri. Meski begitu, Maria Kromen berkisah, ia sangat mencintai tenun ikat sebagai warisan leluhur.
Cerita Ibu Maria, kata Suster Sil.Cij, dapat mendorong lembaga untuk berbagi peran dalam menghasilkan tenun ikat.
“Justru jurusan Multimedia mendesain motif, jurusan Farmasi sangat berurusan dengan pewarnaan juga jurusan Tata Busana selalu terkait erat dengan proses menenun,” tutupnya.