Larantuka, Ekorantt.com – Lima orang anak itu sedang duduk di bale-bale ketika Ekora NTT menemui mereka pada Jumat, 10 Maret 2023.
Mereka adalah Maria Magdalena Mage (14), Yuliana Veronika Tuto Mage (14), Anastasia Febriana Mage (17), Yosua Mage (22), Dominikus Demon Mage (24), dan Agnes Aprilia Tuto Mage (19).
Kakak sulung mereka, Dominikus sedang tidak ada di rumah. Mereka tinggal sendiri di Kelurahan Pohon Bao, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur.
Ayah mereka Yohanes Kalvin Mage telah meninggal dunia beberapa tahun silam, sementara Katarina Kewa Kolin, ibu mereka menghidupi Dominikus dan kelima adik perempuannya sendirian.
“Ibu yang bekerja untuk menghidupi kami,” kata Maria Magdalena.
Maria bilang, ibu mereka Katarina sangat pandai membuat berbagai jenis kue dan menjajakannya kepada warga di sekitar pemukiman kompleks perumahan Batu Ata di Kota Larantuka.
“Saya dan kembar saya Yuliana Veronika Tuto Mage membantu ibu berjualan kue sambil sekolah,” kisah Maria.
Tak lama berselang, Yuliana ikut bersuara. Ia mengatakan, pagi-pagi buta, mereka menggandeng stoples berisi roti goreng, kue donat, dan juga kue dadar hasil buatan ibunya.
“Untuk makan-minum, ibu sampai berutang,” kata Yuliana terbata.
Rupanya, Katarina meminjam uang dari rentenir demi mencukupi kebutuhan hidup dengan membuat kue. Dari hasil jualan kue, Katarina bisa mengembalikan pinjamannya dan juga bisa cukup untuk membiayai sekolah keempat anaknya.
Namun, menurut pengakuan Yuliana, utang mereka belum lunas tetapi membengkak dari hari ke hari dan belum bisa dibayar.
Karena utang yang belum lunas, pada 7 Januari 2023, Yuliana mengatakan, ibu mereka harus berangkat ke Kalimantan guna mencari kerja.
Aplikasikan Pelajaran Buat Kue dari Ibu
Ketika ibu sudah di Kalimantan, dengan modal pelajaran membuat kue dari sang ibu, Anastasia Febriana Mage (18) yang duduk di bangku SMA memutuskan untuk membuat kue dan menjajakan hasil jualan mereka pada pagi hari sebelum berangkat ke sekolah.
Ia bangun jam dua subuh, mencampur tepung terigu dengan mentega, garam dan bibit roti, serta membiarkannya beberapa menit, lalu menggoreng dan menjajakannya kepada warga sekitar. Ia dibantu dua adik kembarnya Maria dan Yuliana.
Mulai jam 06.00 setiap pagi, kedua adiknya berjualan keliling, lalu pulang lebih awal jam 06.30 WITA karena harus menyiapkan diri dan bergegas ke sekolah dengan jarak 2-3 kilo meter jauhnya sambil berjalan kaki.
“Saya diajarkan ibu buat kue. Kami keluarkan uang 86 ribu sampai 90 ribu rupiah buat kue. Kami dapat untung kadang 50 ribu kadang juga 60 ribu rupiah,” cerita Anastasia.
Dari hasil jualan kue, Anstasia melanjutkan, mereka menggunakan untuk biaya kebutuhan hidup dan sekolah pun mencicil utang ibu. Bahkan, ketika berjualan di jalan, kata Anstasia, ada rentenir yang memalak mereka untuk segera memotong utang Katarina.
“Kerja bayar utang. Kalian mau makan kah, tidak makan itu urusan korang (kalian). Mereka tagih terus, kadang ganggu fokus belajar saya di sekolah juga,” kata Anastasia, siswa SMA menirukan ucapan rentenir.
“Kami juga tak ada modal sehingga kerap kewalahan untuk kembali membuat kue,” sambungnya.
Sesekali, lanjut Anastasia, ia tidak ke sekolah hanya karena ingin membuat kue dan menjual demi kebutuhan hidup setiap hari pun membayar utang ibunya.
Anastasia menambahkan, ia bersama adik-adiknya terkadang tidak makan karena kehabisan beras dan memilih minum air putih untuk menahan lapar.
“Kadang sehari tidak makan. Dan kami minum air,” kisahnya lagi.
Sementara Kakak Yosua Mage (22), anak kedua dari Yohanes Kalvin Mage dan Ibu Katarina mengatakan mereka sering ditelepon ibu dua hari sekali.
“Kami sering ditelepon ibu dan ibu motivasi supaya kami tetap semangat bersekolah,” kata Yosua.
Sementara tetangga rumah, Halima Anwar (42) yang ada bersama Yosua dan adik-adiknya mengatakan, ia kadang mengetahui penderitaan mereka dan membantu seperlunya.
Apalagi sebagai ibu rumah tangga, Halima punya perasaan belas kasihan meski keenam anak itu tidak memberitahukan kondisi mereka saat itu.
“Mereka tidak pernah mengeluh beras tidak ada. Air galon saja mereka sulit beli apalagi air mandi. Kadang mereka pergi sekolah hanya cuci muka saja,” tutur Halima.
“Yang membuat saya salut itu kekurangan mereka di dalam rumah itu banyak orang tidak tahu. Mereka tahan diri. Kalau saya panggil suara tidak ada. Maka mereka tidak makan. Mereka tidur saja itu. Di situ saya panggil untuk makan,” kata Halima dengan nada pilu.
Halima membayangkan, anak-anak tersebut sedang dalam proses pertumbuhan, dan mereka butuh kebahagiaan atau suasana gembira dan senang-senang.
“(Saya) rasa lingkungan ramai jadi mereka tidak terlalu tertekan. Takutnya mereka depresi kalau orang datang tekan mereka tagih utang. Umur begini kan usianya senang-senang,” kata Halima.
Ada juga Pemerhati Sosial, Darius Boro Beda (40) ketika dimintai tanggapannya soal anak-anak yang berjuang sendiri, berharap supaya negara atau pemerintah harus hadir menyentuh mereka.
“Negara harus hadir dan tidak ada alasan untuk tidak hadir. Konstitusi sudah mengatur bahwa anak-anak terlantar dijamin oleh negara,” katanya, Kamis, 17 Maret 2023.
Darius sungguh berharap, negara dalam hal Pemkab Flores Timur dan dinas terkait hadir untuk memastikan hak dan membantu mereka agar selaras dengan anak-anak lain yang bahagia menatap masa depan.