Kupang, Ekorantt.com – Siska Ete (69), warga Desa Ulupulu 1, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo sangat geram ketika mendengar ada pandangan miring tentang pangan lokal. Ia tidak terima kalau pangan lokal diidentikkan dengan pangan orang miskin, pangan kelas dua milik orang tak mampu.
“Kami bukan orang miskin kalau makan ubi, makan kacang,” kata Siska kepada Ekora NTT pada Jumat, 13 Oktober 2023.
Siang itu, Siska dan suaminya Theodorus Lipe berteduh di bawah naungan pondok yang sekaligus menjadi lumbung pangan mereka. Mereka berlindung dari teriknya matahari.
Pandangan mereka tertuju pada hamparan lahan kebun seluas satu hektare di depan mata. Di dalamnya, aneka pangan lokal seperti ubi gadung (dioscorea hispida), kacang hutan, dan beberapa jenis umbi-umbian tumbuh subur.
Ibu empat anak ini kemudian menunjukkan stok pangan yang tersimpan rapi di bakul, karung, dan bambu. Ada bue kaju (kacang hijau), bue uta (kacang nasi), lipe, dan vesa (kacang hutan beracun) serta ubi-ubian.
“Kami mempunyai stok makanan untuk lima tahun ke depan,” tuturnya.
Stigma pangan lokal tidak berlaku bagi Siska. Namun, anggapan pangan lokal sebagai pangan orang miskin sangat terasa di lingkungannya.
Keluarga yang mengonsumsi pangan lokal dianggap tidak bisa membeli beras. Mereka tergolong keluarga miskin.
“Kita di sini begitu. Dulu tidak. Sekarang ini, siapa yang makan ubi berarti miskin. Orang baru kenyang kalau makan nasi,” tuturnya miris.
Padahal bila dirunut ke belakang, kata Siska, pangan lokal seperti ubi, sorgum, dan kacang hutan sempat menjadi makanan pokok masyarakat di daerahnya pada tahun 1960-an.
Bahkan masih lekat dalam ingatannya, Siska kala itu ikut mencari ubi dan kacang beracun di hutan, lalu diolah untuk dikonsumsi sehari-hari.
“Buktinya saya masih hidup sampai sekarang,” ujarnya.
Siska menuturkan, pangan beras mulai dikonsumsi saat bibit padi dibagikan secara gratis kepada para petani pada 1970-an. Awalnya produktivitas padi masih sedikit. Pangan lokal masih menjadi makanan pokok saat itu.
“Kemudian petani sudah tambah lahan untuk menanam padi melalui gerakan kelompok-kelompok tani,” tutur Siska.
Para petani yang bergabung dalam kelompok tani mendapat stimulan bibit padi varietas inpari untuk ditanam di lahan kering. Varietas ini mampu mendongkrak produktivitas padi di kalangan petani, kata Siska.
Sejak saat itu, kampanye untuk menanam padi dilakukan secara masif. Para petani termakan dengan kampanye dan terdorong untuk menanam padi.
Pangan beras (padi) pun perlahan-lahan menggeser pangan lokal sebagai makanan pokok. Kini, warga di daerahnya sangat bergantung kepada beras.
Kembali ke Pangan Lokal
Siska tidak terlalu khawatir saat harga beras mengalami kenaikan. Aneka macam pangan lokal pengganti beras selalu tersedia di lumbung pangan keluarga.
Itu karena Siska dan Theodorus masih setia membudidayakan pangan lokal.
Tidak hanya dikonsumsi sendiri, pangan lokal dan olahannya dijual pada hari pasar. Di luar dugaan, banyak orang berminat untuk membeli makanan lokal.
“Lipe dan Vesa dijual per mangkuk Rp10 ribu. Ke’o (jali-jali) per kilogram Rp20 ribu, wete (jewawut) Rp50 ribu per kilogram,” imbuh dia.
Siska tidak sendirian. Maria Mone Soge (31) menghidupkan kembali pemanfaatan pangan lokal di Desa Hewa, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur.
Bersama anak muda desa yang tergabung dalam Local Champion Desa Hewa, Maria menggarap lahan untuk ditanami aneka pangan lokal desa setempat. Mulai dari umbi-umbian hingga sayur-sayuran.
Mereka juga belajar meracik olahan pangan lokal dengan bahan baku yang diambil dari lingkungan sekitar. Kolak Jewawut, misalnya, diolah dari jewawut, umbi-umbian, dan kacang-kacangan.
“Kami sekarang sementara buat emping beras (pelang), keripik pisang, keripik ubi kayu, keripik pisang coklat, dan jagung titi,” kata Maria.
Tidak berhenti di situ. Anak-anak muda yang bergabung dalam Koalisi Pangan Baik itu gencar berkampanye tentang pangan lokal lewat foto dan video yang disebarkan melalui media sosial masing-masing. Hal tersebut, tutur Maria, dilakukan semata-mata untuk membangkitkan kesadaran anak muda tentang kelestarian pangan lokal.
Ditambahkan oleh Direktur Yayasan Ayu Tani Mandiri, Thomas Uran bahwa pangan lokal dapat memberi manfaat bagi masyarakat untuk menghadapi dampak perubahan iklim.
“Saya kira kita masih banyak makanan lokal yang perlu kita angkat kembali. Masyarakat perlu mewarisi pangan lokal ke anak muda,” kata Thomas
Ia mendorong orang muda untuk terus mengampanyekan potensi pangan lokal sehingga kesadaran tentang hal itu menyebar semakin luas ke publik.
“Semangat ini harus diperkuat secara terus menerus ke depan,” ujarnya.
Hal yang sama dilakukan Yayasan Ayo Indonesia. LSM yang berkedudukan di Manggarai ini serius mengembangkan pangan lokal di beberapa wilayah dampingannya.
Setidaknya ada tujuh desa dampingan Ayo Indonesia di Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, yang sudah membudidayakan pangan lokal jenis sorgum.
“Perkembangannya ada tujuh desa di Satarmese yang mulai menanam sorgum dan Desa Gara punya UPH (unit pengolahan hasil),” kata Project Officer Yayasan Ayo Indonesia, Eni Setyowati kepada Ekora NTT pada Jumat, 13 Oktober 2023.
Ia menjelaskan, sorgum mulai dikenal masyarakat sebagai tanaman pangan alternatif pengganti nasi. Makanan tambahan untuk mengatasi stunting selain kedelai.
Kata Eni, Yayasan Ayo Indonesia melakukan pengenalan kebun gizi dengan tanaman pangan lokal di tingkat desa dan posyandu. Ada enam desa di Kecamatan Ruteng ditambah Desa Bangka Kenda di Kecamatan Wae Ri’i, Kabupaten Manggarai.
Dengan melibatkan kader muda local champion Momang Lino, jelas Eni, Yayasan Ayo Indonesia juga aktif melakukan kampanye pangan lokal. Pihaknya bekerja sama dengan desa-desa dampingan di Manggarai dan Manggarai Timur.
Kampanye dan Edukasi Berkelanjutan
Menurut Eni, kampanye dan edukasi yang berkelanjutan akan pelan-pelan mengikis pandangan yang keliru tentang pangan lokal. Diakui bahwa hal itu bukanlah usaha yang sekali jadi, butuh komitmen yang kuat.
Eni juga mendorong pemerintah untuk mengambil langkah dengan mengeluarkan kebijakan yang bisa menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan terpenuhinya konsumsi pangan lokal alternatif demi mengantisipasi ancaman krisis pangan.
Namun Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Manggarai berdalih belum mendapatkan alokasi dana.
Kegiatan APBD II sejak 2023 hingga 2024 boleh dibilang tanpa ditopang oleh anggaran yang memadai. Anggarannya sangat kecil, kata Plt. Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Manggarai, Livens Turuk.
Livens berharap kegiatannya bisa dialokasi dari APBN atau APBD I untuk kegiatan alternatif diversifikasi pangan.
Di level Provinsi NTT, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Lucky Koli mengklaim bahwa pihaknya telah meminta petani untuk membatasi jenis tanaman yang menggunakan air seperti padi saat berhadapan dengan fenomena El Nino seperti sekarang. Petani mesti fokus membudidayakan tanaman hortikultura seperti jagung, sorgum, kacang hijau, dan lain-lain.
Imbauan ini dikeluarkan karena NTT mengalami penurunan debit air dalam tanah di wilayah-wilayah tertentu.
“NTT seperti ini. Selalu hadapi terus situasi kekeringan ekstrem. Memang kita kemarau panjang. Daerahnya kering, kemarau panjang,” tandasnya.
Lucky meminta masyarakat NTT untuk memanfaatkan pangan lokal sebagai bahan makanan pengganti beras. Masyarakat diharapkan mengubah pola konsumsi agar terbiasa dengan olahan pangan lokal.
“Kita punya produksi pangan lokal banyak. Kita punya ubi, sorgum, buah sukun, jagung banyak. Ini pangan-pangan alternatif cukup banyak di masyarakat,” ujar Lucky.
Perubahan pola konsumsi, kata Lucky harus dimulai dari rumah tangga. Seperti, menyajikan sayur dan pangan lokal di meja makan.
Pangan Berbasis Potensi Wilayah
Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan pada Badan Pangan Nasional, Rinna Syawal mengatakan bahwa ketahanan pangan harus berbasis potensi yang ada di suatu wilayah. Baik itu sumber karbohidrat, protein, maupun vitamin mineral. Pemanfaatannya juga mesti dioptimalkan lagi. Dengan begitu kemandirian pangan di NTT bisa terwujud.
“Jadi, yang kita makan harus beraneka ragam, baik sumber karbohidratnya, proteinnya, dan vitaminnya,” terangnya dalam semiloka transformasi sistem pangan yang berbasis budaya, berkeadilan, dan berkelanjutan di Hotel Laprima Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Senin, 14 Agustus 2023 lalu.
Rinna berpandangan keanekaragaman pangan lokal memberi dampak positif. Sebab masyarakat tidak hanya tergantung pada beberapa jenis pangan saja.
“Dan itu membuat kita tahan pangan. Kalau kita hanya bergantung pada pangan tertentu apalagi pangan itu tidak diproduksi sendiri di daerah itu, maka membuat kita berisiko untuk tidak tahan pangan,” jelasnya.
Rinna mendorong generasi muda menciptakan produk pangan berbahan lokal, mengembangkan inovasi teknologi pengolahan pangan lokal, mendukung dan mencintai kuliner nusantara, ikut mensosialisasikan atau mengampanyekan pangan lokal kepada masyarakat, terutama kepada sesama generasi muda.
Perubahan Sistem Pangan
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah menegaskan, sudah saatnya perubahan sistem pangan, termasuk mengubah pola konsumsi pangan masyarakat.
Jika selama ini pola konsumsi pangan masyarakat didominasi oleh biji-bijian terutama beras sebagai sumber utama karbohidrat maka perlu didorong menjadi non beras misalnya sorgum, jewawut, jagung dan lainnya.
Perubahan pola konsumsi pangan, kata Said, mesti diimbangi dengan upaya memperkuat produksi dan meningkatkan ketersediaan pangan non beras.
Untuk mencapainya, diperlukan serangkaian intervensi seperti edukasi dan penguatan kesadaran tentang pola konsumsi yang berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan konsumsi pangan yang sehat dan bergizi.
Pengembangan pengolahan pangan mesti sesuai dengan konteks sosial kultur dan budaya yang berkembang, kata Said.
Termasuk menyediakan dukungan pada infrastruktur pengolahan dan teknologi, pengembangan kewirausahaan pengolahan pangan, pengaturan atau kebijakan harga, penguatan kelembagaan produsen, penguatan kapasitas dan produksi pangan yang berkelanjutan, ramah iklim serta menguntungkan, hingga dukungan pembiayaan dan tata aturan untuk memastikan produksi pangan berlangsung dengan mengandalkan produksi lokal.
Dengan demikian, kata Said, diperlukan upaya pada dua sisi, yaitu demand side dengan memperkuat pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal. Pada sisi lain, dilakukan upaya penguatan pada supply side dengan memberikan dukungan pada proses produksi bahan pangan lokal.
“Di tengah keduanya diperkuat kebijakan dan pengaturan harga yang memungkinkan pangan lokal non beras bisa bersaing dan menjadi pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya,” tegas Said.
Meski begitu, Said menegaskan, intervensi-intervensi tersebut tentu saja tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah, walaupun obligasi terbesar ada pada mereka.
Keterlibatan para pihak mulai dari NGO, perguruan tinggi, akademisi, pengusaha pertanian pangan skala lokal menjadi keniscayaan di tengah makin beratnya tantangan persoalan pangan yang ada.