Ruteng, Ekorantt.com – Uskup Ruteng Mgr. Siprianus Hormat, Pr mengatakan, fokus pastoral gereja Katolik Keuskupan Ruteng tahun 2024 adalah ekologi integral. Baginya, ekologi bukan soal tanam menanam. Lebih dari itu, ekologi merupakan perwujud-nyataan iman.
“Nah karena itu orang sampai babat hutan, makan hutan, rakus makan hutan, itu orang yang itu orang yang sama membunuh kehidupan,” kata Uskup Sipri kepada awak media di Ruteng pada Jumat, 26 Januari 2024.
Karena itu, ekologi integral harus dinyatakan dengan baik dalam berbagai macam pernyataan-pernyataan kehidupan masyarakat, kata Uskup Sipri.
Bagaimana topik ekologi ini diimplementasikan dalam karya pastoral, menurutnya, “sakramen-sakramen dalam gereja nanti akan difokuskan pada penanaman pohon.”
“Orang yang dibaptis kasih pohon kalau tanam. Dan kau kawal sampai hidup. Orang yang (Sakramen) Komuni Pertama dikasih pohon, begitu juga dengan (Sakramen) Krisma sampai yang mau menikah. Dan kawal,” jelasnya.
Uskup Sipri sudah menggarisbawahi pastoral ekologi integral dalam penutupan sidang pastoral postnatal 2024 pada pertengahan Januari lalu.
Kegiatan ekologis, kata Uskup Sipri kala itu, harus menjadi bagian utuh dari iman, bukan sekadar aksi sosial ekologis belaka.
Pada bagian lain, Uskup Sipri menyentil “fenomena ironis” di mana segelintir orang menguasai sumber-sumber alam secara berlimpah dan serakah, sementara sebagian besar orang tak punya apa-apa.
“Keserakahan ini mengakibatkan eksploitasi alam dan bencana alam yang korban-korban pertama dan utamanya adalah orang-orang miskin,” ujarnya.
Menyitir pernyataan Paus Fransiskus dalam Laudato Si, ekologi berkaitan dengan pembagian yang adil dari sumber-sumber daya alam yang ada di muka bumi ini.
“Oleh sebab itu, saya mengajak kita semua untuk dalam tahun ini menggalakkan aksi-aksi perawatan dan pelestarian alam ciptaan sekaligus diakonia terhadap orang-orang rentan di sekitar kita,” tandasnya.
Mengenai Proyek Geotermal
Ditanya soal proyek strategis nasional yang berpotensi merusak lingkungan, seperti proyek geotermal, Uskup Sipri membatasi diri untuk tidak bicara hal-hal yang teknis.
“Masuk ke hal teknis bukan bagian saya ya, karena kalau omong tentang itu kan ada ahlinya,” ujarnya.
Ia melanjutkan bahwa kajian-kajian para ahli itu yang akan menentukan “apa yang menjadi keuntungan dan apa yang menjadi kelemahannya.”
Kendati demikian, Uskup Sipri mengimbau, kalau memang geotermal merupakan kekayaan, “ayo” dimanfaatkan, asalkan memberikan dampak positif bagi masyarakat.
“Kan kita tidak menampik pembangunan, tetapi masyarakat harus menjadi bagian yang harus diperhatikan. Atau sebagai stakeholder yang betul-betul bukan saja supaya kamu menindas orang di sini, lalu bawa kekayaan keluar,” tuturnya.
Persis hal itu, sebut Uskup Sipri, yang menjadi perjuangan Keuskupan Ruteng saat berbicara tentang rencana proyek geotermal Wae Sano. Tidak hanya menolak tetapi harus ada ruang untuk duduk bersama.
“Dan itu yang menjadi pola pikir kita kadang-kadang orang Manggarai pokoknya A A, B B,” keluhnya.
“Karena pemerintah ini kan memikirkan banyak hal. Kalau ada hal-hal yang memang merugikan kepentingan kita, nah di situ kita bargaining. Jadi prosesnya itu kita berdinamika, jangan langsung hitam putih: A B,” sambungnya.
Terhadap hal itu, Uskup Sipri menyebutkan ungkapan dalam bahasa Manggarai bahwa “Eme manga tombo, cama-camas le tu’a golo. Eme mangas bantang caca, cama-camas le tuang camat.”
Ancam Ruang Hidup
Ketika Uskup Sipri bicara soal ekologi integral, warga justru berjuang untuk menolak kehadiran proyek geotermal.
Yuliana Guru warga Cako-Poco Leok, salah satunya. Ia menuturkan, kehadiran geotermal di Poco Leok mengancam ruang hidup mereka, juga berdampak pada menguatnya konflik horizontal.
Saban hari, Yuliana biasa menjual arak tradisional, kunyit, dan sayur-sayuran di Pasar Iteng, Kecamatan Satarmese. Namun setahun terakhir, ia tidak lagi ke pasar. Alasannya karena mengikuti aksi pengadangan pihak PLN yang hendak merampas tanah mereka.
“Tanah ini berkaitan dengan gendang, yaitu gendang one lingko peang. Kalau manusia bisa berkembang. Sementara tanah tidak,” katanya kepada Ekora NTT akhir November 2023 lalu.
Menurutnya, tanah tersebut diwariskan nenek moyang, lalu mereka berkewajiban untuk mewariskannya ke generasi selanjutnya, bukan ke perusahaan.
Dia berharap agar semakin banyak orang peduli dan bergabung untuk melakukan perlawanan terhadap pihak yang ingin merampas ruang hidup warga lokal.
“Kita tetap berjuang supaya geotermal tidak akan jadi,” pungkasnya.
Masyarakat Tidak Dilibatkan
Rofinus Rabun, warga Wae Sano juga bicara hal serupa. Dalam proses awal geotermal Wae Sano, kata dia, warga memang tidak dilibatkan.
Tetapi setelah masyarakat mulai menolak dan warga sudah mengetahui titik pengeborannya yang ada dalam ruang hidup masyarakat, maka mulai saat itu mereka dilibatkan.
“Tapi masyarakat yang tergabung dalam kelompok menolak tetap menolaknya,” ujarnya kepada Ekora NTT, Rabu, 31 Januari 2024.
Sedangkan sikap Uskup Ruteng awalnya adalah menolak. Dan, uskup sendiri melihat titik-titik itu dan mengetahui bahwa ada dalam ruang hidup masyarakat.
Namun anehnya, Uskup Ruteng malah merekomendasikan proses geotermal agar dilanjutkan hanya karena ada MoU antara pemerintah pusat, PT. SMI, serta pihak Keuskupan Ruteng dan tanpa melalui dialog bersama masyarakat.
Warga Wae Sano yang menolak langsung membuat surat terbuka untuk Uskup Ruteng. Mereka kecewa terhadap rekomendasi keuskupan untuk melanjutkan proses eksplorasi geotermal Wae Sano.
“Nah, setelah surat rekomendasi uskup, kami terus bersurat ke Bank Dunia untuk tidak mendanai eksplorasi geotermal Wae Sano,” jelas Rofinus.
“Maka Bank Dunia pun menanggapi surat warga. Sampai Bank Dunia datang untuk melihat titik-titik eksplorasi dan mendengar langsung suara penolakan warga,” tambahnya.
Setelah melihat dan mendengar langsung suara penolakan, Bank Dunia menyetujui agar menindaklanjuti jawaban warga.
Selanjutnya, ada rencana perubahan atau pindah titik eksplorasi. Tapi, lagi-lagi masyarakat tetap bersikeras untuk menolak.
“Sampai terakhir kemarin Bank Dunia datang pamit karena mereka tidak lagi mendanai eksplorasi geotermal Wae Sano, dengan alasan, masih ditolak oleh masyarakat,” kata dia.
Menurut Bank Dunia, kata Rofinus, satu orang saja yang menolak, maka mereka tidak mau mendanai rencana tersebut.
“Karena kami masyarakat adat Wae Sano, apa pun dalilnya, apa pun janji dari perusahaan atau dari mana pun, termasuk Keuskupan Ruteng, masyarakat adat Wae Sano yang menolak hanya ada satu kata ‘kami tolak’ sampai kapan pun,” pungkasnya.
Gereja Harus Tegas
Staf advokasi, kampanye dan pengorganisasian rakyat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT Gres Gracelia meminta Gereja Katolik harus tegas bersikap dalam pembangunan geotermal di Poco Leok dan Wae Sano.
Sebab menurut Gres, yang dipertaruhkan dalam dua proyek tersebut adalah wilayah kelola rakyat yang akan diwariskan secara turun temurun.
Walhi sendiri, kata dia, memaknai konsep ekologi integral untuk melihat pembangunan secara berkelanjutan. Tidak hanya pada manfaat pembangunan, tetapi melihat secara keseluruhan “bagaimana pembangunan itu tidak terlepas dari tata kelola, tata kuasa, tata konsumsi dan tata produksi.”
“Misalnya ketika kita bicara pembangunan untuk tata kelola ekonomi yang baik, tetapi secara tata kuasa semua ekonomi itu dikuasai oleh korporasi dan merampas ruang produksi dan ruang konsumsi masyarakat, dalam hal ini merampas ruang-ruang hidup rakyat, itu artinya tidak ada konsep keadilan ekologi dalam ekologi integral itu sendiri karena wilayah kelola rakyat diabaikan dalam konsep pembangunan,” jelas Gres kepada Ekora NTT, Rabu, 31 Januari 2024.
Ia menegaskan, makna ekologi integral di tengah proyek geotermal di Poco Leok dan Wae Sano harus bisa melihat setiap persoalan lingkungan hidup secara keseluruhan yakni ekosentris.
Konsep melihat lingkungan secara ekosentris artinya berbasis pada keseimbangan. Haruslah melihat lingkungan secara utuh. Hutan, pohon, dan air adalah setara dengan manusia yang sama-sama ciptaan Tuhan. Mereka punya hak yang sama untuk terus hidup.
Hal ini menurut Gres, menjadi dasar dari menjaga kehidupan yang berkelanjutan yakni “antara lingkungan, ekonomi dan sosial haruslah setara”.
“Jika dalam konsep pembangunan yang katanya ramah itu merugikan masyarakat dan menghilangkan peradaban, kepercayaan, budaya dan segala hal yang dipercayai masyarakat dengan lingkungannya, artinya konsep ekologi integral itu mengabaikan keadilan ekologi itu sendiri,” pungkas Gres.