Mengikis Diskriminasi dalam Ruang Redaksi, Perempuan Tak Perlu Takut Jadi Jurnalis

Ruteng, Ekorantt.com Porsi jurnalis perempuan di Indonesia masih kalah jauh dari laki-laki. Hasil penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia tahun 2021, misalnya, menemukan hanya 20 persen jurnalis perempuan di Indonesia.

Meski pekerja pers terbuka lebar bagi siapapun, namun ada berbagai alasan yang menyebabkan perempuan jarang mengambil bagian dalam profesi ini.

Redaktur Floresa.co Anastasia Ika mengatakan, masih ada anggapan  jurnalis laki-laki lebih mudah memajukan kariernya dibandingkan jurnalis perempuan.

Anggapan itu mengacu pada alasan bahwa pekerjaan lapangan acapkali dipandang berat dan jam kerja tidak teratur dalam kerja-kerja jurnalisme.

Pandangan tersebut ditemukan Ika, sapaan akrabnya, melalui cerita beberapa jurnalis perempuan. Mereka bekerja sebagai jurnalis hanya sebentar saja, lalu berpindah kerja ke perusahaan non-media dengan jam kerja teratur, berwiraswasta berbasis rumahan atau 100 persen ibu rumah tangga.

“Salah satu sebabnya, pasangan mereka keberatan ketika para jurnalis perempuan itu sering-sering pergi untuk meliput. Sudah begitu, perginya ke tempat jauh, dalam waktu yang lama dan tak jarang juga, pergi bersama jurnalis laki-laki,” kata Ika diwawancarai di Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT, Rabu, 13 Maret 2024.

Pasangan mereka itu menginginkan jurnalis perempuan lebih banyak di rumah dan tak bepergian dengan kolega laki-laki.

Dalam konteks ini, menurut Ika, ada soal kepercayaan atau trust sekaligus diskriminasi, bahkan dari pasangan mereka sendiri, yang membuat seorang perempuan tak mampu atau tak bisa secara berkelanjutan menekuni kerja-kerja jurnalisme.

Terpisah, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Flobamoratas Linda Tagie mengatakan, perempuan tidak banyak yang ingin bekerja sebagai pekerja pers atau jurnalis karena alasan kerentanan.

Ia mengatakan, profesi jurnalis bukan hanya membutuhkan keahlian menulis, tetapi juga mempertaruhkan keamanan dan keselamatan diri.

“Jurnalis perempuan mengalami kerentanan yang lebih, seperti kekerasan fisik, dikriminalisasi, hingga kekerasan seksual dan femisida,” kata Linda.

Hal serupa juga disampaikan Komisioner Ketua Sub-Komisi Pemantauan Komnas Perempuan Bahrul Fuad. Kata dia, jurnalis perempuan rentan mengalami pelecehan seksual, baik secara verbal maupun fisik, di tempat kerja.

Diskriminasi ini, lanjut Bahrul, tidak hanya merugikan jurnalis perempuan secara individu, tetapi juga media massa secara keseluruhan. Sebab, dunia jurnalisme menjadi kering dan kehilangan perspektif keragaman gender dan kehilangan potensi-potensi berbakat yang dimiliki oleh perempuan.

Klaim Linda dan Bahrul terkonfirmasi pada hasil riset kolaboratif antara AJI Indonesia dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) tahun 2022, misalnya, mengungkapkan 82,6 persen dari 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual.

Di sisi yang lain, kata Linda, pandangan perempuan hanya berfungsi mengurus rumah tangga, melahirkan, dan mengasuh anak, serta mengayomi suami tidak serta merta dihilangkan. Bahkan, ia menambahkan, ada perempuan yang merasa terhormat ketika mereka bisa meracik bumbu masakan yang lezat.

“Perempuan itu memang beragam pengetahuan, keahlian, dan pengalamannya,” ujarnya.

Budaya Patriarki Masih Melekat

Sementara itu, Jurnalis Lumen2003.com, Nemesio Karmila mengatakan, faktor paling dominan yang menyebabkan perempuan tak banyak mengambil profesi jurnalis adalah karena masih melekat budaya patriarki.

Budaya ini merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi, termasuk dalam profesi jurnalis.

“Ini saya kira salah satu alasan mengapa perempuan tak banyak menjadi jurnalis atau pekerja media,” kata Karmila.

Hal serupa juga disampaikan Pemimpin Umum Floresa.co Ryan Dagur. Menurut dia, budaya patriarki masih  mengakar, yang dalam banyak hal menempatkan perempuan dalam posisi nomor dua.

Mereka tidak dilibatkan dalam pembicaran tentang masalah-masalah yang berkait dengan urusan banyak orang. Hal ini, kata dia, bisa ditemukan itu dalam praktik musyawarah di kampung-kampung, di mana perempuan jarang sekali dilibatkan. Wilayah perempuan adalah di dapur dan domestik atau sesuatu yang berhubungan dalam rumah tangga.

“Dalam kaitannya dengan kerja jurnalis, jurnalis ini kan membahas soal-soal publik,” ujar Ryan.

Ia mengatakan, akses terbatas bagi perempuan untuk terlibat dalam soal-soal publik membuat tidak banyak dari mereka yang ketika sekolah mau masuk ke jurusan ilmu sosial, yang amat terkait erat dengan kerja jurnalistik.

Hal lainnya, lanjut dia, terkait dukungan bagi perempuan yang mau mencoba menggeluti profesi ini.

“Tidak adanya dukungan demikian, seolah menegaskan bahwa profesi ini tidak menjanjikan bagi mereka, atau tidak memberi mereka kesempatan untuk bisa berkembang,” katanya.

Senada, Bahrul mengatakan, jurnalis perempuan dianggap lebih lemah dan kurang berkompeten dibandingkan dengan rekan mereka yang berjenis kelamin laki-laki.

Diskriminasi ini, kata dia, masih menjadi masalah yang meresahkan di dunia jurnalisme. Budaya patriarki dan stereotipe gender yang masih mengakar kuat dalam industri ini seringkali menghasilkan perlakuan yang tidak adil terhadap jurnalis perempuan.

“Mereka sering kali dianggap kurang mampu untuk menangani tugas-tugas yang menuntut, seperti liputan di lapangan atau melaporkan topik yang dianggap ‘maskulin’,” kata Bahrul.

Diskriminasi Perempuan di Ruang Redaksi

Ika mengatakan, masalah lain yang melilit jurnalis perempuan juga ada di ruang redaksi. Berdasarkan pengalamannya, di dalam ruang redaksi, perempuan masih kerap mengalami diskriminasi.

Dia bilang, jurnalis laki-laki cenderung memperoleh kesempatan untuk meliput ke tempat-tempat yang lebih sulit dijangkau, memberitakan kasus yang rumit dan lebih mendalam serta menempati posisi yang lebih tinggi dibanding perempuan dalam tim redaksi.

Riset dari AJI Indonesia bersama PR2Media menunjukkan, adanya praktik diskriminasi gender terhadap jurnalis perempuan di perusahaan media Indonesia.

Laporan bertajuk Jalan Terjal Menuju Kesetaraan itu mencatat, bentuk diskriminasi gender itu berupa tugas peliputan, yang dirasakan 30 persen responden.

Bagi Ika, ruang redaksi seharusnya tempatnya perempuan untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri, serta mewujudkan pengharapan—akan rasa aman, keadilan dan, barangkali, dunia yang lebih baik.

“Beberapa dari kami beruntung karena memiliki kesempatan mengembangkan kapasitas diri dalam ruang redaksi yang menjunjung tinggi kesetaraan dan rasa saling menghormati. Sejumlah lainnya masih menghadapi diskriminasi,” aku Ika.

Kini, kata dia, semakin banyak pelatihan berbasis daring yang dapat diikuti, mulai dari pengembangan kapasitas secara profesional, sosial dan psikologis.

“Semoga pelbagai pelatihan itu membuat kompetensi, gagasan dan karakter kita tidak mudah digoyahkan, sekalipun dalam ruang redaksi yang didominasi laki-laki,” pungkas Ika.

Bahrul juga mengatakan, banyak jurnalis perempuan yang mengalami kesulitan dalam menembus hirarki redaksi atau mendapatkan tugas-tugas yang berdampak besar.

Meskipun banyak perempuan yang telah membuktikan kemampuannya dalam bidang jurnalistik, namun menurut dia, stigma dan prasangka masih menghambat perjalanan karier mereka. Dunia jurnalisme jurnalis perempuan masih dipenuhi oleh ketidaksetaraan gender.

Untuk mengatasi diskriminasi terhadap perempuan di ruang redaksi media massa, dia kemudian menyampaikan beberapa saran yang dapat diberikan kepada manajemen media.

Pertama, membuat kebijakan yang mendukung kesetaraan gender di tempat kerja, seperti kebijakan anti-diskriminasi dan anti-pelecehan seksual. Kedua, memberikan kesempatan yang sama kepada jurnalis perempuan untuk meliput ke tempat-tempat yang lebih sulit dijangkau, memberitakan kasus yang rumit dan lebih mendalam, dan menempati posisi yang lebih tinggi.

Ketiga, melakukan pelatihan tentang kesetaraan gender bagi semua karyawan media. Keempat, membangun budaya kerja yang ramah perempuan dan inklusif. Dan, kelima, membangun manajemen media yang ramah perempuan.

Media Harus Jamin Ruang Aman

Di balik fenomena yang merongrong perempuan dalam dunia jurnalistik, Linda meminta media massa agar harus menjamin adanya ruang aman dan perlindungan bagi jurnalis perempuan.

Selain itu, ia juga meminta agar harus ada standar operasional prosedur (SOP) bagi jurnalis perempuan. Jika mempekerjakan jurnalis perempuan, maka harus ada SOP khusus.

Selain memberi perlindungan bagi jurnalis perempuan, lanjut dia, manajemen waktunya juga sangat penting untuk dimasukan ke dalam SOP.

“Misalnya perlu disadari oleh media bahwa sangat berbahaya bagi perempuan untuk meliput di malam hari di tengah kehidupan bernegara yang sangat patriarkis, sehingga mereka perlu ditemani oleh teman jurnalis yang lain. Juga jam pulangnya harus pasti, supaya mereka tetap produktif,” kata Linda.

Sementara itu, Pengamat media massa sekaligus dosen Undana Kupang Yohanes Jimmy Nami mengingatkan agar perlu ada pilar gender di media massa.

Ia juga meminta agar tidak boleh dikontestasikan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang jurnalistik.

“Perempuan harus ditakar bukan karena dia bukan laki-laki, pemilik media harus paham ini dan bisa mengafirmasi dalam klaster pekerjaan dunia media,” kata Jimmy.

“Kalau alasan itu tidak bisa dioperasionalisasikan maka pasti perempuan hanya bisa menjadi penonton dalam industri media dengan wajah yang sangat patriarki,” sambung dia.

Ryan Dagur juga berpandangan demikian. Menurut dia, media harus mengambil kebijakan afirmatif untuk merekrut perempuan menjadi jurnalis. Misalnya, sebut dia, dengan membuka lowongan khusus untuk jurnalis perempuan.

“Ini penting karena mayoritas jurnalis kita saat ini di Flores adalah laki-laki,” kata dia, berkaca pada fenomena tidak banyak perempuan yang menggeluti profesi jurnalis di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Ryan Dagur menambahkan, keberadaan jurnalis perempuan tidak hanya terkait upaya membuka akses bagi mereka untuk masuk ke ruang redaksi, tetapi juga amat membantu media dalam mengerjakan topik-topik liputan tertentu yang terkait dengan perempuan.

“Dalam kasus kekerasan seksual yang korbannya ada perempuan, maka seringkali korban akan lebih muda bercerita jika diwawancara oleh jurnalis perempuan. Jurnalis perempuan juga penting untuk memperkaya perspektif media dalam melihat isu-isu perempuan dan kelompok marginal lainnya,” katanya.

Sementara itu, Bahrul menyarankan agar manajemen media menerapkan prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam semua aspek operasionalnya.

Kemudian, menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi jurnalis perempuan dan memberikan dukungan kepada jurnalis perempuan untuk mencapai kesuksesan dalam kariernya.

“Dengan membangun manajemen media yang ramah perempuan, diharapkan dapat meningkatkan jumlah jurnalis perempuan di media massa, meningkatkan kualitas jurnalisme, dan mewujudkan media massa yang lebih adil dan inklusif terhadap perempuan,” kata Bahrul.

Jangan Takut Jadi Jurnalis Perempuan

Karmila mengatakan, jurnalis merupakan profesi yang menyenangkan dan ruang mengembangkan diri. Selain itu, manfaat lainnya yakni bisa berpetualang ke tempat yang baru dengan gratis, bertemu dengan orang-orang penting, pekerjaan yang tidak membosankan, dan lain-lain.

Menurut dia, hal yang sangat menyenangkan menjadi seorang jurnalis juga karena tidak hanya mendapatkan upah saat bekerja, melainkan mengembangkan wawasan.

“Jangan takut jadi jurnalis perempuan,” ajak Karmila.

Linda juga ikut mendorong perempuan memiliki ketertarikan menjadi jurnalis. Hal itu tentu saja penting untuk mengubah konstruksi sosial bahwa perempuan bisa produktif di berbagai sektor selama mereka mau belajar dan berkomitmen.

“Media harus menjamin adanya ruang aman dan perlindungan bagi jurnalis perempuan,” katanya.

Untuk membangun rasa aman bekerja sebagai jurnalis, maka menurut Ika, perempuan harus memberi pengertian pada keluarga dan pasangan terkait kerja-kerja jurnalisme.

“Ini menjadi penting agar trust (kepercayaan) selalu terjaga dan pada saat yang sama, kita tetap dapat mengembangkan diri tanpa mencemaskan pandangan miring orang lain—termasuk dari keluarga dan pasangan kita,” kata Ika.

Laporan: Ardy, Toje, dan Elsi

Tulisan ini bagian dari pelatihan jurnalistik jurnalis dan warga di lingkar proyek strategis nasional di Flores pada 10-13 Maret 2024. Kegiatan ini digelar Floresa.co bekerja sama dengan Rumah Baca Aksara dan Lembaga Sunspirit.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA