Memproklamasikan Salam Lintas Agama (Refleksi di Hari Ulang Tahun Soekarno)

Penting untuk melihat secara bebas dan memberikan ruang terbuka bagi kemajemukan atau keberagaman.

Oleh: Eto Kwuta*

Pada 23-31 Mei 2024 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa haram bagi umat Islam untuk mengucapkan salam lintas agama berdimensi doa agama lain.

“Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram”.

Hal ini dikatakan Ketua MUI Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh pada momen Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII (Bdk. cnbcindonesia.com, 2 Juni 2024).

Wakil Sekretaris Jenderal MUI KH Arif Fahrudin juga menjelaskan, toleransi adalah sunnatullah dan sunnah Rasulullah SAW dan praktik ulama salafus salihin.

iklan

Meski demikian, ia menekankan toleransi tetap memiliki batasnya. Di sini, banyak pandangan akan muncul untuk menyoal masalah sepele sebagai respons atas hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII.

Tokoh seperti Ade Armando pun langsung memberikan logika akal sehatnya di kanal YouTube Cokro TV. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga menegaskan, salam lintas agama merupakan praktik baik untuk menjaga toleransi di Indonesia. Sebuah pertanyaan tegas, salahkah salam lintas agama itu?

Dalam konteks salam lintas agama, muatan-muatan makna di dalamnya memiliki nuansa doa yang mendalam. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh berarti semoga Allah melimpahkan keselamatan, rahmat, dan keberkahan-Nya; Shalom berarti damai sejahtera; Om Swastiastu mempunyai arti semoga dalam keadaan selamat atas karunia dari Hyang Widhi; Namo Buddhaya berarti Terpujilah semua Buddha, dan yang berbunyi netral ada salam kebajikan.

Komposisi salam-salam ini berbasis doa-doa dari pemeluk Islam, Hindu, Budha, Kristen, Konghucu, dan atau agama lainnya. Lebih jauh, ada banyak pandangan tentang doa.

Kata doa secara bahasa berarti memanggil dengan suara; dari sisi istilah bermakna ibadah; doa juga berarti meminta pertolongan dan memohon.

Al-Khaththabi mengatakan, hakikat dari doa adalah permohonan dan pertolongan seorang hamba kepada Allah dan menunjukkan kebutuhannya kepada-Nya (Syaik Bakar A. H. Al-Khulaifat, 2016:5).

Sufyan bin Uyainah juga pernah mengatakan, “Janganlah sekali-kali perasaan penuh dengan dosa menghalangi seorang untuk berdoa kepada Allah”.

Salam Lintas Agama Dukung Pancasila

Pada 06 Juni setiap tahun, Bangsa Indonesia memperingati momen ulang tahun Soekarno. Dalam perjuangan yang cukup panjang, ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda pada Maret 1942, Soekarno berdialog dengan Jepang sebagai satu-satunya cara meraih kemerdekaan secara sukses. Sebuah taktik yang terbukti efektif hingga merdeka pada 1945.

Bung Karno dan Bung Hatta akhirnya memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 01 Juni 1945, Ir. Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila dan pada 17 Agustus 1945, Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Melalui sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir. Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Baru-baru ini, ketika Bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila pada 01 Juni 2024, Mantan Presiden Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri, politisi Ganjar Pranowo, dan lainnya datang ke Ende.

Megawati tahu bahwa sosok ayahnya Soekarno melahirkan butir-butir Pancasila sehingga Hari Lahir Pancasila mesti dirayakan di Ende. Pancasila adalah senjata melawan segala bentuk intoleransi atau peristiwa sepele semacam fatwa haram MUI ini!

Hemat Penulis, salam lintas agama merupakan sebuah adab dan etika yang mampu merangkul perbedaan atau pluralitas yang ada. Salam lintas agama telah mendukung apa yang tertuang dalam kelima butir Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara.

Pertama, memproklamasikan salam lintas agama sebagai salam atau doa pada momen ulang tahun Soekarno dan menginternalisasi nilai-nilai kolektif. Salam ini tidak bermasalah, yang membawa masalah adalah pemeluk agama itu sendiri.

Sebagai pemeluk agama, kesadaran pluralitas itu mesti menjadi produk utama dalam kehidupan beragama.

Dulu, Soekarno begitu dekat dengan misionaris SVD ketika dibuang di Ende, atau bentuk toleransi anak muda Muslim Kelurahan Onekore di Ende yang ikut menjaga keamanan pada setiap Natal dan Paskah; ada pula orang tua muslim yang bangga anaknya menjadi imam Katolik; lalu kenapa salam lintas agama diharamkan?

Kedua, salam lintas agama itu bermuatan doa; jadi tak ada yang haram. Biasanya yang haram datang dari manusia-manusia yang berpikir haram. Maka, kondisi ini menunjukkan lemahnya rasa kebinekaan. Jika dibiarkan, maka perlahan muncul fundamentalisme dan fanatisme beragama. Akibatnya, lahir pula sikap intoleran dan merasa agamanya paling benar.

Ketiga, memberantas intoleransi. Jika MUI memproklamasikan fatwa haram ini, tidak semua umat Islam di Indonesia sependapat dengan MUI. Banyak yang menyerukan sebaiknya MUI dibubarkan, MUI bukan Majelis Ulama Indonesia, tetapi Majelis Ulama Intoleransi, MUI diteriakkan sebagai anti Pancasila dan tidak pantas ada di Indonesia. Ini semua bentuk kemarahan publik yang mencintai Pancasila.

Nilai-nilai Pancasila adalah senjata menumpas intoleransi. Tentu, dengan memperingati 06 Juni sebagai ulang tahun Soekarno, mengingatkan kita tentang usaha tokoh penggagas lahirnya Pancasila  seperti Mohammad Yamin, Supomo, dan Soekarno. Untuk itu, penting ditegaskan bahwa Pancasila tidaklah terbentuk secara mendadak serta tidak hanya diciptakan oleh seseorang sebagaimana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia, namun terbentuknya Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah Bangsa Indonesia (Kaelan, 2013:70).

Keempat, mendorong dekonstruksi nilai-nilai subyektif pada salam lintas agama. Berkaca pada Jacques Derrida yang berhasil memelopori lahirnya era postrukturalis, ia memusatkan kritikannya pada logosentrisme yang memuat keyakinan segala pikiran dan tindakan adalah realitas paling benar; fonosentrisme meyakini ucapan dianggap sumber kebenaran dan bersifat autentik; sedangkan metafisika kehadiran dikritiknya karena berkaitan erat dengan logosentrisme dan fonosentrisme.

Di sini, konteks fatwa MUI mesti masuk dalam bingkai kritik. Dengan menggunakan dekonstruksi ini, kita mesti membongkar realitas paling benar, memusuhi ucapan kita sebagai yang paling benar, dan menerima kehadiran yang lain di luar teks atau ucapan. Penting untuk melihat secara bebas dan memberikan ruang terbuka bagi kemajemukan atau keberagaman.

Faktanya, di dalam kemajemukan itu, ada suku, bahasa, budaya, ras, agama, yang cenderung berbeda-beda, tetapi sebagai warga Negara Indonesia, kita tetap satu.

Dengan demikian, pada 06 Juni sebagai momen ulang tahun Soekarno, mari kita memproklamasikan salam lintas agama sebagai kualitas untuk menjaga kuatnya rasa toleransi antara umat beragama di Indonesia. Selamat ulang tahun Soekarno dan kita sekalian yang berulang tahun hari ini!


*Alumnus IFTK Ledalero

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA