Bawa Pangan Lokal dari Meja Festival ke Meja Makan Keluarga!

Upaya kampanye yang digalakkan oleh Rosalia dan teman-temannya harus melewati jalan terjal karena berhadapan pola konsumsi masyarakat yang sudah bergeser, di mana ketergantungan terhadap beras sangat tinggi

Maumere, Ekorantt.com – Rosalia Dua Onan, 38 tahun, terlihat antusias berinteraksi dengan para pengunjung stan dalam acara Pesta Raya Flobamoratas (PRF) di Pusat Jajanan dan Cendera mata Maumere pada Jumat, 27 September 2024.

Rosalia hadir di Maumere sebagai salah satu perwakilan penggerak lokal dari Koalisi Pangan Baik yang bernaung di bawah program voice for just climate action (VCA), sebuah koalisi untuk aksi perubahan iklim berkeadilan.

Di stan yang diberi nama Dapur Mama itu, Rosalia dan teman-temannya memamerkan hasil kerja mereka dalam merawat pangan lokal. Ada sorgum, jawawut, kacang-kacangan, berbagai jenis padi lokal, dan jagung.

Tersaji pula olahan dari bahan lokal yang berasal dari komunitas-komunitas dalam koalisi tersebut, berupa puding jawawut, watarklau, dan ketupat sorgum.

Mereka telah mengampanyekan pangan lokal sejak tahun 2021 dan itu berjalan hingga sekarang. Pangan lokal yang mereka tanam, baik yang masih berupa bahan pangan mentah maupun yang sudah jadi olahan, bergerak dari meja festival yang satu ke meja festival lain.

iklan

Rosalia sendiri sudah tiga kali mengikuti festival di wilayah Flores. Dari Festival Bale Nagi, Festival Genang Era Leworok, hingga Pesta Raya Raya Flobamoratas. Sementara penggerak lokal yang lain telah mengikuti festival di sejumlah wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Selebihnya, Rosalia aktif mengampanyekan pangan lokal di desa asalnya, Desa Hokeng Jaya, Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur. Dia melakukannya agar masyarakat kembali mengonsumsi pangan lokal di tengah tantangan perubahan iklim yang mengancam ketahanan pangan masyarakat.

Sebab, kini pangan beras menjadi pangan tunggal yang menggeser pangan lokal non-beras. Pangan lokal didorong supaya kembali ke meja makan keluarga.

“Kami selalu kampanyekan untuk makan pangan lokal. Ya karena makanan lokal itu sehat, berkelanjutan, ramah lingkungan, dan kita jaga kearifan lokal,” ujar Rosalia.

Ketergantungan Tinggi Terhadap Beras

Upaya kampanye yang digalakkan oleh Rosalia dan teman-temannya harus melewati jalan terjal karena berhadapan pola konsumsi masyarakat yang sudah bergeser, di mana ketergantungan terhadap beras sangat tinggi.

“Kita orang NTT, seperti orang bilang ‘bukan makan namanya kalau belum makan nasi. Harus makan nasi baru kenyang.’ Susah juga kita ajak masyarakat,” keluhnya.

Survei Sosial Ekonomi dan Nasional (Susenas) Maret tahun 2023 mencatat, pengeluaran per kapita penduduk NTT selama sebulan mencapai Rp 961.372. Sekitar 53,73 persen dari angka itu dipakai untuk kebutuhan makanan. Sisanya, 46,26 persen dialokasikan untuk keperluan bukan makanan.

Data yang sama mengungkapkan, pengeluaran pangan terbesar adalah konsumsi padi-padian sebesar 24,11 persen, disusul konsumsi makanan dan minuman jadi 20,03 persen, kemudian konsumsi rokok dan tembakau 10,52 persen.

Penduduk NTT rata-rata mengonsumsi beras 2 kilogram per kapita dalam seminggu. Jika dihitung, konsumsi beras masyarakat NTT mencapai 8 kilogram per kapita setiap bulan. Ini merupakan konsumsi beras per kapita tertinggi di Indonesia, demikian data Susenas 2023.

Angka tersebut jauh lebih tinggi dari rata-rata konsumsi beras nasional yang hanya di angka 6,6 kilogram per kapita per bulan.

Tingginya ketergantungan masyarakat pada beras tidak disokong oleh hasil produksi pertanian setempat. Secara keseluruhan, kebutuhan beras masyarakat NTT lebih dari setengah juta ton, sementara produksi beras berkisar 400 ribu ton.

Karena itu, dibutuhkan sokongan dari daerah lain untuk memenuhi kebutuhan beras di NTT. Padahal, NTT tidak akan kekurangan pangan apabila pangan non-beras bisa dimanfaatkan secara baik.

Rosalia bersama teman-temannya dari Koalisi Pangan Baik melakukan praktik pengolahan pangan lokal dalam acara Festival Leworok di Flores Timur (Foto: dokumen pribadi Rosalia)

Langkah Kecil dari Desa

Rosalia tidak patah arang. Ia tidak melakukan terobosan besar nan megah tetapi memulai dengan langkah kecil dari rumahnya, dari desanya.

Dalam keluarganya, Rosalia mengajarkan kepada anak-anaknya untuk terbiasa mengonsumsi pangan lokal.

“Kami di rumah selalu konsumsi pangan lokal, seperti ubi, jagung, pisang. Itu juga yang saya ajarkan ke anak-anak,” katanya.

Dengan begitu, Rosalia mampu menekan ketergantungan keluarga terhadap beras. Bahkan, kebutuhan beras dalam rumahnya yang beranggotakan enam orang tidak mencapai 25 kilogram dalam sebulan.

Rosalia menjadi salah satu kader posyandu di Desa Hokeng Jaya. Dalam kesempatan pertemuan bulanan, ia kerap mengajak untuk masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal.

“Pangan lokal kita itu sehat. Di rumah biasakan makan pangan lokal dan jangan kasih anak-anak kita makanan instan,” ujarnya, mengulang poin yang disampaikan kepada ibu-ibu posyandu.

Rosalia dan teman-teman penggerak lokal di Desa Hokeng Jaya mendapat dukungan dengan pemerintah desa setempat. Kepala Desa Hokeng Jaya Gabriel Bala Namang mengatakan, aktivitas para penggerak lokal (Local Champion) sangat membantu di sektor pemberdayaan perempuan, terutama dalam hal konsumsi pangan lokal.

Dia bilang, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Sekitar 5 persen dari petani di desa itu bekerja di sektor pangan. Sementara paling banyak petani di sektor perkebunan.

“Kekuatan LC (local champion) itu pada pendampingan yang berkelanjutan. Peran mereka sangat penting, dibantu oleh pemerintah, termasuk dengan menganggarkan dana desa untuk men-support kegiatan mereka,” kata Gabriel.

Sejalan dengan Rosalia, Maksimilian Kolbe Lalut, 28 tahun, gencar melakukan kampanye pangan di Desa Tal, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai.

Maximilian bergiat di bidang hortikultura organik sebagai upaya menjaga tanah agar tetap sehat sekaligus bagian dari gerakan tanggap perubahan iklim.

Difasilitasi Pemerintah Desa Tal dan Yayasan Ayo Indonesia, Maximilian menggerakkan kelompok orang muda, lalu membentuk dua kelompok yang berfokus pada tanaman hortikultura organik.

Kelompok orang muda itu kemudian berjuang agar masyarakat membudidayakan tanaman hortikultura, juga berusaha mencari pasar untuk hasil panenan. “Kami mencarinya di Pasar Inpres Ruteng, sebagai bentuk tanggung jawab kami,” tuturnya.

Pemerintah desa sangat mendukung kerja pemberdayaan Maximilian dan teman-temannya. Pemdes pun mengalokasikan 20 persen dana desa untuk ketahanan pangan ke kelompok hortikultura.

“Kepercayaan yang pemerintah kasih itu karena kami betul-betul bekerja. Mereka melihat kami tidak hanya kampanye, tetapi mau berusaha dan berhasil,” kata dia.

Maximilian sedang memanen tomat, salah satu tanaman hortikultura organik yang mereka kembangkan di Desa Tal, Kecamatan Satar Mese, Manggarai (Foto: Dok. pribadi)

Dana Desa untuk Ketahanan Pangan

Dukungan Pemerintah Desa Tal melalui porsi dana desa 20 persen untuk ketahanan pangan sejalan dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2023.

Peraturan itu menekankan, fokus penggunaan dana desa untuk ketahanan pangan dan hewani dialokasikan minimal 20 persen dari pagu dana desa setiap tahunnya untuk ketahanan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan.

Kepala Desa Tal, Yustinus Wanjunedi, mengatakan alokasi dana desa 20 persen di desanya merupakan langkah untuk memajukan sektor pangan seturut peraturan yang berlaku.

Di sisi lain, alokasi dana desa itu menjadi bentuk dukungan pemerintah bagi Maximilianus dan teman-temannya, petani muda yang mau memanfaatkan kekayaan alam di desanya dengan baik.

Sehingga yang terjadi, kata Yustinus, bukan hanya pada pemanfaatan sumber daya alam secara maksimal, tetapi juga turut membangkitkan sumber daya manusia orang-orang muda di desanya.

“Mereka sudah bekerja dengan baik, mengembangkan, dan mengampanyekan pangan lokal dan tanaman hortikultura di desa,” ujar Yustinus.

“Pemdes Tal sudah alokasi dana desa tahun anggaran 2024 dari alokasi 20 persen ketahanan pangan dengan mencanangkan program kegiatan pemberdayaan di bidang pengembangan lahan kering di wilayah Desa Tal.”

Selanjutnya, Yustinus berkomitmen untuk terus mendukung aktivitas pertanian pangan dengan tetap mengalokasikan dana yang memang seharusnya untuk sektor itu.

Literasi Pangan Lokal

Mengakrabkan kembali masyarakat dengan pangan lokal butuh kerja keras dari berbagai pihak, baik praktisi pangan, pemerintah, pun lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pangan.

Ketua Program Studi Agroteknologi Fakultas Teknologi Pangan, Pertanian dan Perikanan Universitas Nusa Nipa Maumere, Yovita Yasintha Bolly mengatakan, pemerintah perlu mengambil peran besar dalam melestarikan pangan lokal.

Kata dia, peran itu bisa melalui upaya mencegah konversi lahan pangan terkhusus pangan lokal, serta memfasilitasi teknologi pengolahan pangan.

“Memfasilitasi alat dan mesin pengolahan pangan lokal, sehingga mempermudah teknologi pengolahan pangan lokal, misalnya mesin sosoh sorgum.”

Yovita berkata, “literasi konsumsi pangan lokal perlu dimulai sejak pendidikan usia dini” demi membangun kesadaran dan kebiasaan konsumsi dari anak-anak.

“Masyarakat kita itu rasa belum makan kalau belum makan nasi, padahal jagung, ubi, pisang juga merupakan sumber karbohidrat,” ujar Yovita.

Diakuinya, generasi sekarang sudah asing dengan pangan lokal, seperti tidak lagi mengenal sorgum dan pangan lokal lain, yang kandungan karbohidratnya setara bahkan lebih dengan nasi.

“Untuk itu, literasi konsumsi pangan lokal itu sangat penting, itu harus dimulai dari keluarga. Dan pemerintah juga wajib ambil peran di situ,” pungkasnya.

Apa yang telah dilakukan Rosalia, merupakan praktik baik untuk mengakrabkan pangan lokal yang dimulai dari keluarga.

Dari sisi kesehatan, kata Rosalia, konsumsi pangan lokal sangat bergizi karena mengandalkan keberagaman. Demikian pun secara ekonomi, “pengalaman kita di desa selama ini, lebih hemat karena datang dari kebun kita sendiri.”

Itulah kenapa dia sepakat dengan slogan “makan apa yang ditanam, dan tanam apa yang akan kita makan.”


Risto Jomang & Adeputra Moses

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA