Maumere, Ekorantt.com – Uskup Keuskupan Maumere Mgr. Ewaldus Martinus Sedu mengeluarkan surat gembala masa Adventus 2024. Surat gembala itu disampaikan pada misa hari Minggu pertama masa adven 1 Desember 2024.
Uskup Ewaldus menggarisbawahi pentingnya upaya untuk menghentikan tindakan perdagangan orang.
Dia mengajak umat untuk keluar dari realitas dunia yang sedang terjadi dewasa ini, seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta perdagangan orang yang merendahkan martabat manusia sebagai citra Allah.
Praktik perdagangan orang dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM), Pancasila, dan UUD 1945.
Menurut Uskup Ewaldus, praktik perdagangan orang menjadi salah satu masalah sosial yang berkembang di tengah umat. Sangat meresahkan, karena mengorbankan mereka yang hidup dalam keterbelakangan dan keterbatasan pengetahuan, kemiskinan serta sederet kerentanan lainnya.
Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya ketidakadilan gender, penomorduaan perempuan, marginalisasi, stereotip, kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga. Tubuh perempuan menjadi alat komersial yang mendatangkan keuntungan bagi penjualnya.
Selain itu, anak-anak remaja dieksploitasi oleh pemilik modal berupa prostitusi online, menjadi pemandu lagu di tempat hiburan malam. Kondisi ini membuat mereka tidak mampu keluar dari situasi kelam ini.
Kedua, lemahnya peran negara dalam melakukan pencegahan, penanganan, dan pengawasan baik dari pemerintah lokal maupun tingkat nasional.
Ketiga, berkembangnya jaringan dan modus yang digunakan para pelaku perdagangan orang.
Menurutnya, pelaku perdagangan orang melancarkan kejahatan berupa iming-iming yang menggiurkan melalui media sosial membuka lowongan kerja melalui platform, facebook, instagram, twitter, dan lain-lain.
Keempat, aparat penegak hukum kurang memiliki perspektif yang baik tentang hak pekerja migran Indonesia non prosedural dan perdagangan orang. Minimnya pemahaman ini berdampak pada penanganan kasus perdagangan orang.
Praktik perdagangan manusia tentu bukan hal baru. Praktik ini telah hadir sejak awal sejarah manusia.
Dalam kitab suci perjanjian lama menjadi contoh kasus perdagangan manusia. Antara lain kisah tentang Yusuf anak Yakub yang dijual oleh saudara-saudaranya.
Yusuf menjadi korban perdagangan manusia karena sikap iri hati dari saudara-saudaranya. Mereka menjual Yusuf kepada pedagang Median yang kemudian dijual lagi kepada seorang pegawai Firaun di Mesir. Dia dijadikan sebagai pembantu rumah tangga. Kemudian dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh melakukan pelecehan.
Contoh lain ialah Hagar, budak Sara yang berasal dari Mesir. Dia menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh Sara tuannya yang merasa diri tidak dihargai karena telah memberikan seorang anak laki-laki yang bernama Ismail untuk Abraham suaminya.
Karena alasan itu, Sara mengusir Hagar dan anaknya agar keluar dari rumahnya. Hagar dan Ismail menderita tinggal di padang gurun tetapi, Tuhan menolong mereka.
Dari kisah perjanjian lama itu ada narasi tentang kebaikan Allah. Allah mau menunjukkan belas kasihNya kepada para korban perdagangan orang.
Dari kisah Yusuf, lanjut Uskup Ewaldus, kita belajar bagaimana kasih Allah menyertai Yusuf sehingga dia dibebaskan dari perbudakan dan menjadi berkat untuk saudara-saudaranya serta ayahnya pada saat mereka dilanda kelaparan di Mesir dan sekitarnya.
Demikian pula halnya tentang Hagar. Narasi tentang Hagar mengingatkan kita tentang janji Allah mengenai perlindungan. Allah merangkul Yusuf dan Hagar sebagai korban praktik perdagangan orang.
Uskup Ewaldus mengatakan perdagangan manusia adalah suatu tindakan yang merendahkan martabat manusia. Padahal Allah menciptakan manusia secitra dengan diriNya. Karena itu gereja menempatkan diri manusia sebagai citra yang hidup dari Allah sendiri.
Sementara gereja dipanggil untuk memulihkan martabat manusia, gereja hadir dan terlibat serta bergumul dalam setiap persoalan-persoalan kemanusiaan. Keterlibatan gereja adalah ungkapan tata dunia yang berpihak pada nasib sesama manusia terutama mereka yang miskin terasing dan tertindas. Mereka itu adalah para migran pengungsi dan korban perdagangan manusia.
Panggilan untuk menolong mereka yang menderita bukan hanya sebagai kewajiban moral tetapi juga dan terutama merupakan kebajikan yang berpusat pada iman, harapan, dan kasih.
“Apapun yang kamu lakukan terhadap salah seorang saudaraku yang hina ini, kamu perbuat terhadap aku, sebab ketika aku lapar kamu memberi aku makan. Ketika aku haus kamu memberi aku minum. Ketika aku telanjang kamu memberi aku pakaian. Ketika aku seorang asing kamu memberi aku tumpangan dan ketika aku sakit dan di dalam penjara kamu melawati aku,” kata Uskup Ewaldus.
Karena itu, ia mengajak segenap umat untuk berjalan bersama memulihkan martabat manusia yang dilecehkan akibat perdagangan manusia.
“Mari kita bersama-sama menggalang kesadaran bersama untuk melakukan tindakan kuratif dan preventif,” ajak uskup Ewaldus.
Hal yang harus perhatikan ialah, pertama, mendampingi para korban. Pendampingan bertujuan agar mereka disembuhkan dari penderitaan fisik dan mental. Karena itu pendampingan menjadi peranan penting untuk memulihkan kondisi psikis korban.
Kedua, advokasi hukum. Para korban perdagangan manusia harus mendapat keadilan dan dibela haknya di depan hukum dan pelakunya harus dihukum.
Uskup Ewaldus menegaskan bahwa Adven sebagai masa penantian yang dapat membawa manusia kepada keselamatan yang utuh jiwa dan badan. Karena itu perlu memperkuat kembali jalinan persaudaraan yang utuh antara kita mulai dari keluarga kita masing-masing.