Tim Investigasi Proyek Geotermal Bentukan Gubernur NTT Dinilai Upaya Membungkam Suara Rakyat dan Gereja

Tim ini diklaim akan menghimpun fakta dengan melibatkan berbagai elemen: perusahaan, pemerintah, tokoh adat, tokoh agama, akademisi, bahkan mahasiswa.

Ruteng, Ekorantt.com – Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Melkiades Laka Lena, tengah mempromosikan pembentukan sebuah “tim investigasi” untuk meninjau proyek-proyek panas bumi (geotermal) yang saat ini menuai penolakan luas di Flores dan Lembata.

Tim ini diklaim akan menghimpun fakta dengan melibatkan berbagai elemen: perusahaan, pemerintah, tokoh adat, tokoh agama, akademisi, bahkan mahasiswa.

Namun, langkah ini menuai kritik tajam. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai langkah tersebut sebagai strategi partisipasi semu yang berpotensi membajak perjuangan warga dan suara kenabian gereja.

“Sekilas tampak demokratis, tapi justru ini adalah skema klasik untuk melegitimasi proyek yang sudah ditentukan arahnya: memperluas eksploitasi geotermal,” ujar Koordinator JATAM, Melky Nahar, dalam pernyataannya pada Sabtu, 26 April 2025.

Melky menegaskan, enam uskup dari Provinsi Gerejawi Ende telah menyatakan penolakan tegas terhadap proyek geotermal melalui surat pastoral bersama pada Maret 2025.

Para uskup tersebut, antara lain Mgr. Budi Kleden (Ende), Mgr. Fransiskus Kopong Kung (Larantuka), Mgr. Edwaldus Martinus Sedu (Maumere), Mgr. Siprianus Hormat (Ruteng), Mgr. Maksimus Regus (Labuan Bajo), dan Mgr. Silvester San (Denpasar), menyoroti potensi kerusakan ekologis dan ketidakadilan terhadap masyarakat lokal.

Namun, menurut Melky, alih-alih menghormati suara rakyat dan gereja, pemerintah justru berupaya menarik mereka kembali ke forum yang dikendalikan oleh pemerintah dan korporasi.

“Ini adalah pola lama. Mereduksi perlawanan menjadi partisipasi teknis dalam forum kosong, lalu mengeluarkan rekomendasi teknokratik yang melegitimasi proyek,” kata Melky.

Ia menyoroti bahwa pembentukan tim investigasi itu tidak menyentuh akar persoalan.

Proyek-proyek geotermal selama ini dijalankan melalui mekanisme yang tidak transparan, penuh manipulasi, dan mengabaikan suara masyarakat lokal.

Selain itu, secara hukum, Gubernur NTT tidak memiliki kewenangan substantif untuk mencabut izin proyek yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.

“Kalaupun tim ini menemukan pelanggaran, tidak ada jaminan bahwa proyek akan dihentikan. Justru membuka ruang untuk skenario lama: dihentikan sementara, lalu diaktifkan kembali, seperti kasus tragis di Mandailing Natal,” ungkapnya.

Melky menyatakan, dukungan terhadap langkah-langkah warga dan Keuskupan Agung Ende yang menolak terlibat dalam skema tersebut.

“Sikap ini menunjukkan integritas dan keberanian untuk menjaga jarak dari manipulasi politik,” tambah dia.

Dalam pernyataannya, JATAM menyerukan kepada seluruh kelompok masyarakat sipil, komunitas basis, dan jaringan gerakan rakyat di NTT untuk: Pertama, menolak segala bentuk forum partisipasi kosmetik.

Kedua, menolak menjadi stempel legitimasi atas perampasan ruang hidup dan kerusakan lingkungan.

Ketiga, menegaskan bahwa perjuangan rakyat tidak tunduk pada desain kekuasaan yang menindas.

Menurut Melky, yang dibutuhkan saat ini adalah konsolidasi akar rumput, pendidikan kritis, dan aksi solidaritas yang berkelanjutan.

“Masa depan ruang hidup kita tidak boleh ditentukan oleh kekuasaan yang berpihak pada korporasi,” pungkas dia.

Sebagai informasi, Pulau Flores ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi oleh Kementerian ESDM pada 19 Juni 2017 melalui Kepmen Nomor 2.268 K/30/MEM/2017.

Proyek-proyek geotermal di Flores, seperti PLTP Ulumbu dan pengembangannya ke Poco Leok, serta lokasi lain di Wae Sano, Mataloko, dan Sokoria, terus menghadapi penolakan dari masyarakat setempat.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA