Ruteng, Ekorantt.com – Keluarga korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma, meminta agar proses hukum ditegakkan secara maksimal dan pelaku dijatuhi hukuman seberat-beratnya.
“Kami hanya ingin dia dihukum seberat-beratnya, atau bila perlu hukuman mati,” ujar salah satu anggota keluarga korban dalam keterangan tertulis yang diterima media, Selasa, 10 Juni 2025.
Menurut pihak keluarga, tindakan pelaku sangat tidak manusiawi karena dilakukan oleh seorang aparat kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.
Terduga pelaku disebut melakukan kekerasan seksual terhadap anak berusia lima tahun, yang kini mengalami trauma berat.
“Dia merusak masa depan anak kami. Keluarga kami tidak bisa menerima hal ini,” tegasnya.
Senada, Pendamping hukum korban, Veronika Ata menuturkan, keluarga korban mengalami tekanan psikis yang luar biasa.
Ia mendesak negara hadir secara menyeluruh, tidak hanya dalam aspek penegakan hukum, tetapi juga dalam pemulihan korban.
“Negara harus memastikan pemulihan menyeluruh dan perlindungan yang berkelanjutan bagi korban dan keluarganya,” ujar Veronika.
Anak dan Perempuan Masih Rentan
Koordinator Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak NTT (APPA NTT), Asti Laka Lena, menyatakan bahwa kasus ini menjadi bukti nyata betapa rentannya perempuan dan anak di Nusa Tenggara Timur terhadap kejahatan seksual, bahkan oleh mereka yang seharusnya melindungi.
“Negara tidak boleh pandang bulu. Penegakan hukum harus tegas, dengan penggunaan pasal-pasal pidana berat, termasuk pasal dalam UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Kejahatan Transnasional,” ujar Asti, yang juga menjabat Ketua PKK Provinsi NTT.
Penanganan kasus ini kini memasuki babak baru. Pada 3 Juni 2025, Fajar Widyadharma dipindahkan dari tahanan Bareskrim Polri ke Polda NTT.
Selanjutnya, pada 10 Juni 2025, ia resmi dilimpahkan dari Kejaksaan Tinggi NTT ke Kejaksaan Negeri Kupang untuk persiapan persidangan.
Pelimpahan ini dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap (P21) oleh kejaksaan pada 21 Mei 2025. Namun, publik menilai proses hukum ini masih belum sepenuhnya transparan. Terlebih, hingga kini Fajar belum dijerat dengan UU TPPO, padahal perbuatannya dinilai sudah memenuhi unsur kejahatan perdagangan orang.
Gunakan Pasal Berlapis
APPA NTT menyatakan dukungan terhadap proses hukum yang berjalan, dan mendesak agar dakwaan terhadap Fajar disusun dengan pasal berlapis yang dapat memberatkan hukumannya.
Beberapa pasal yang diusulkan antara lain: Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 ayat (1) jo Pasal 76E UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, Pasal 6 huruf c jo Pasal 15 ayat (1) huruf g UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) UU ITE, serta Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 10 jo Pasal 17 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO.
Selain itu, APPA NTT mendesak Kejati NTT untuk bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam menghitung restitusi yang harus dibayarkan pelaku kepada korban.
Penyitaan aset milik Fajar juga diminta segera dilakukan sebagai jaminan pemenuhan hak korban.
“Kami mendorong agar proses pengadilan dilakukan secara transparan dan terbuka untuk publik, termasuk keterlibatan media dan organisasi masyarakat sipil. Ini penting agar tidak ada intervensi dan korban tetap terlindungi,” tegas Asti.
Asti juga meminta negara menyediakan layanan pemulihan psikososial dan hukum kepada para korban dan keluarga, serta memastikan mereka tidak mendapat intimidasi selama proses hukum berlangsung.