PMKRI Ruteng Desak Bupati Agas Cabut Izin Pabrik Semen di Matim

Ruteng, Ekorantt.com – Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang St. Agustinus Ruteng mendesak Bupati Manggarai Timur Andreas Agas untuk mencabut izin pabrik semen di Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur.

Menurut PMKRI Ruteng, pendirian pabrik semen di Matim sangat tidak urgen karena tidak memiliki asas manfaat.

Mereka mengatakan, saat ini Indonesia mengalami kelebihan pasokan semen sejumlah 42 hinga 45 juta ton.

“Industri semen domestik dalam beberapa tahun terakhir mengalami kelebihan suplai,” tulis PMKRI Ruteng dalam rilis yang diterima Ekora NTT pada Sabtu (6/6/2020).

PMKRI menyebut, hingga akhir tahun lalu, total kapasitas semen nasional sebanyak 120 juta ton, sedangkan penyerapannya hanya mencapai 70 juta ton.

PMKRI Ruteng mengatakan, Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Widodo Santoso telah menegaskan bahwa pertumbuhan penjualan semen tidak sebanding dengan kenaikan kapasitas produksi semen di Indonesia.

Pertumbuhan yang tidak sebanding menciptakan kelebihan pasokan di pasar semen domestik.

Kondisi Indonesia yang mengalami oversupplay semen tersebut, menurut PMKRI, sangat kontradiktif dengan kebijakan Pemerintah Manggarai Timur yang saat ini telah memberi izin mendirikan pabrik semen di Luwuk, Desa Satar Punda.

Padahal, lanjut mereka, kebijakan pemerintah yang sangat diharapkan para produsen semen adalah pembatasan atau pemberhentian perizinan pembangunan pabrik baru.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, PMKRI Ruteng menyatakan “mendesak Pemerintah Manggarai Timur untuk mencabut izin pabrik semen di Luwuk, Desa Satar Punda”.

Tolak Tambang Batu Gamping

Selain mendesak Bupati Agas untuk mencabut izin pabrik semen, PMKRI Ruteng juga mendesak Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat untuk tidak memberikan izin eksploitasi tambang batu gamping – bahan baku semen – di Lengko Lolok, Desa Satar Punda.

Mereka juga mendesak DPRD Manggarai Timur agar secara tegas mengambil sikap “menolak kehadiran pabrik semen dan tambang batu gamping di Desa Satar Punda”.

PMKRI Ruteng menyebut, wilayah Lengko Lolok yang menjadi lokasi penambangan batu gamping merupakan daerah pegunungan yang selama ini merupakan lahan produktif yang menjadi
sumber kehidupan bagi warga.

Warga Lengko Lolok, lanjut mereka, selama ini hidup dari hasil pertanian dan peternakan.

Menurut PMKRI Ruteng, berdasarkan fakta, kegiatan pertambangan menghancurkan alam dan entitas kebudayaan masyarakat.

“Fakta-fakta mengungkapkan, pelaku tambang sering kali menghadirkan situasi pro dan kontra yang memicu benih perpecahan di masyarakat (konflik horizontal), memberikan janji-janji ‘surga’ seperti masyarakat akan sejahtera, jalan diperbakiki, listrik terang benderang, menjadi kota ramai dll, sehingga gaya hidup masyarakat mulai berubah,” tulis PMKRI Ruteng.

Kehadiran tambang batu gamping dan pabrik semen juga, menurut PMKRI Ruteng, bukan merupakan solusi yang tepat dalam membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal.

Pasalnya, kata mereka, hal itu berlawanan dengan sumber daya masyarakat Luwuk dan Lengko Lolok yang selama ini sudah terbiasa dengan kehidupan bertani dan beternak.

“Pabrik semen dan tambang batu gamping bisa jadi hanya kamuflase karena di bumi Lengko Lolok masih ada kandungan lain yang akan dieksploitasi,” sebut mereka.

Menyadari dampak buruk yang ditimbulkan dari pabrik semen dan tambang batu gamping tersebut, menurut PMKRI Ruteng, pemerintah mestinya tidak ngotot memuluskan investasi pertambangan sebagai solusi mengentas kemiskinan di Satar Punda.

“Semestinya apabila pemerintah ingin mensejahterakan masyakat Lingko Lolok dan sekitarnya, maka yang akan dibuat adalah mengedukasi masyarakat lokal tentang cara bertani, berkebun, serta beternak,” kata PMKRI Ruteng.

“Apabila hal itu dilakukan maka secara tidak langsung akan membentuk SDM masyarakat yang kemudian berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat lokal,” tulis mereka.

Adeputra Moses

TERKINI
BACA JUGA