Labuan Bajo, Ekorantt.com – Pasangan suami istri lanjut usia, Yahya Abdula dan Siti Mahani tak pernah menyangka bila keduanya akan melewati hari-hari piluh, setelah para petugas Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Manggarai Barat dan Badan Pelaksana Ototita Labuan Bajo Flores (BPOLBF), memasang pilar tata batas, Jumat (18/8/2021) lalu.
Meski pilar itu sudah dicabut, namun warga Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, ini begitu cemas. Sebab, lahan yang mereka garap dan tinggal sejak 1985 silam itu, disebut-sebut bakal dikelola oleh BPOLBF untuk dijadikan kawasan pariwisata.
Ditemui Ekora NTT, Senin (23/8/2021), Yahya Abdula, mengaku, kekuatiran itu karena ia dan istri memikirkan nasib kehidupan anak dan cucu ke depan. Ia pun menegaskan tetap mempetahankan tanah itu, dan siap mengadapi risiko.
“Saya rela mati demi mempertahankan tanah ini. Apa pun pemerintah yang lakukan, kami tetap bertahan di sini. Mati dan hidup di sini,” tegasnya.
Ia menuturkan, tahun 1994, ada pihak yang menyatakan bahwa lahan garapan mereka masuk dalam kawasan pal kehutanan. “Kami tidak tahu waktu itu. Padahal kami sudah manfaatkan selama sembilan tahun tanah ini,” katanya.
Lima tahun kemudian, ipar Abdula menjual sebagian tanah kepada Suster Virgula. Saat itu ia sedang merantau di Malaysia. “Saya 19 bulan di sana. Ada batas pagar itu,” ujarnya.
Sekembalinya dari negeri Jiran, Abdula memilih untuk tinggal bersama keluarga. Mereka kemudian mengelola lahan itu untuk menyambung kebutuhan hidup. “Kami tanam pisang, ubi, jagung, pohon mahoni, dan tanaman lainnya,” terangnya.
Dalam perjalanan, tepatnya setahun lalu, Abdula mengaku beberapa kali ia didatangani utusan dari beberapa instansi, termasuk kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Tujuan mereka untuk mencari informasi terkait lahan itu. Sebab, Abdula bersama keluarga sudah menetap selama 35 tahun.
“Saya sudah memberikan semua informasi soal keberadaan dan sejarah tanah ini,” katanya.
Namun, pasutri ini kaget saat BPOLBF dan KPH Mabar beberapa watu lalu datang memasang pilar. Mereka mengaku tidak mendapat informasi dari dua lembaga itu.
Oleh Siti Mahani menilai kehadiran BPOLBF dan KPH Mabar sangat buruk, karena tidak menghargai keberadaan mereka yang sudah lama menetap di lokasi itu selama bertahun-tahun.
“Kenapa pilar dipasang di depan tanah saya. Mereka bilang tanah saya aman, tetapi mengapa pilar itu lingkar saya punya tanah. Berarti tanah saya ini diambil oleh mereka. Itu yang tidak masuk di akal. Ini sangat terganggu,” ujar Siti.
Keduanya berharap pemerintah kabupaten (Pemkab) setempat memberikan kepastian terhadap status lahan itu. “Kami minta bapak bupati melihat kami. Kami di sini kerja sesuai dengan prosedur. Kami tetap di sini,” pungkasnya.
Sandy Hayon