Oleh: Nando Sengkang*
Pada Minggu, 7 Januari 2024, media cetak Amerika Serikat, The New York Times, menulis artikel dengan judul “For Indonesia’s President, a Term Is Ending, but a Dynasty Is Beginning”. Artikel tersebut ditulis oleh Richard C. Paddock dan Muktita Suhartono, dua reporter yang bergabung sejak 2016 dan 2018. Mereka mengkritik situasi mutakhir politik tanah air, khususnya putra sulung presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai simbol politik dinasti.
Paddock dan Suhartono memulai artikel dengan rasa aneh dari fenomena Gibran sebagai calon wakil presiden, “Beberapa waktu yang lalu, putra sulung Presiden Jokowi dari Indonesia menjalankan bisnis katering dan makanan penutup (Dessert). Sekarang ia adalah simbol dari politik dinasti yang sedang berkembang”.
Rasa aneh Paddock dan Suhartono sangat logis jika dan hanya jika melihat sepak terjang Gibran dari pengusaha, kemudian dalam sekejap, seperti mukjizat, menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto. Pencalonan dirinya terkesan instan dan syarat kontroversial.
Nama ‘Gibran’ mulai dikenal publik saat ia menahbiskan diri sebagai pengusaha sukses dalam beberapa usaha, seperti Markobar (usaha martabak) sejak 2015, Sang Pisang (usaha pisang) sejak 2017, Pasta Buntel (usaha pasta), Terna Kopi (usaha minuman rasa kopi). Ia juga menciptakan aplikasi mencari pekerjaan seperti Kerjaholic (Bdk. Tempo.co 23/10/2023).
Kesuksesan-kesuksesan itu membawa rahmat popularitas bagi Gibran sehingga ia terkenal sebagai pebisnis muda. Kata-kata manis pun keluar dari mulutnya bahwa ia akan fokus mengembangkan bisnis, tidak tertarik pada dunia politik, dan tidak ingin terjun ke dunia politik mengikuti jejak ayahnya Jokowi. Terbuai oleh kata-kata manis itu, masyarakat biasa akhirnya mendupai dirinya dengan kemenyan puji-pujian dan nyanyian sorak-sorai (baca: pujian berlebihan).
Akan tetapi situasi perlahan berubah, kata-kata manis Gibran ibarat menjelma rasa empedu, ia berbohong! Bukti ia mengingkari kata-kata sendiri adalah terjun (bebas) ke dalam dunia politik pada Pilkada Solo 2020. Ia berpasangan dengan Teguh Prakosa sebagai calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta. PDI-P menjadi payung pelindung utama (baca tim pengusung) dan didukung oleh partai besar lainnya, seperti Golkar, Gerindra, PAN, PPP, PKB, Nasdem, Perindo, dan PSI. Alhasil, pasangan Gibran-Teguh meraih kemenangan mutlak 86 % suara. Mereka kemudian dilantik pada 26 Februari 2021 sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta periode 2021-2024 (Bdk Kompas.com 23/10/2023).
Kemenangan mutlak tersebut membuat Gibran menduduki dan menikmati kursi nomor satu di Kota Solo. Dalam sekejap, bermula dari menikmati kursi manajer bisnis kuliner, ia kini berganti status menduduki kursi kekuasaan. Ia bukan lagi pebisnis (Businessman) melainkan politikus (Politician) nomor wahid di kota kelahirannya.
Awalnya, Gibran masuk dalam kategori orang-orang yang tak diperhitungkan dalam dunia politik. Toh, ia sendiri telah membaptis dirinya sebagai pebisnis bukan sebagai politisi. Ia seperti tak memiliki aura seorang politisi, irit bicara, terlalu gemulai. Hal ini membuat publik berasumsi bahwa kehadirannya dalam dunia politik seperti mukjizat yang sulit dimengerti.
Dalam kacamata Jacques Rancière, filsuf Perancis kelahiran Aljazair (1940-sekarang)—sebagaimana dikutip oleh Sri Indiyastutik (2016)—Gibran ibarat “The Wrong”, yaitu kaum kecil, dipandang sebelah mata, singkatnya mereka yang tidak terhitung. Mereka kemudian muncul di atas tatanan sosial dan mengguncang para elite. Ketika mereka berhasil masuk dan setara keberadaannya, maka akan melahirkan sebuah demokrasi; Demokrasi, bagi Rancière, terjadi apabila adanya kesetaraan yang kontingen dalam tatanan sosial, bukan sebuah bentuk pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi bisa terjadi kapan saja dan di mana saja oleh guncangan demos (masyarakat) untuk memverifikasi kesetaraan (Bdk. Sri Indiyastutik dalam Diskursus, 2016: 130). Gibran telah setara bersama para elite politik; bahkan ia juga adalah elite itu sendiri!
Akan tetapi, ketika seseorang duduk di kursi teratas, tentu ia akan mendapatkan pujian dan nyanyian sorak-sorai, seperti seorang raja dalam sistem monarki. Berbeda dengan Gibran, ketika ia berhasil mengguncang tatanan elite dan setara dengan para elite politik, embrio kritikan dan pekikan “politik dinasti” baru saja dimulai. Fenomena Gibran menjadi objek kecaman masa atau momentum tepat waktu bagi rezim anti Jokowi.
Mengapa publik marah kepada Gibran? Jika menggunakan kacamata Jacques Rancière, Bukankah ia adalah orang tak terhitung (The Wrong) dalam dunia politik kemudian mengguncang tatanan elite demi melahirkan kesetaraan demokratis? Mengapa saat ia berbulan madu sebagai kaum elite, menikmati kesetaraan demokratis, publik langsung membunyikan sirene berbahaya? Sederhananya adalah karena cara Gibran mengguncang tatanan dengan cara yang salah, melanggar hukum, mendustai etika!
Publik juga mengamini bahwa kehadiran Gibran adalah hasil dari ia membonceng popularitas Jokowi. Secara eksplisit, ia memanfaatkan posisi ayahnya sebagai Presiden untuk memuaskan hasrat kuasa di dalam hatinya. Narasi lain mengatakan bahwa Jokowi adalah sosok di balik layar, ia memainkan wayang politik dengan tontonan yang berjudul “Membangun Politik Dinasti”.
Harimurti dan Made Supriatma (2021) menulis fenomena di atas dalam artikel “The Solo 2020 Election: Jokowi’s Dynasty Begins?” Mereka mengatakan bahwa kemenangan Gibran sebagai Wali Kota Surakarta (juga adik ipar, Bobby Nasution di Medan) lebih memperlihatkan status politik Jokowi dari pada kesan Gibran sebagai politisi pendatang baru. Apa dampak kemenangan Gibran terhadap politik nasional dan masa depan politik Jokowi?
Jawaban pertanyaan tersebut akan membuka lembaran baru dalam kehidupan politik tanah air dan Jokowi. Bahwasanya dengan kemenangan Gibran, ia sukses menjadi bagian dari elit politik Indonesia, dan lebih dari itu, ia sukses memimpin [membangun] politik dinasti. Kemenangan itu menjadi tolok ukur kesuksesan Jokowi membangun sebuah dinasti (Bdk. Harimurti & Made Supriatma, 2021:7).
Bayang-bayang politik dinasti Jokowi tidak hanya terjadi di Solo, tetapi semakin nyata dalam kontestasi Pilpres dan Cawapres di Pemilu 2024. Wajah ambisius yang samar-samar mulai berwujud bengis, terlihat nafsu dan haus akan kekuasaan adalah dua sejoli yang lama bersembunyi di hati Jokowi. Gibran adalah sebuah proyeksi dari dua sejoli itu.
Erin Cook sudah meramalkan secara pasti sejak tahun lalu dalam World Politics Review (30/11/2023), bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia dibayang-bayangi oleh Pembangunan dinasti Jokowi. Apa pun hasilnya, yang pasti adalah Jokowi sukses membangun sebuah dinasti! Lantas, apa upaya kita sebagai masyarakat biasa?
Upaya Mesianik
Persoalan bukan hanya Jokowi ingin membangun politik dinasti—toh begitu banyak elite telah membangun benteng dinasti keluarga dan kroni sendiri—melainkan sebuah permainan para elite dalam lingkaran setan yang memuluskan jalan Gibran menuju Pilpres-Cawapres 2024.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 141/PPU-XXI/2023 yang mengistimewakan Gibran adalah keputusan kontroversial dan tercium aroma konflik kepentingan. Anwar Usman, paman Gibran dan suami dari saudari kandung Jokowi, mengetuk palu persetujuan usia pencalonan bisa di bawah 40 tahun.
“Gibran bisa mencalonkan dirinya sebagai wakil presiden hanya karena pamannya…. Pemberi suara penentu dalam putusan adalah Ketua Mahkamah Agung, Anwar Usman, yang ditunjuk oleh presiden Jokowi, dan kemudian menikahi saudari presiden” tulis Paddock dan Suhartono (The New York Times 07/01/2024). Setelah putusan kontroversial tersebut Anwar Usman diberhentikan secara paksa karena terbukti melakukan pelanggaran berat (serious violation) terhadap kode etik pengadilan.
Usman tidak sendirian dalam pusaran lingkaran setan pelanggaran kode etik, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari, terbukti melanggar etik. Bukti pelanggaran menurut Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) adalah saat Asy’ari menerima pendaftaran Gibran sebagai calon Wakil Presiden. Peraturan KPU masih mengharuskan calon memiliki usia minimal 40 tahun. Pada saat Gibran mendaftarkan diri, peraturan tersebut belum mengikuti keputusan MK terbaru. Sayangnya, Asy’ari hanya dijatuhi hukuman ‘peringatan keras’ (Bdk. Tempo 08/02/2024).
Dalam program ROSI 2 November 2023, Goenawan Mohamad, pendiri majalah Tempo yang kritis pada pemerintah, menitikkan air mata ketika mencurahkan isi hati, “Siapa yang bisa kita percayai? KPK tidak bisa dipercaya lagi! Mahkamah Konstitusi tidak bisa dipercaya lagi! Presiden yang kita sayangi tidak bisa dipercaya lagi! Lalu siapa?”
Jika lebih kritis dan melampaui fenomena kontroversial Gibran, maka amarah publik mengerucut pada sebuah kehilangan besar akan sebuah kepercayaan kolektif pada lembaga-lembaga kredibel pemerintah, dalam hal ini MK dan KPU. Lebih berbahaya adalah publik tidak percaya lagi kepada orang nomor satu di tanah air, Jokowi.
Kepercayaan yang telah rusak sangat berbahaya jika kita diam saja. Seperti Jokowi tidak bersuara akan pelbagai pelanggaran etika yang merusak moral bangsa, ia secara diam-diam merestui pelbagai pelanggaran itu. Diam Jokowi berarti bahwa melanggar aturan itu normal-normal saja. Dan Jokowi baru saja memberikan contoh nyata tata cara merusak negeri ini. Ini sangat berbahaya!
Kita, sebagai masyarakat biasa, harus melakukan upaya mesianik, yaitu sebuah bentuk perlawanan terhadap elite berhati busuk! Perlawanan tidak hanya berakhir pada perkara ‘suka-tidak suka’, ‘pilih-jangan pilih’, tetapi menarasikan kejadian ini kepada generasi muda, seperti narasi yang terus hidup tentang runtuhnya Soeharto. Dengan membangun cerita maka akan menolak lupa, berefleksi, dan melahirkan sebuah pembelajaran berarti.
Upaya mesianik syarat makna adalah gerakan responsif kampus di seluruh negeri. “Kampus Bersuara” adalah sirene berbahaya terhadap demokrasi Indonesia. Secara sederhana, kita bisa memantik diskusi ringan: Untuk apa para guru besar dan kaum intelektual bersuara lantang jika dan hanya jika negara ini baik-baik saja? Bukankah baru sekarang Guru Besar turun gunung dan bersuara lantang di permukaan? Bukankah baru pertama kali terjadi dalam skala waktu kepemimpinan Jokowi bahwa ada gerakan masif “Kampus Bersuara”? Jika persoalan ini dianggap tidak serius, maka kita seperti pemain kedua belas yang mendukung para elite memainkan sebuah permainan kotor!
Permenungan Tanda Koma
Akhirnya, penulis sampai pada sebuah “Permenungan Tanda Koma”, artinya sebuah refleksi yang tak akan pernah berakhir. Ada beberapa catatan kritis penulis: pertama, Jokowi sukses membangun politik dinasti dengan mengorbankan citra Gibran, anaknya yang lemah-lembut itu. Pengorbanan ini akan terbayar nantinya pada kontestasi Pemilu Pilpres 2029, artinya Gibran sesungguhnya dipersiapkan untuk menjadi calon presiden. Ia tidak berhenti pada orang kedua, tetapi menjadi yang pertama dengan menghalalkan segala cara.
Kedua, persoalan utama bukan hanya Jokowi sukses membangun politik dinasti, melainkan etika bangsa yang ternoda, aturan dilanggar demi politik kepentingan, dan darurat demokrasi. MK dan KPU sebagai lembaga kredibel publik terbukti melanggar aturan dan kode etik. Dengan tercorengnya nama baik dua lembaga ini, lantas siapa yang dapat dipercaya? Amarah publik di seantero negara ini terletak pada poin ini.
Ketiga, jika kita berefleksi lebih dalam poin kedua dan mencoba melampaui batas-batas netral, maka kita akan melihat dan menemukan tanda-tanda bahaya akan lahir. Praktik kotor demokrasi secara diam selama ini (underground) akan terang-terangan di permukaan, seperti a) Politik dinasti akan lahir secara terbuka. Pertarungan elite akan lebih mengerikan. Mereka berlindung pada dalil ‘mencontohi Presiden’; b) Pelanggaran hukum dianggap normal. Akan lahir pelbagai bentuk pelanggaran dengan dalil serupa ‘mencontohi Presiden’; c) Kepercayaan publik akan menurun kepada pemerintah, dalam kasus ini presiden, dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya; dan d) Noda pelanggaran etika akan sulit dibersihkan dalam tempo sesingkat-singkatnya! Tertarik?
*Penulis adalah Alumnus STF Driyarkara