Perjuangan Petani Perempuan Hewa, Flores Melestarikan Benih Lokal Warisan Leluhur

Dia menemukan bahwa benih lokal hanya dikembangkan dalam lingkup yang kecil oleh masing-masing petani, bergantung pada benih jenis benih apa yang diwariskan oleh leluhur mereka.

Larantuka, Ekorantt.com– Tangan ringkih Agnes Kojo (69) menggerakkan sisi depan penampi beras ke atas dan ke bawah. Kulit padi dan kotoran kecil lain tersisihkan dengan sendirinya, menyisakan beras di atas penampang berbentuk lingkaran itu.

Setelah dicuci, Agnes segera memasukkan beras ke dalam periuk aluminium yang bertengger di atas tungku perapian.

Lasianus Lalung (70), suami Agnes, terlihat sedang menggosok parang dengan batu asahan di pojok pondok. Aroma khas tembakau tercium saat ia mengisap rokok lintingan.

Pada suatu Kamis di bulan Januari 2024, Agnes dan Lasianus melakukan aktivitas di kebun yang terpaut lima kilometer dari rumah mereka di Desa Hewa, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Pasutri yang memiliki tiga anak ini menanam padi dan jagung di areal kebun pada awal Desember 2023 lalu. Sayangnya, padi tumbuh sejengkal tangan dan banyak yang mati sebelum mekar. Sedangkan daun-daun jagung rusak diserang ulat gerayak.

Berbeda dengan tahun ini, kata Agnes, memasuki bulan-bulan seperti ini pada tahun sebelumnya “kami sudah bisa makan jagung muda.”

Mengamini perkataan Agnes, Lasianus mengeluhkan tanaman padi dan jagung yang gagal tumbuh akibat kurangnya pasokan air karena musim kemarau yang berkepanjangan.

“Sejak ditanam bulan Desember, padi jagung di sini baru tiga kali ketemu hujan,” keluh Lusianus.

Kendati demikian, mereka berdua tetap rutin menyiangi rumput-rumput liar yang tumbuh di areal kebun. Walaupun nanti panenan sedikit, minimal “benih untuk musim depan tetap ada. Benih tidak boleh kosong memang.”

Itulah kenapa Agnes selalu menyimpan padi atau jagung untuk benih di wadah khusus terbuat dari daun lontar, yang disimpan di salah satu sudut oring, lumbung pangan orang Hewa.

“Tidak boleh makan semua hasil panen. Kita simpan yang lain untuk benih,” ujar Agnes.

Benih Lokal Itu Orangtua Saya’

Perjuangan Petani Perempuan Hewa, Flores Melestarikan Benih Lokal Warisan Leluhur1
Para petani di Hewa mengawetkan jagung untuk benih di oring, lumbung pangan masyarakat setempat (Foto: Ijas/Ekora NTT)

Agnes lahir dan tumbuh di dalam keluarga yang kental dengan tradisi bertani ladang, di mana lahan kering menjadi salah satu sumber pangan untuk kebutuhan hidup keluarga. Di dalam ladang, ditanami beraneka macam jenis tanaman pangan, mulai dari padi, jagung, kacang, pisang, hingga ubi.

Pemerintah Kabupaten Flores Timur sempat meminta Agnes dan sejumlah peladang lain untuk beralih ke pola pertanian lahan basah lewat program percetakan sawah. Hal itu terjadi saat program percetakan sawah pertama di Hewa tahun 1985; 31 tahun kemudian, pada 2016, Kementan bekerja sama dengan TNI AD membuka percetakan sawah lagi dengan target 200 ha lahan dibuka.

Satu paket dengan program itu, pemerintah melakukan pengadaan benih, pupuk, pestisida, dan pembukaan saluran irigasi ke lokasi persawahan. Tapi Agnes bersikeras untuk mempertahankan pola berladang yang diwarisi oleh leluhurnya dari generasi ke generasi.

“Saya tidak tahu kerja sawah. Dari dulu kami hanya bisa kerja kebun (ladang),” ujarnya.

Begitu pula dengan benih, ia tidak mau benih lokal warisan orangtuanya diganti dengan benih yang lain. Kepada Ekora NTT, Agnes menunjukkan benih lokal – nalu gete (benih padi lokal) dan watar kilan pedang (benih jagung lokal) – peninggalan kedua orangtuanya.

“Kalau sekarang sudah banyak benih dari pemerintah tetapi saya selalu pakai benih lokal karena itu adalah saya punya orangtua,” tuturnya.

Agnes tidak mau hubungan dengan orangtuanya terputus karena ia tidak lagi menggunakan benih lokal.

“Jaga baik-baik benih ini, tidak boleh lepas. Saya lihat dari sana (alam baka). Kalau lepas berarti hubungan kita putus,” demikian Agnes mengenang pesan orangtuanya yang telah meninggal dunia puluhan tahun lalu.

Benih menghubungkan leluhur yang telah hidup di alam baka dan manusia yang masih berziarah di dunia fana. Benih menyatukan “orang yang telah meninggal dan kita yang masih hidup.”

Hidup dari Benih Lokal

Perjuangan Petani Perempuan Hewa, Flores Melestarikan Benih Lokal Warisan Leluhur3
Bertani ladang merupakan tradisi bertani yang diwariskan leluhur orang Hewa. Masih banyak petani yang mengembangkan pola pertanian ini karena cocok dengan iklim setempat (Foto: Ijas/ Ekora NTT)

Dalam keyakinan orang Hewa, sebagaimana yang dijelaskan Benyamin Widin, selaku tokoh adat setempat, benih lokal tidak akan punah karena itu adalah “darah daging kita sendiri” dan darinya orang bisa bertahan hidup.

Tidak mungkin petani membuang apa yang telah menjadi darah dagingnya. Itu hal yang mustahil, kata Benyamin.

“Anggaplah saja benih sebagai anak toh. Jadi kalau kita punya anak kita buang tidak mungkin toh,” ujarnya.

Benyamin menuturkan, sebanyak 27 suku yang mendiami wilayah adat Hewa masing-masing memiliki benih padi dan jagung yang diwariskan dari leluhur mereka.

“Memang tidak ada aturan untuk jaga benih lokal. Tapi benih lokal ada di petani-petani,” kata Benyamin.

Tidak mengherankan Benedikta Beting Soge (45), seorang petani di Hewa, masih rutin mengadakan ritual-ritual tertentu sebagai bentuk penghormatan terhadap benih.

Saat akan menanam benih, misalnya, ia mengambil serumpun daun, mencelupkannya pada air. Selanjutnya, dipercikkan pada benih yang akan ditanam sembari merapal doa.

“Wahai bumi dan langit. Benih yang diberkat ini akan saya tanam. Benih bersatulah dengan tanah jika panas matahari datang berdiamlah, jika hujan yang datang berkembanglah, tumbuhlah dengan subur, berikan hasil terbaik untuk menghidupi kami.”

Ritual tersebut mengandung harapan bahwa benih yang ditanam akan tumbuh subur dan memberikan kehidupan bagi keluarganya. Dan terbukti “kami masih bisa hidup dengan benih yang kami tanam sampai hari ini.”

Benedikta mewarisi benih padi dan jagung dari leluhurnya. Ia menyimpan tiga benih lokal yakni Nalu Mitan, Nalu Meran, dan Nalu Bura, dengan memiliki keunggulannya masing-masing.

“Kalau Nalu Bura kita tanam tumbuh cepat. Kalau Nalu Mitan untuk obat dan gizi tinggi. Kalau Nalu Meran juga gizi dan daya tahan tubuh tinggi,” kata Benedikta.

Tergiur Benih dari Luar

Walaupun mewarisi benih lokal, Benedikta tergiur untuk menggunakan benih dari luar sejak adanya percetakan sawah kedua di Hewa pada 2016. Kala itu, seorang kerabat memperkenalkan kepadanya jenis benih baru bernama ciherang, benih yang cukup populer di kalangan para petani Hewa.

Dengan niat “coba-coba” di awal, Benedikta pun menggarap sawah tetangganya, lalu menyemai benih ciherang di lahan itu.

Rupanya bertani sawah memberikan hasil yang melimpah dengan masa budi daya yang sangat cepat, sekitar tiga bulan. “Bulirnya besar dan lebar. Kita panen cepat saja.”

Benedikta kemudian coba menanam benih ciherang di ladang miliknya. Berbeda dengan benih padi lokal yang bisa tumbuh berdampingan dengan tanaman pangan lain, benih ciherang mesti diperlakukan secara khusus, ditanam secara terpisah di lahan tersendiri.

“Kalau padi itu gagal, berarti kami  lapar, karena kami tidak tanam ubi, kacang, jagung,” ujarnya sembari menambahkan, dirinya tetap berladang dan mempertahankan benih lokal.

Hal serupa dialami Theresia Hale Boruk (48), menerima tawaran program percetakan sawah dari pemerintah dengan harapan akan memberikan hasil panen yang lebih banyak.

Ia membiarkan sebagian tanahnya digusur untuk pembukaan sawah baru lima tahun lalu. Bersamaan dengan itu, pemerintah membagikan benih serta membangun saluran irigasi hingga ke lahan pertaniannya.

Baru tahun pertama, sawah milik Theresia tidak memberikan hasil apa-apa karena kurangnya pasokan air. Bagaimana tidak, musim kemarau di Hewa lebih lama ketimbang musim hujan yang berlangsung hanya sekitar tiga bulan.

Di sisi lain, sejumlah mata air di Hewa tidak cukup untuk mengairi persawahan karena harus dibagi lagi untuk kebutuhan air bersih masyarakat setempat.

“Sempat buka, tapi gagal, tidak jadi karena air tidak ada,” kata Theresia.

Theresia menunjukkan kepada Ekora NTT saluran irigasi yang mubazir di ladangnya itu. Penampang saluran irigasi kelihatan masih utuh tanpa ada kerusakan sedikit pun. Oleh petani setempat, saluran irigasi tersebut dipakai untuk akses jalan dari dan menuju ke kebun.

Kini, Theresia tidak lagi bertani sawah. Ia kembali menanam jagung di lahan seluas satu hektar itu.

Dalam penelusuran Ekora NTT, dari 200 hektare lahan sawah yang dicetak oleh pemerintah, kurang lebih 30 persen lahan masih digarap. Sisanya, dibiarkan begitu saja, bahkan ada yang diolah kembali menjadi pertanian lahan kering.

“Saya tanam jagung pakai benih yang ada di sini. Saya tidak kerja sawah lagi,” kata Theresia.

Benih Pemerintah Andalkan Produktivitas

Perjuangan Petani Perempuan Hewa, Flores Melestarikan Benih Lokal Warisan Leluhur2
Sejumlah warga Desa Hewa mulai beralih ke pertanian lahan basah sejak adanya program percetakan sawah pada era 1980-an (Foto:Ijas/Ekora NTT)

Maria Dadong (37), seorang petani dari generasi yang lebih muda, betul-betul telah beralih menjadi seorang petani sawah dengan input benih dari luar.

Ia meninggalkan ladang sejak pergi mengenyam pendidikan dan merantau ke luar daerah. Sekembalinya ke Hewa, ia menggarap lahan sawah milik kerabat dekatnya dengan sistem bagi hasil.

Dalam semusim, ia bisa memetik hasil kurang lebih 20 karung gabah kering, yang jika dikonversikan mencapai satu ton gabah kering. Sebagian panenan dikonsumsi dalam keluarga, ada yang dijual, dan ada pula yang diserahkan kepada pemilik sawah.

Penggunaan benih ciherang memang memberikan hasil panen yang melimpah, kata Maria. Namun, proses pengerjaan  membutuhkan ongkos yang tidak sedikit, terutama untuk belanja pupuk dan obat-obatan. Totalnya bisa mencapai Rp5 juta hingga Rp6 juta dalam satu musim, belum dihitung dengan biaya tenaga kerja.

Seperti petani sawah kebanyakan, Maria mendapatkan benih ciherang pertama kali dari “bantuan pemerintah” melalui kelompok tani di tingkat desa.

Kepala Balai Pelatihan Pertanian Wulanggitang Maria Getrudis Utan (45) mengakui bahwa pemerintah menyalurkan bantuan benih hampir setiap tahun. Ada dua varietas benih yang masuk ke Hewa yakni ciherang dan inpari. Dan yang paling banyak digunakan petani adalah ciherang.

“Di sini ada 70 lebih kelompok tani, itu yang sudah dikukuhkan, tetapi sebenarnya masih banyak. Satu kelompok mereka dapat 120 sampai 150 kilogram benih, sangat tergantung luas lahan,” kata Getrudis.

Menurut Getrudis, tidak ada aturan yang mewajibkan petani untuk menggunakan benih bantuan pemerintah. Karena petani sendiri yang tahu betul, mana benih berkualitas dan mana yang tidak.

Sepengetahuan dia, pemerintah, dalam hal ini dinas pertanian, bekerja sama dengan “kontraktor-kontraktor” dalam proses pengadaan benih. Mereka akan bekerja sama dengan para penangkar benih yang telah mengantongi sertifikat.

“Siapa yang menang tender dia yang pengadaan benih. Kalau di sini belum ada penangkar benih,” kata Getrudis.

Kadis Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Flores Timur, Sebast Sina Kleden bilang, pada 2023, pemerintah menyalurkan bantuan benih Ciherang kepada para petani di Flores Timur.

“Itu sejumlah 7,5 ton untuk 300 hektare di Hewa, di Flores Timur ya. Benihnya itu diproduksi di penangkar benih padi di Magepanda, Kabupaten Sikka,” kata Sebast.

Proyek pengadaan benih itu juga menyasar 11 kabupaten lain di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saat itu, pemerintah menggelontorkan dana Rp2 miliar lebih dari APBD Pemerintah Provinsi NTT untuk memenuhi kebutuhan 248.750 kilogram benih di tingkat petani.

Penggunaan varietas benih ciherang sangat mengedepankan keunggulan dari sisi produktivitas, kata Sebast. Hal ini sudah melewati proses sertifikasi oleh Balai Pengawas Benih yang berada dalam supervisi Dinas Pertanian di tingkat provinsi atau Kementerian Pertanian di tingkat pusat.

“Dan itu digunakan bersama dengan paket proyek yang diturunkan, biasanya dari sumber dana pusat,” ujarnya.

Baginya, adalah pandangan keliru bila pemerintah lebih memprioritaskan varietas benih dari luar ketimbang benih lokal. Benih lokal tidak bisa bersaing dengan benih pemerintah karena tidak mendapatkan sertifikasi.

Sertifikasi Benih Lokal, Mungkinkah?

Ruang untuk proses sertifikasi benih lokal sangat terbuka lebar lewat pendaftaran ke Dirjen Pusat Perlindungan Varietas dan Perizinan Pertanian Kementerian Pertanian.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 Tahun 2006 menegaskan bahwa pendaftaran benih varietas lokal dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah bertindak mewakili kepentingan masyarakat pemilik varietas lokal di wilayahnya untuk memberikan nama varietas lokal berdasarkan persyaratan penamaan.

Manajer Program Pertanian Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) Puji Sumedi Hanggarawati mengatakan, sebenarnya komunitas petani bisa berkoordinasi dengan pemerintah untuk mendaftarkan benih-benih lokalnya. Hanya saja hal itu belum optimal dilakukan.

Menurutnya, kesadaran kritis masyarakat petani belum kuat, minimal bahwa masyarakat mencatat kembali, mendokumentasikan, lalu memanfaatkan benih lokal.

“Kalau misalkan dicatat dan didaftarkan tapi ga nanam, ya sama aja. Poinnya adalah masyarakat mencatat dan mendokumentasikan, lalu kalau mau didaftarkan, kanalnya ada gitu lho, tentang perlindungan varietas lokal,” kata Puji Sumedi.

Hal ini juga belum didukung oleh upaya riil pemerintah. Padahal aturannya sudah tersedia.

Di skala regional, muncul angin segar saat anggota DPRD Provinsi NTT mewacanakan lahirnya peraturan daerah (Perda) inisiatif terkait perlindungan benih tanaman lokal pada tahun 2017.

Ketua Komisi II DPRD NTT Periode 2014-2019 Yucundianus Lepa mengatakan, inisiatif ini berasal dari kesadaran akan potensi NTT yang memiliki banyak jenis untuk tanaman pertanian dan pangan, serta karena kekhawatiran akan plasma nutfah yang merupakan kekayaan daerah itu bisa terancam.

“Benih lokal kita bisa saja tertekan atau sulit berkembang hanya karena kehadiran benih-benih dari luar akan menekan atau mempengaruhi spesies lokal,” kata Yucundianus pada Jumat, 17 Februari 2017.

Sayangnya, Perda itu tak kunjung dibahas di sidang wakil rakyat hingga sekarang.

Benih Lokal Kian Tergerus

Benih bantuan pemerintah sesungguhnya telah masuk ke Hewa sejak percetakan sawah pada tahun 1985. Menurut catatan Thomas Uran dari Yayasan Ayu Tani Mandiri, benih bantuan pemerintah yang pertama kali masuk kala itu adalah benih padi berjenis ampera.

Kemudian tahun-tahun berikutnya, masuk beberapa jenis benih padi dari luar hingga hadirnya benih ciherang. Kehadiran benih-benih ini tentu saja menggerus keberadaan benih lokal, kata Thomas.

“Dalam dokumentasi kita, benih-benih ini sudah langka dan hanya ada di petani-petani tertentu saja,” kata Thomas.

Puji Sumedi mengatakan, kehadiran benih bantuan pemerintah dikemas dalam paket lengkap yakni proyek percetakan sawah, pengadaan benih, lalu diikuti dengan penyaluran pupuk-pupuk kimia, dan ini menjadi ancaman bagi petani lokal.

“Program pemerintah kan isunya cuma produksi. Pangan atau sistem pangan lebih ke hanya untuk konsumsi saja,” kata Puji.

Sementara di sisi lain, katanya, “benih lokal, benar-benar petani sendiri yang survive.”

Kehadiran benih bantuan pemerintah kurang lebih berpengaruh pada dua hal. Pertama, tergerus bahkan hilangnya benih lokal digantikan benih bantuan pemerintah. Kedua, budaya yang hidup dari sistem pangan lokal turut tergerus dan hilang.

“Keanekaragaman benih lokal pasti lama-lama akan hilang ya kalau tidak ditanam. Kemudian paket tradisi pertanian lokal bisa hilang,” jelasnya.

Masyarakat lokal, kata Puji, rata-rata masih kental dengan budaya dan adat istiadat. Ketika bicara soal pangan, berarti ada hubungannya dengan hal spiritual dan budaya.

“Ya, kalau benih hilang berarti budaya kemudian juga terancam hilang. Ritusnya hilang. Benihnya apa lagi. Kalau dari sisi keanekaragaman hayati jadinya ga ada,” ujarnya.

Ubah Orientasi Kebijakan

Perjuangan Petani Perempuan Hewa, Flores Melestarikan Benih Lokal Warisan Leluhur4
Agnes Kojo membersihkan benih padi untuk ditanam di ladang. Saat musim panen sebelumnya, ia telah membagi hasil panen, baik untuk dikonsumsi maupun untuk benih di musim tanam berikutnya (Foto: Ijas/ Ekora NTT)

Koordinator Koalisi Kerakyatan untuk Kedaulatan Pangan, Ayip Abdullah melihat bahwa orientasi kebijakan pemerintah sangat menekankan stabilitas ekonomi politik, salah satunya menjaga ketersediaan pangan.

Menurutnya, mungkin yang dipilih adalah meningkatkan produksi pangan. Dan, hal tersebut “hanya bisa ditempuh dengan menggunakan benih-benih unggul. Dan benih-benih lokal dipandang sebagai benih yang kurang produktif.”

Cara pandang demikian perlu dikoreksi bersama-sama, kata Ayip. “Kalau memang benih lokal itu kurang produktif, pertanyaannya adalah dengan cara apa meningkatkan produktivitas benih lokal itu?”

Dia mendorong untuk melakukan pemuliaan dan upaya konservasi terhadap benih lokal. Dalam upaya konservasi, menurut Ayip, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas petani, kelompok tani, kelompok penangkar, kelompok pemulia benih di tingkat lokal.

Dalam hal konservasi, anak-anak muda yang mendapat dampingan dari Yayasan Ayu Tani, telah melakukan langkah nyata yakni mendokumentasikan benih-benih lokal.

Shindy, koordinator dari anak-anak muda itu, menuturkan, mereka telah mendatangi kebun warga untuk mendata benih-benih lokal yang ada di tangan petani-petani setempat. Selanjutnya, dengan bekal cerita dari petani, mereka menarasikan benih-benih lokal yang berhasil didata tersebut.

Mereka telah mendata sekaligus mengarsipkan sejumlah benih padi lokal, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan benih kacang hutan. Belum semua benih lokal berhasil terkumpul.

Khusus untuk padi, mereka menemukan bahwa sebelum mengenal sawah, para petani Hewa membudidayakan belasan padi lokal di antaranya; Nalu Mune, Nalu Mita, Nalu Masak, Nalu Blutuk, Nalu Mu’u, Nalu Gete, Nalu La’u, Nalu Olon, Nalu Gadis, Nalu Rutun, Nalu Waher, Nalu Wula Rua, Nalu Solor, Nalu Ampera, Nalu Meran, Nalu Lepu, dan Nalu Leko Kilan.

“Kami sudah mendata ada 17 benih padi lokal tapi baru sembilan yang kami kumpul, tiga jenis jagung. Ada juga kacang. Sebenarnya ada juga pangan liar, tumbuh di hutan yang dikonsumsi saat musim kelaparan,” kata Shindy.

Shindy mengakui, butuh penelitian mendalam terkait keberadaan benih lokal agar mengetahui keasliannya. Yang dapat mereka lakukan sekarang adalah dokumentasi dan pengarsipan.

Dia menemukan bahwa benih lokal hanya dikembangkan dalam lingkup yang kecil oleh masing-masing petani, bergantung pada benih jenis benih apa yang diwariskan oleh leluhur mereka. Kini, benih-benih itu menanti “kepunahan” bila tidak mendapatkan perhatian serius dari semua pihak.

Situasi ini sedang dicemaskan oleh Agnes Kojo. Boleh saja ia masih mempertahankan benih lokal warisan leluhurnya, namun ada kekhawatiran bahwa benih lokal akan punah di generasi berikutnya.

“Karena perkembangan zaman, tetapi saya selalu pesan kepada anak-cucu untuk tidak boleh melupakan benih lokal,” kata Agnes.

“Saya khawatir, kalau saya masih kuat saya akan tetap jaga, tapi kalau saya sudah tidak bisa bekerja maka bisa saja benih ini akan dilupakan oleh anak-cucu,” tuturnya.


Liputan ini didukung oleh Earth Journalism Network

spot_img
TERKINI
BACA JUGA