Melihat Nabi Neoliberal Bekerja (Catatan Atas Konflik Lahan yang Melibatkan Gereja Katolik di Flores)

Paska pembentukan Keuskupan Maumere pada tahun 2005, pengelolaan lahan ini dialihkan ke keuskupan melalui PT Kristus Raja Maumere

Oleh: Hans Hayon*

“When the missionaries came to Africa they had the Bible and we had the land.

They said “Let us pray.” We closed our eyes.

When we opened them, we had the Bible and they had the land.”

― Desmond Tutu

Neoliberalisasi Teologi Katolik

Suka atau tidak, teologi Kristen merupakan cikal bakal kebangkitan modernisasi. Max Weber bahkan lebih blak-blakan dengan menyebut etika protestan sebagai spirit awal munculnya kapitalisme.

Terkini, ada Karen Amstrong dalam bukunya Sacred Nature: Restoring Our Ancient Bond with the Nature World (2022) yang mengklaim bahwa sejak awal mula, umat manusia telah memandang alam dan melihat Yang Ilahi.

Sebelum munculnya agama-agama modern, masyarakat adat misalnya, memandang Tuhan bukan sebagai sosok yang memiliki kekuatan besar yang bersifat transenden, jauh terpisah dengan manusia, tetapi hadir secara imanen dalam alam semesta, dalam segala hal. Nasaruddin Umar dalam Kompas (8 Agustus 2024) menulis, masuknya agama monoteisme berhubungan dengan terjadinya akselerasi kerusakan alam dan lingkungan hidup.

Eksperimentasi paling konkret justru terdapat dalam teologi Kristen yang memindahkan dimensi sakralitas dari alam ke dalam diri pribadi Yesus. Personifikasi dimensi sakral itulah yang memberikan semacam legitimasi bagi berlangsungnya projek modernisme dan eksploitasi alam semesta yang diawali dengan penelitian astronomi, biologi molekuler, anatomi dan pembedahan mayat, dan lain-lain.

Hingga saat ini, ketika kita mengagumi pohon atau menikmati pemandangan yang menakjubkan, kita jarang melihat alam sebagai sesuatu yang sakral.

Hilangnya dimensi sakral dalam alam semesta hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih menakutkan: neoliberalisme! Diciptakan oleh Friedrich von Hayek, neoliberalisme merujuk pada keyakinan bahwa semua realitas dapat dijelaskan dalam model persaingan ekonomi, dan bahwa semua aktivitas manusia dapat diukur dari segi kekayaan, nilai tukar, dan harga.

Pasar bukan hanya konsep dan tempat berlangsungnya aktivitas ekonomi, melainkan juga menggambarkan masyarakat secara keseluruhan. Demikian pula harga, adalah alat untuk mengalokasikan sumber daya yang langka; dan dalam rangka mendukung efisiensi, pasar harus bebas dan kompetitif. Dalam persaingan semacam ini, kita belajar tentang siapa dan apa yang benar-benar (tidak) berharga (Muehlebach, 2013).

Mengutip Harvey (2005), logika neoliberal berfokus pada efisiensi, standardisasi, persaingan, kewirausahaan, hak milik pribadi yang kuat melalui privatisasi utilitas publik, pasar bebas, dan perdagangan bebas.

Secara paradigmatis, istilah ini mulai beroperasi dalam skala kecil ketika pejabat terpilih yang dipimpin oleh Ronald Regan dan Margaret Thatcher membentuk koalisi politik untuk mengembalikan negara kesejahteraan guna menghadapi organisasi buruh. Ekonom seperti Hayek dan Milton Friedman itulah yang memberikan dasar intelektual bagi ideologi tersebut.

Bertolak dari situ, neoliberalisme merembes batas-batas benua, merangsek masuk bahkan dalam toilet dan kamar tidur setiap warga negara. Akhirnya, dengan melibatkan International Moneter Fund (IMF) dan World Trade Organization (WTO) melalui “Konsensus Washington”, ideologi ini mereformasi pasar dengan cara menyingkirkan dimensi dan ongkos sosial sambil menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai panglima.

Wendy Brown dalam Undoing the Demos (2015) coba menyingkap kerja jahat ideologi tersebut bukan hanya pada urusan ekonomi. Brown menunjukkan bahwa ideologi itu menemukan huniannya di inti terdalam keberadaan kita sebagai warga negara demokratis: rasa memiliki kita dalam dunia bersama yang dapat kita kelola secara kolektif bersama orang lain.

Dengan menggunakan kecemerlangan analisis governmentality Foucault, Brown menunjukkan bahwa rumah utama neoliberalisme bukanlah buku teks ekonomi, laporan Bank Dunia, dan pertemuan rutin World Economic Forum (WEF) di Davos. Ini lebih licik dari itu—praktik dan institusi yang mengatur kehidupan kita sehari-hari. Konsekuensinya jelas. Ideologi ini membentuk “rasionalitas politik” dengan cara membubarkan kapasitas kewargaan kita dan menawarkan formulasi subjek politik baru sebagai pengusaha yang setia (Chappel, 2015).

Tenaga kerja misalnya, tidak lagi memiliki potensi ekonomi dan politik untuk dieksploitasi sebab tujuan neoliberalisme bukan untuk mengeksploitasi mereka tetapi menghapus kategori maknanya karena makna itu adalah tempat dari mana perlawanan berasal. Konsekuensinya jelas, berbagai jenis perlawanan dan protes sosial direduksi maknanya menjadi sekadar gerakan mahasiswa, gerakan masyarakat adat, dan lebih celaka dari itu, gerakan agama—bukan gerakan politik kewargaan.

Praktik neoliberalisme dalam teologi Katolik bekerja melalui identifikasi dan klasifikasi rasial, etnis, dan agama sebagai strategi devide and rule yang terus berlangsung sampai periode Global War on Terror/GWOT (Djalong dan Hakim, 2021).

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Marseden (2008), Breuwer, Gifford, & Rose (1996), juga Shibley (1998) yang menggambarkan kekuatan sosial Kristen fudamentalis, Pentakosta, dan karismatik sebagai agen masyarakat sipil dan agen kebijakan luar negeri AS.

Kelompok ini malah mendukung kebijakan negara sebagai perpanjangan tangan dari apa yang disebut sebagai Christian Rights of the US. Akibatnya, seperti yang dicatat Shah (2006), Pentakostalisme global telah menjadi proxy bagi AS dalam mengumpulkan dukungan populer termasuk dari Vatikan untuk mendukung “Perang Melawan Terorisme” global.

Perang proxy semacam ini bukanlah hal baru. Pada abad ke-19 misalnya, ketika liberalisme mengancam pelbagai properti dan posisi Gereja di semenanjung Italia, dibuatlah Perjanjian Lateran (1929) yang menyatukan kekuatan industri liberal, rezim Mussolini, dan Kepausan dengan kedaulatan diberikan kepada Kota Vatikan (Gramsci, 1995). Ini dicapai dengan menjadikan komunisme sebagai proxy guna memperkuat kedaulatan dan memberikan perlindungan fisik bagi banyak perusahaan milik Gereja Katolik di Eropa.

Posisi anti-komunisme ini juga merupakan medan strategis Vatikan untuk memperbaiki hubungannya dengan Protestan yang sempat retak paska kompleksitas Kontra-Reformasi. Sejak saat itu, hingga hari ini, dimulailah proyek neoliberalisasi dalam praktik teologi Katolik secara halus dan masif.

Itulah mengapa Slavoj Zizek mengkritik kecenderungan kulturisasi politik (2008) dengan bertanya, “Mengapa begitu banyak permasalahan saat ini dianggap sebagai masalah toleransi, bukan masalah ketidaksetaraan, eksploitasi, atau ketidakadilan? Mengapa solusi yang ditawarkan lebih bersifat toleransi dibandingkan emansipasi, perjuangan politik, bahkan perjuangan bersenjata”?

Oleh karena itu, untuk menyusun rekomendasi yang lebih signifikan tentang kritik teologi Gereja Katolik terhadap intervensi neoliberalisme, kita harus melihat dan memahami warga negara secara serius sebagai agen moral yang melibatkan kehidupan religius mereka. Ini penting karena agama telah terbukti sangat kuat dalam masyarakat modern, dan munculnya neoliberalisme sering kali tampak menyertai kebangkitan agama.

Etika Protestan Weber (1905) memberikan agama kekuatan besar dalam menjelaskan kapitalisme. Begitupun dalam Security, Territory, Population (1977/78)—sebuah seri kuliah yang mendahului Birth of Biopolitcs (1978/79)—Foucault berpendapat bahwa gagasan tentang “pemerintahan manusia” yang mencapai puncaknya dengan neoliberalisme, berawal dari “kuasa pastoral” Gereja.

Dua pemikir di atas, terutama yang terakhir, membantu kita untuk menemukan bahwa, bahkan di era neoliberal, hubungan agama dengan pasar justru dimediasi oleh jaringan komitmen kelembagaan dan moral. Singkatnya, neoliberalisme muncul bukan untuk menghancurkan agama, melainkan memobilisasi dan merekayasa kecenderungan afektif, moral, dan dimensi sosial kita.

Mengutip Chappel dalam Servant Heart: How Neoliberalism Came to Be (2015), neoliberalisme tidak pernah berkuasa di bawah kedoknya yang tidak menarik, tetapi selalu berada di bawah sayap ekonomi moral yang sangat berbeda, dan seringkali begitu religius.

Atau mengutip Bertrand Russell dalam Why I Am Not a Christian (1927), “Agama didasarkan, menurut saya, terutama dan terutama pada ketakutan. Ini sebagian adalah teror yang tidak diketahui, dan sebagian, seperti yang telah saya katakan, keinginan untuk merasa bahwa Anda memiliki semacam kakak yang akan mendukung Anda dalam semua masalah dan perselisihan Anda. Ketakutan adalah dasar dari segala hal—takut akan yang misterius, takut akan kekalahan, takut akan kematian. Ketakutan adalah orangtua dari kekejaman, dan oleh karena itu tidak heran jika kekejaman dan agama telah berjalan beriringan. Itu karena ketakutan adalah dasar dari dua hal tersebut”.

Properti Gereja yang Disengketakan

Bertolak dari landasan teoretis di atas, bagian ini berargumen bahwa klaim kepemilikan melalui privatisasi dalam parameter neoliberal juga berlangsung dalam Gereja Katolik. Kitab Suci Perjanjian Lama adalah contoh paling lengkap bagaimana privatisasi itu dijalankan; mulai dari konsep bangsa terpilih dan hukum Musa, hingga Tanah Terjanji dan perkara garis keturunan Juru Selamat.

Lalu hari ini kita dihadapkan dengan model privatisasi atas alam, terutama tanah, yang bukan hanya dilakukan oleh negara melainkan juga oleh Gereja Katolik. Secara umum, ragam sengketa tanah dipengaruhi oleh dua jenis pemaknaan yang berbeda atas tanah, dan tumpang tindih klaim kepemilikan paska munculnya praktik sertifikasi (privatisasi) tanah. Kasus pertama di Flores Timur dan ketujuh di Kabupaten Sikka, menyeret gereja secara signifikan melalui korporasi yang bernaung di bawah keuskupan.

Pertama, sengketa lahan di Flores Timur. Pada tahun 2019, terjadi konflik antara masyarakat Desa Pululera dan PT Rero Lara milik Gereja Katolik Flores Timur. Konflik dipicu oleh adanya isu pemberhentian kontrak Hak Guna Usaha (HGU) dan penelantaran tanah oleh PT Rero Lara sehingga masyarakat di Desa Pululera mengklaim tanah tersebut masuk dalam hak ulyat Pululera.

Secara historis, sebelum menjadi milik PT Rero Lara, tanah itu dimiliki oleh semua suku dan dikuasai serta dikelola oleh De Roms Katolieek Missie De Klene Soendaeilanden. Tanah kemudian resmi menjadi milik PT Rero Lara melalui Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 5/HGU/BPN/92. HGU tersebut mengalami beberapa perpanjangan kontrak (Pertama tahun 1922-1929, kedua tahun 1929-1947, dan ketiga 1947-1997 dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2016).

Kedua, sengketa lahan di Ngada. Sil Keo dalam artikelnya, “Perampasan Tanah dan Signifikansi Reforma Agraria di Flores” (2019), mencatat sengketa serupa terjadi di Soa, Kabupaten Ngada. Pada bulan November 2077, Paroki Salib Suci Soa, Keuskupan Agung Ende memenangkan gugatan perkara “sawah gereja” di Turadua, Soa.

Pihak penggugat yang kalah khususnya dan para petani lain di Soa umumnya tetap boleh menggarap tanah gereja, tetapi dengan menyerahkan sejumlah uang kepada paroki.

Ketiga, sengketa lahan di Colol, Manggarai. Meskipun gereja tidak terlibat langsung dalam sengketa, John Prior dalam artikelnya, Land, Church and State (2007) berargumen bahwa hampir semua pihak yang terlibat dalam sengketa tanah adalah anggota Gereja Katolik, namun gereja itu sendiri terbagi. Khusus terkait kasus pembabatan tanaman kopi di Colol, John menunjukkan bahwa Keuskupan, yang diwakili oleh Uskup Eduardus Sangsun, sangat mendukung Bupati Bagul.

Sementara itu, badan-badan non-keuskupan seperti Komisi Keadilan dan Perdamaian Fransiskan (OFM) dan Serikat Sabda Allah (SVD) yang bekerja sama dengan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Jakarta mendekati masalah ini dari sudut pandang ekologi dan hak asasi manusia.

Keempat, konflik kepemilikan tanah SLTP St. Paulus Benteng Jawa, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai yang melibatkan gereja/paroki Benteng Jawa dan Yayasan Pendidikan Tengku Leda (YPTL). Konflik dipicu oleh keinginan kedua belah pihak untuk menyertifikasikan tanah seluas tiga per empat hektare pada tahun 2001 serta perbedaan pemahaman terhadap pemisahan tanah misi tahun 1965 menjadi Tanah Sekolah dan Tanah Stasi atau Tanah Paroki dan pembagian aset antara SDK dan SLTP St. Paulus Benteng Jawa oleh Pastor Paroki Benteng Jawa, Pater Geradus M. Mollen pada tahun 1978 (Agus Mahur dalam Clark, 2004: 106).

Kelima, konflik tanah di Desa Golo Meni, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai antara orang Manus dan Pemerintah Desa Golo Meni, SDK Mukun I, SDK Mukun II dan Gereja yang berlangsung sejak tahun 1972. Pada waktu Manggarai berbentuk kerajaan (Raja Bagung), pemerintah Hindia Belanda bekerja sama dengan Gereja Katolik merintis pembangunan Sekolah Rakyat.

Pada tahun 1921, terjadi penyerahan tanah dari Suku Manus kepada Dalu Nderas. Karena itu lokasi SR dipindahkan dari Songi ke Mukun. Namun muncul polemik bahwa tanah sekolah itu bukan diserahkan oleh klan Manus melainkan oleh keempat klan: Manus, Ngusu, Mukun, dan Deru. Hingga pada 1974, dilakukan pertukaran tanah sekolah dan tanah poliklinik untuk pembangunan Health Center untuk dijadikan sebagai Pasar dan Lumbung Desa yang ditengarai tidak melibatkan orang Manus (Peter Manggut dalam Clark, 2004: 65).

Keenam, kasus Padang Mbondei, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Mangarai yang melibatkan Seminari Pius XII Kisol dengan sekelompok warga kelurahan Tanah Rata yang tergabung dalam Himpunan Masyarakat Tani Pencari Keadilan dan Kasih Persaudaraan Tanah Rata (HIMSTAN) dan tuan tanah Suku Muto Poso.

Sengketa ini dipicu oleh tindakan anggota HIMSTAN pimpinan Angalus yang membagi dan menggarap tanah pada bulan Juni 2022 tanpa sepengetahuan tuan tanah Suku Motu Poso dan Seminari Pius XII Kisol yang mengklaim menguasai tanah itu sejak tahun 1967. Konflik ini menimbulkan debat mengenai status tanah Mbondei yang telah diserahkan kepada Seminari Pius XII Kisol oleh Motu Poso dan tuan tanah John sari dan Hubertus Dua pada tahun 1967 (Agus Mahur dalam Clark, 2004: 75).

Ketujuh, konflik HGU di Nangahale yang melibatkan PT Kris Rama (akronim dari Kristus Raja Maumere, Perusahaan milik Keuskupan Maumere) dan Masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut. Berdasarkan cerita lisan, pada awalnya wilayah tersebut dirampas oleh Belanda sewaktu menjajah Indonesia.

Pada 1912, di bawah hukum UU Agraria tahun 1870, sebuah perusahaan Belanda meneken kontrak untuk mengembangkan tanaman kapas di areal seluas 1.438 hektare tersebut. Penguasa lokal (Raja Tana’ Ai bernama Raja Nai Roa) dengan bantuan Pemerintah Belanda kemudian mengusir Soge dan Goban. Diketahui, kerajaan itu dibentuk oleh Belanda pada tahun 1902 untuk menyeimbangkan pengaruh Raja Sikka (Prior, 2015).

Hingga pada tahun 1926, Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil (Otoritas Gereja Katolik pada zaman kolonial Belanda yang wilayahnya mencakup Flores), membelinya seharga 22.500 golden lalu mengembangkan perkebunan kelapa (argumen dari Perwakilan Keuskupan Maumere, Pater Anton Jemaru, SVD dalam pertemuan yang dipimpin oleh Bupati Sikka Yoseph Ansar Rera, didampingi Ketua DPRD Sikka Rafael Raga, dan Perwakilan BPN, Elkana, Jumat (22/8/2004) sebagaimana yang diberitakan oleh SKHU Flores Pos edisi 27 Agustus 2014)

Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 5 Januari 1989, wilayah itu diurus Keuskupan Agung Ende melalui PT Perkebunan Kelapa DIAG. Perusahaan ini mendapat status legal HGU dari pemerintah Orde Baru selama 25 tahun, dari BPN sampai tanggal 31 Desember 2013. Paska pembentukan Keuskupan Maumere pada tahun 2005, pengelolaan lahan ini dialihkan ke keuskupan melalui PT Kristus Raja Maumere.

Pater Anton menegaskan, sebelum berakhir masa kontrak kerja pada 31 Desember 2013 lalu, Keuskupan Maumere melalui PT Krisrama telah mengajukan proposal perpanjangan pengelolaan. Dengan demikian, sesuai klausul perjanjian, maka hingga saat ini, tanah HGU berada di bawah kewenangan Keuskupan Maumere melalui PT Krisrama.

Argumen serupa juga muncul dari Direktur PT Krisrama, Romo Epi Rimo yang menyebut bahwa pihaknya mendapatkan hak untuk mengelola tanah eks hak guna usaha di Desa Nangahale sebanyak 325 hektare yang diberikan oleh negara kepada PT Krisrama yang ditandai dengan penerbitan sepuluh sertifikat tanah eks hak guna usaha. Ia menyebutkan, luas lahan eks HGU Nangahale sebanyak 868,73 hektar dan yang dikembalikan sebanyak 543 hektar, dari jumlah itu PT Kris Rama mendapatkan 325 hektar yang diberikan Negara untuk dikelola (kupang.tribunnews.com, 22 Januari 2025).

Sengketa Lahan: Dua Model Pemaknaan

Cerita-cerita di atas menunjukkan bahwa tidak ada pertarungan yang paling mengguncang daripada pertarungan antarmakna. Segala bentuk konflik apa pun, selalu lahir dari upaya merebut dan merumuskan makna melalui artikulasi politik. Dalam konteks ini, posisi masing-masing subjek sangat bergantung dari kestabilan atau kerapuhan makna (baca: wacana). Sebuah wacana menjadi hegemonik pada satu periode tertentu disebabkan oleh dukungan aparatus politik baik itu negara, aparat, LSM, dan organisasi kelompok kepentingan.

Dalam kasus sengketa di Nangahale, masyarakat lokal cenderung memosisikan diri sebagai subjek adat dengan artikulasi hak ulayat, terutama dalam slogan, tana Amin Moret Amin (tanah kami adalah kehidupan kami). Klaim tersebut didukung oleh aparatus politik seperti kelompok masyarakat adat, tokoh gereja, jaringan pemuda Katolik dan NGO.

Sementara itu, artikulasi politik yang dihasilkan berhubungan dengan sejarah lisan terkait makam leluhur, altar upacara, penanda batas tanah ritual, serta tanda-tanda bekas kampung Liri Watu, yang semuanya ditemukan dalam kawasan perkebunan sebagai basis legitimasi subjek masyarakat adat.

Diketahui, ritual tersebut sempat dilarang Gereja bersamaan dengan reformasi politik paska-1998 sebagai bentuk artikulasi dari wacana dominan Orde Baru tentang pembersihan terhadap komunisme dan kewajiban memeluk agama.

Sementara itu, pihak lain memosisikan diri sebagai subjek legal-formal melalui artikulasi hukum positif baik terkait status kepemilikan lahan maupun konstruksi hukum yang melandasi sekaligus melegitimasi aktivitas pengelolaan lahan.

Meskipun, kita tahu betul bahwa istilah ‘hutan negara’ berlaku untuk semua hutan yang ‘tidak punya pemilik’. Namun hampir semua lahan di Flores, termasuk wilayah hutan pegunungan, adalah milik masyarakat adat. Artinya, penetapan hutan negara oleh Pemda mencakup tanah adat.

Persis di sinilah muncul ketidakstabilan makna melalui upaya mengoreksi sekaligus mempertanyakan status masyarakat adat. Disebut demikian karena hingga saat ini eksistensi masyarakat adat belum diakui oleh negara dan sulit dijadikan sebagai sarana perjuangan dalam koridor hukum positif. Kecuali Pemda Sikka misalnya, mencanangkan Perda dan Perbup terkait masyarakat adat.

Ketiadaan status legal inilah yang membuat klaim tentang masyarakat adat bersifat ambivalen dan mudah dimanipulasi. Mengutip Klinken (2002), tidak heran jika mereka dipandang sebagai kelompok yang tidak lebih dari sekadar memanipulasi adat untuk perampasan tanah dari perspektif politik etnis kaum elite.

Ketidakstabilan makna juga dapat ditemukan sebagai konsekuensi logis dari penetrasi neoliberalisme melalui privatisasi dan pertumbuhan ekonomi yang membuat tanah mudah dikomodifikasi. Sengketa tanah semakin meningkat dengan munculnya intervensi pihak luar yang memiliki kepentingan komersial dalam memperoleh tanah.

Akibatnya, posisi subjek dalam masyarakat adat menjadi cair, tidak konsolidatif, dan tak jarang beralih ke wacana dominan legal-formal (entah karena politik divide and rule melalui aparatus maupun melalui konsensus dalam wacana dominan). Bagian ini juga membuat sebagian besar masyarakat berada dalam posisi gamang karena jika mereka mengajukan gugatan ke PN Sikka misalnya, mereka harus berhadapan dengan keuskupan, otoritas keagamaan mereka sendiri.

Apa yang Harus Dilakukan?

Belum ada cerita bahwa ada kepemimpinan di dalam Gereja Katolik di Flores yang menjadi leading sector dalam reforma agraria. Sebaliknya, institusi gereja di Flores selalu membela dirinya dengan cara menafsirkan hukum positif secara sempit sambil kadang kala meminta bantuan aparat keamanan untuk menegakkan klaimnya (Prior, 2015).

Politik tata tertib dengan menjadikan hukum sebagai panglima seperti itu tentu saja mencerminkan cara bekerjanya ideologi neoliberalisme. Pihak yang tak patuh pada ketetapan hukum akan dicap sebagai antek asing, pendatang, tukang rusuh dan secepat mungkin perlu diatasi agar tidak menghambat investasi demi mendukung pertumbuhan ekonomi.

Padahal, jika ingin ada pembaharuan struktural, sengketa tanah merupakan momentum penting bagi gereja untuk merevisi relasinya dengan negara dan pasar.

John Prior menulis, selama bertahun-tahun, para uskup di Flores telah bekerja sama dengan pemerintah memelopori modernisasi melalui pendidikan dan pembangunan ekonomi.

Akibatnya, institusi gereja di Flores belum bisa melepaskan diri dari sejarah panjang selama 150 tahun “kemitraan” dengan negara, apalagi memosisikan dirinya sebagai gerakan pembaharu budaya dan reformasi politik (Prior, 2013). Artinya, dari segi struktural, sudah saatnya gereja merevisi teologi pastoral untuk mereartikulasi hubungannya dengan negara, pasar, dan warga negara sebagai umat.

Hilangnya percakapan terkait politik kewargaan dalam berbagai jenis kasus sengketa tanah membenarkan apa yang digelisahkan oleh Zizek sebagai gejala kulturisasi politik atau apa yang dikhawatirkan Wendy Brown dalam “Undoing the Demos” sebagai cara neoliberalisme membatalkan demokrasi sebagai kekuatan penyeimbang bagi kapitalisme dengan membubarkan apa yang kita sebut sebagai “warga negara”.

Hanya dengan merevisi relasinya dengan negara, Gereja Katolik dapat membangun dialog yang setara, menata kembali unit ekonominya agar selaras dengan etika bisnis, dan mereformulasikan kembali teologi yang kontekstual dengan kondisi hidup umatnya yang berubah serba cepat.

Itu berarti, pokok soal bukan hanya terbatas pada terdistribusinya tanah melainkan distribusi pengakuan (rekognisi) sekaligus pemulihan hak-hak masyarakat adat. Disebut demikian karena sengketa lahan adalah kontestasi pemaknaan. Sebab, itulah asal dan tujuan hidup semua manusia.

*Alumnus STFK Ledalero, Maumere

spot_img
TERKINI
BACA JUGA