Lepas Ketergantungan dari Pupuk Kimia, Petani di Desa Satar Padut Terapkan Pertanian Organik

Ia memulai menanam sorgum sejak 2021 lalu di atas lahan miliknya seluas satu hektare.

Borong, Ekorantt.com – Para petani di Desa Satar Padut, Kecamatan Lamba Leda Utara, Kabupaten Manggarai Timur, sudah sejak lama menghilangkan ketergantungan pada pupuk kimia untuk pertanian mereka.

“Kami menggunakan sistem pertanian organik,” kata Hendrik Laga, seorang petani asal desa itu kepada Ekora NTT,  Selasa, 18 Februari 2025.

Hendrik adalah seorang petani yang konsen membudidayakan tanaman sorgum. Ia memulai menanam sorgum sejak 2021 lalu di atas lahan miliknya seluas satu hektare.

Sejak awal membudidayakan tanam sorgum, ia hanya mengandalkan pupuk organik. Dia beralasan, sekarang ini banyak penyakit yang bermuncul di tengah masyarakat akibat mengonsumsi makanan yang berbahan kimia.

Ramah terhadap lingkungan juga menjadi alasannya menerapkan sistem pertanian organik.

“Hasil panen juga banyak,” sebutnya.

Tanaman sorgum memang berbeda dengan jenis tanaman lain. Sekali tanam, petani dapat memanennya tiga hingga empat kali. Hendrik mengaku tiga kali panen sekali tanam. Sekali panen bisa menghasilkan satu ton lebih.

Namun, tantangan yang dialaminya dengan petani sorgum lain di wilayah itu adalah serangan hama burung.

Saban hari mereka harus menghabiskan waktu di kebun untuk menjaga tanaman dari serangan  burung pipit yang datang bergerombol.

“Biasanya ketika sudah berbuah maka saya harus setiap hari menjaga di kebun,” katanya.

Kelompok tani, Kehati, Ayo Indonesia, Dinas Pertanian Kabupaten Manggarai Timur, dan perwakilan Keuskupan Ruteng dalam kegiatan FGD Arah Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Kabupaten Manggarai Timur yang berlangsung di Aula Paroki St. Petrus Paulus Dampek, Selasa, 18 Februari 2025 (Foto: Adeputra Moses/Ekora NTT)

Dorong Konsep Pertanian Berkelanjutan

Pemerintah daerah terus mendorong konsep pertanian berkelanjutan yang mudah dilakukan para petani.

Pendekatan tersebut dilakukan melalui pengembangan sorgum, kata Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Manggarai Timur, John Sentis.

“Hal ini tidak hanya sebuah konsep dan gagasan, tapi itu bisa dilaksanakan dan dipahami oleh masyarakat petani yang ada di wilayah ini.”

John berkata, berbagai jenis komoditas seperti padi, jagung, dan sorgum di wilayah itu menjadi modal dasar yang selanjutnya tinggal dioptimalkan dengan baik.

“Berapa tahun ini kita sudah menggerakkan sorgum untuk mencari salah satu komoditi penambahan penghasilan atau untuk konsumsi masyarakat,” terangnya.

Sorgum, kata dia, tanaman yang mudah beradaptasi dengan cuaca kekeringan, juga tahan dengan cuaca hujan yang berkepanjangan bila dibandingkan dengan tanaman lain.

Maksud dari budi daya tanaman tersebut yaitu melalui pendekatan sistem pertanian organik tanpa menggunakan bahan kimia.

Untuk Desa Satar Padut, terdapat dua kelompok tani telah mendapatkan sertifikasi organik oleh Lembaga Sertifikasi Organik (LSO), lembaga yang bertugas melakukan sertifikasi organic bagi produsen pangan dan produk pertanian organik.

“Soal efektif atau tidak, ini adalah sebuah konsep yang mau kita capai. Artinya, organik menggunakan low input tidak menggunakan bahan-bahan kimia, lebih mengedepankan sistem budi daya yang rendah biaya maupun low input, walaupun dalam skala kecil,” jelas Sentis.

Namun yang paling pentingnya lagi, lanjut dia, “mau menghasilkan produk-produk pertanian yang organik dan bebas dari residu kimia.”

Tapi, tantangan sekarang bagi petani sorgum adalah membutuhkan kepastian pasar. Beruntungnya sejauh ini mereka menjualnya ke koperasi produsen.

“Meyakinkan petani ini butuh proses,” ucapnya.

Sentis bilang, yang paling utamanya juga bagaimana sorgum menjadikan pangan keluarga. Sebab tanaman ini memiliki banyak kelebihan, baik dari gizi dan lain sebagainya.

“Biar kita dorong dulu untuk pemenuhan konsumsi di rumah tangga,” katanya.

Hendrik Laga, seorang petani sorgum di Desa Satar Padut, Kecamatan Lamba Leda Utara, yang sudah lama membudidaya pertanian organik (Foto: Adeputra Moses/Ekora NTT)

Adaptasi Perubahan Iklim

Penerapan sistem budi daya pertanian organik bagi para petani memberikan kemanfaatan terhadap adaptasi perubahan iklim.

Demikian kata Direktur Aliansi Organis Indonesia (AOI) Sukmi Alkausar ketika berbicara dengan Ekora NTT. 

AOI merupakan organisasi masyarakat sipil yang bersifat nirlaba dan independen, berbasis di Bogor, Provinsi Jawa Barat.

“Selain itu dapat mengurangi ketergantungan terhadap input pabrikan (benih, pupuk, dan pestisida) dan menjaga keberlanjutan usaha pertanian,” jelasnya.

Sukmi berkata, tanah semakin subur dan lingkungan tidak tercemar.

Hal baiknya juga petani berdaulat dengan mengurangi biaya produksi, sekaligus meningkatkan pendapatan. Kemudian dapat menjaga kelestarian lingkungan dan keberlangsungan keanekaragaman hayati.

“Petani dan keluarga sehat dengan mengonsumsi produk yang terbebas dari cemaran bahan kimia sintetis,” ucap Sukmi.

Dua kelompok tani di wilayah Satar Padut, di antaranya kelompok Damer dan Maring Woja, sebagai salah satu kelompok yang sudah menerapkan praktik pertanian organik, juga telah mendapatkan sertifikasi organik dari LSO.

“Hal ini membuktikan bahwa budidaya sorgum yang sudah menjadi budaya masyarakat di Manggarai Timur, khususnya di Lamba Leda Utara sejak dahulu jauh dari intervensi asupan kimia sintetis, sehingga dapat dikatakan untuk sorgum yang dibudidaya secara turun temurun sudah menerapkan prinsip-prinsip organik dalam budidayanya,” kata Sukmi.

Menurutnya, selama ini petani di Lamba Leda Utara menjadikan hasil panen sebelumnya sebagai modal petani untuk musim selanjutnya.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan lembaganya, 70 persen menggunakan hasil dari panen sebelumnya sebagai modal usaha tani berikutnya, sisanya secara merata masing-masing 15 persen berasal dari modal pinjaman bank dan tengkulak.

Akan tetapi, pemasaran sorgum petani di wilayah tersebut sebagian besar masih ke tengkulak (60 persen) dan langsung kepada pembeli (27 persen), hanya sedikit yang menjalankan pemasaran bersama melalui koperasi.

Kendala bagi petani, katanya, kapasitas dan kemampuan petani terkait pemahaman standar organik dan penyiapan input produksi organik.

“Selain itu kelembagaan produksi organik tidak berjalan dengan baik, akses pasar produk ke pasar organik, dan dukungan stakeholder dalam mengembangkan ekosistem organik,” sebut Sukmi.

TERKINI
BACA JUGA