Mengenang Duka di Dalam Taman

Yogyakarta, Ekorantt.com – “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal di lingkungan baik dan sehat.”

Mata saya langsung terpana pada tulisan itu dalam sebuah flyer kecil yang bergantung di atas langit-langit pameran di kawasan Jogja National Museum, Kota Yogyakarta. Tulisan itu dilengkapi dengan karikatur hitam putih tiga orang pemuda di tanah lapang(an); yang satu sedang menendang bola, sementara duanya memperhatikan sosok si penendang seperti lagi jadi wasit atau mungkin saja penonton lepas. Sepintas kilas, flyer itu tampaknya membicarakan urusan ekologis ihwal ruang untuk hidup dan bertumbuh kembang, dan pada tataran lain menyampaikan perkara hidup adil dan makmur secara rohani maupun jasmani.

Salah satu flyer yang digantung dalam pameran Biennale Jogja XV 2019.

Tapi, bukan soal flyer itu yang hendak saya bicarakan lebih jauh, melainkan instalasi pameran milik perupa Moelyono berjudul “Pembangunan Taman Monumen Marsinah” sebagai bagian dari Biennale Jogja XV yang terhelat sejak tanggal 20 Oktober lalu dan akan berakhir pada 30 November 2019 mendatang.

Dalam pikiran saya taman adalah sesuatu yang indah, penuh bunga dan tentu menjadi ruang orang menemukan bahagia. Tapi, Moelyono sepertinya membalikkan itu. Toh yang ia hadirkan adalah taman Marsinah, seorang buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur, yang juga merupakan aktivis berlidah tajam dan organisator terpelajar, tapi mati mengenaskan di usia yang teramat muda, 24 tahun, karena berjuang membela hak-hak kaumnya. Peristiwa itu terjadi pada 8 Mei 1993 dan hasil visum et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah.

Moelyono membuat instalasinya dengan papan putih berundak-undak laiknya monumen pada umumnya, dan pada undakan-undakan itu terpacak beberapa bingkai kecil, misalnya karangan bunga bertuliskan “Marsinah” juga lukisan wajah Marsinah di atas tripleks dengan kata-kata “Marsinah, Mati Karena Benar”.

Lantas, di sekeliling monumen itu berdiri seng-seng yang mengapit display manusia karung dengan anggota tubuh tak kelihatan karena hanya kaki yang tampak, juga beberapa kliping berita dan lukisan-lukisan kecil, seperti tangan terkepal dan beberapa tulisan lainnya.

Tampak depan instalasi “Pembangunan Monumen Taman Marsinah” karya Moelyono di Biennale Jogja XV 2019.

Tampakan instalasi ini memang dibuat tanpa balutan warna macam-macam. Tak ada yang benar-benar mencolok dan semuanya mengandung komposisi muram. Tak ada jiwa heroisme di situ, begitulah anggapan pendek saya, sebab saya kira berbicara tentang aktivis(me) dan derap langkah perjuangan, apalagi pada era kebebasan berekspresi sekarang (meskipun gagasan ini sebetulnya mudah ditinjau kembali), harusnya menyajikan simbol-simbol perlawanan yang maknanya menggelegar.

Tapi, barangkali sesuatu yang muram atapun getir seyogianya dapat juga membicarakan banyak hal. Bukan hanya soal narasi perlawanan, melainkan ingatan kolektif bahwa pernah ada lubang kelam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Moelyono mungkin ingin menunjukkan lubang itu secara datar tanpa berlarut-larut dengan nostalgia kesedihan juga terlalu bersemangat untuk sekadar memompa kata “Lawan”.

Karyanya membicarakan sesuatu sebagaimana adanya. Bahwasanya ada aktivis buruh bernama Marsinah yang meninggal semasa rezim Orde Baru  dan dia mati karena benar dan ada karangan bunga sebagai simbol kenangan atas itu. Risalah getir tapi datar itu juga tampak dalam perwujudan manusia karung yang membicarakan orang-orang mati tapi identitasnya tak pernah diketahui.

Dalam pertanggungjawabannya sebagaimana tertuliskan dalam laman media sosial Bienalle Jogja, perupa Moelyono menyampaikan bahwa karya dia itu memang hendak menyoroti dua hal. Pertama, Marsinah sebagai simbol perjuangan yang tidak pernah selesai; kedua, mengingat ulang bagaimana rezim Orde Baru memperlakukan Marsinah secara tidak manusiawi; dibunuh dengan cara yang sangat kejam.

Lukisan Marsinah dan beberapa perangkat tulisan lain yang membingkai pameran “Pembangunan Monumen Taman Marsinah”.

Di taman itu, tak ada bunga-bunga yang bermekaran. Tak ada kata-kata “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal di lingkungan baik dan sehat.”

Di taman itu, hanya ada seonggok duka tentang anak manusia yang pernah mati di tangan negaranya sendiri dan nasibnya terkatung-katung hingga sekarang ini.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA