Kupang, Ekorantt.com – Sebanyak 84 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Formasi Tahun 2024 lingkup Pemerintah Kota Kupang mengikuti masa orientasi yang berlangsung pada 14–18 Juli 2025.
Kegiatan ini digelar di Aula Rumah Jabatan Wali Kota Kupang dan dibuka secara langsung oleh Wali Kota Kupang, dr. Christian Widodo.
Christian menekankan lima standar utama yang harus dimiliki oleh setiap CPNS agar mampu mengabdi dengan baik sebagai aparatur sipil negara.
Pertama, fokus. Menurut Christian, setiap CPNS harus dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan dengan fokus hingga tuntas.
“Kerja harus fokus. Kalau ada tugas dari dinas untuk tangani program tertentu maka harus kerjakan sampai tuntas,” ujarnya.
Kedua, adaptif. Kemampuan beradaptasi, terutama terhadap perkembangan teknologi, menjadi kompetensi kunci di era sekarang.
“Semua teknologi yang bisa permudah kerja di dinas harus bisa kuasai,” ujarnya.
Ketiga, inovatif. Ia menekankan pentingnya inovasi dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan efisien, serta dalam menghadapi tantangan zaman.
“Tidak boleh sama dengan yang lain. Harus bisa berbeda. Dimanapun harus jadi yang berbeda supaya kerja kalian itu berdampak,” tegasnya.
Keempat, loyalitas. Sebagai abdi negara, setiap CPNS dituntut untuk memiliki komitmen tinggi terhadap tugas dan tanggung jawab serta setia pada prinsip negara.
“ASN harus bekerja di bawah satu komando. Jangan program A bikinnya B. Loyalitas tidak bisa ditawar,” katanya.
Kelima, konsisten. Konsistensi dalam menjalankan tugas, mematuhi aturan, dan memberikan pelayanan terbaik menjadi penentu kepercayaan masyarakat.
“Kalau komitmen di awal komitmen mau jalan sama-sama harus konsisten sampai akhir,” tuturnya.
Sementara itu, Sekretaris BK2KP Kota Kupang yang juga menjabat sebagai Ketua Panitia Pelaksana, Eirene Margaretha menjelaskan, kegiatan orientasi ini merupakan bagian dari proses pengenalan lingkungan kerja bagi para CPNS.
“Orientasi ini dilakukan untuk membekali CPNS dengan pengetahuan dasar dan tugas di unit kerja masing-masing,” tutupnya.
Bajawa, Ekorantt.com – Badan Permbuatan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Ngada menargetkan draf rancangan peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat akan rampung dan bakal disahkan menjadi peraturan daerah (Perda) tahun ini.
“Kita target tahun ini sudah disahkan menjadi perda,” kata Ketua Bapemperda DPRD Ngada, Johanes Don Bosco Ponong di Bajawa, Sabtu, 12 Juli 2025.
Namun demikian, rancangan perda yang sebelumnya mengatur secara spesifik tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Kabupaten Ngada diperluas menjadi penataan, pemberdayaan masyarakat desa, kelurahan dan masyarakat hukum adat.
“Karena prinsip sebuah peraturan daerah itu mutatis mutandis yang artinya tidak boleh berbenturan dengan peraturan yang lebih tinggi,” kata Bosco.
Ia menjelaskan pada umumnya rancangan perda tersebut mengatur lembaga kemasyarakatan yang ada di desa dan kelurahan agar mendapat perlindungan secara hukum, termasuk RW, RT, dan lembaga pemangku adat (LPA).
Di dalamnya, kata dia, diatur secara spesifik tentang budaya terhadap tiga etnis di Ngada yakni Ngadhu Bhaga (Bajawa), So’a, dan Riung.
“Kita juga mengatur pemilihan ketua LPA di desa sehingga kedepan pemilihan ketua LPA bukan karena unsur suka dan tidak suka kepada desa, termasuk kepentingan politik kepada desa,” ujarnya.
Bapemperda juga memasukan jumlah suku yang ada setiap desa. Hal itu bermaksud bila ada persoalan hukum di pengadilan, peraturan itu dapat menjadi rujukan hakim dalam mengambil sebuah keputusan.
“Dengan ini kepala suku yang akan memberikan kesaksian di pengadilan, sudah dilegitimasi secara hukum yakni Perda ini,” jelas Bosco.
Dalam pembentukan Perda, Bosco mengaku sudah melakukan pertemuan di 12 kecamatan yang ada di Ngada dengan peserta, mulai dari LPA, kepala suku, dan tokoh masyarakat.
“Karena dalam pembentukan perda, masyarakat menjadi narasumber utama. Sementara kita hanya sebagai fasilitator,” ujar Bosco.
Bosco kembali menegaskan bawa secara kelembagaan, pihaknya berkomitmen agar ranperda itu dapat disahkan menjadi perda pada tahun ini.
Maumere, Ekorantt.com – KSP Kopdit Pintu Air mendorong 400 ribu anggotanya untuk mengambil manfaat jaminan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan.
Hal tersebut disampaikan Ketua Pengurus KSP Kopdit Pintu Air, Yakobus Jano saat BPJS Ketenagakerjaan Cabang Maumere memberikan bimbingan teknis kepada pengurus cabang Kopdit Pintu Air se-kabupaten Sikka, Jumat 11 Juli 2025.
Dalam kegiatan yang berlangsung di Aula Kantor Pusat KSP Kopdit Pintu Air Rotat tersebut, Jano mengatakan BPJS Ketenagakerjaan berperan penting dalam menunjang kesejahteraan sosial lewat jaminan kerja.
“BPJS Ketenagakerjaan melengkapi peran koperasi membantu meningkatkan kesejahteraan anggota. Dengan keuntungan yang mereka tawarkan, anggota bisa bekerja dengan fokus,” kata Jano saat membuka Bimtek.
Akan tetapi, ia menyayangkan masih sedikitnya anggota koperasi tersebut yang bergabung dengan BPJS Ketenagakerjaan. Sejak terjalin kerja sama pada September 2024, baru sekitar 1.276 anggota yang bergabung.
“Angka ini masih sangat kecil dibandingkan total anggota kami. Harapan kami, seluruh anggota Kopdit Pintu Air bisa diproteksi secepat mungkin,” ujar Jano.
Ia menegaskan, Pintu Air memfasilitasi anggota untuk menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan.
Jano mendorong segenap pengurus cabang untuk semakin giat mensosialisasikan manfaatnya kepada segenap anggota.
Skemanya, setiap tahunnya anggota membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan sebesar 201.000 yang bisa diambil dari sisa hasil usaha (SHU) ataupun secara mandiri oleh para anggota.
Manfaat BPJS Ketenagakerjaan
Kehadiran BPJS Ketenagakerjaan sangat bermanfaat untuk anggota Kopdit Pintu Air dan juga masyarakat luas.
“Anggota akan mendapatkan perlindungan dari dua program utama BPJS Ketenagakerjaan, yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM),” kata Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan Cabang Maumere, Ade Aryan Manala Tandi.
Untuk anggota KSP Kopdit Pintu Air masuk kategori BPJS Ketenagakerjaan non penerima upah dengan prioritas dua tawaran manfaat tersebut, Kata Ade.
Program JKK memberikan perlindungan menyeluruh dari risiko kecelakaan kerja dengan manfaat meliputi pembiayaan penuh untuk pengobatan, perawatan medis, hingga rehabilitasi tanpa batas biaya selama dokter menyatakan bahwa anggota bersangkutan masih dalam perawatan.
Anggota juga mendapatkan manfaat Santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) berupa penggantian sebagian upah, dengan besaran hingga Rp1 juta per bulan selama masa pemulihan.
“Bagi anggota yang mengalami kecelakaan kerja, seluruh biaya medis akan ditanggung BPJS tanpa batas. Kami ingin memastikan anggota mendapatkan layanan terbaik hingga pulih dan kembali bekerja,” tegas Ade.
Sedangkan JK akan diperoleh ahliwaris anggota apabila terjadi kematian akibat kecelakaan kerja, dengan jenis santunan berupa santunan tunai sekaligus, santunan berkala selama 24 bulan, biaya pemakaman, serta beasiswa pendidikan bagi anak peserta yang memenuhi syarat.
“Kita adakan Bimtek ini agar seluruh pengurus bisa memahami dengan baik manfaat BPJS Ketenagakerjaan dan meneruskan informasi tersebut kepada anggota. Karena target kita semua anggota Kopdit Pintu Air dapat bergabung dan mengambil manfaatnya,” kata Ade.
Ia berharap seluruh anggota Kopdit Pintu Air bergabung dengan BPJS Ketenagakerjaan sebagai jaminan agar mereka dapat fokus bekerja, sekaligus untuk menjaga-jaga seandainya terjadi kecelakaan saat bekerja.
Ruteng, Ekorantt.com– Warga dari berbagai wilayah di Flores dan Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), kembali angkat suara terkait proyek panas bumi yang dinilai merusak ruang hidup mereka.
Pada Jumat, 11 Juli 2025, mereka menggelar konferensi pers melalui Zoom, disiarkan langsung oleh kanal YouTube JATAM, sebagai respons terhadap klaim tim satuan tugas bentukan Gubernur NTT, Melki Laka Lena, yang menyebut mayoritas masyarakat mendukung proyek tersebut.
Warga dari Wae Sano (Manggarai Barat), Poco Leok (Manggarai), Mataloko (Ngada), Sokoria (Ende), dan Atakore (Lembata) menyampaikan fakta berbeda dari yang dilaporkan oleh pemerintah.
Yoseph Erwin, warga Wae Sano, Manggarai Barat menyatakan bahwa laporan tersebut tidak mencerminkan kenyataan. Ia menegaskan bahwa masyarakat tidak pernah memberikan persetujuan terhadap proyek tersebut.
“Data itu kita tidak tahu ambil dari mana,” kata Erwin.
Ia menambahkan, hingga kini, warga tetap menolak eksplorasi panas bumi di wilayah mereka.
“Kami konsisten menolak eksplorasi geotermal di Wae Sano,” lanjutnya.
Menurut Erwin, persoalan utama bukan teknologi pengeboran, melainkan dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat dan lingkungan.
“Kami memprotes kehadiran mata bor yang menghancurkan kehidupan warga dan kampung kami di Wae Sano,” ujarnya.
Lebih dari sekadar wilayah tinggal, alam bagi masyarakat adat Wae Sano adalah bagian dari kosmos yang suci.
“Jika perusahaan tetap memaksa bor, maka warga Wae Sano akan punah dan kebudayaannya akan hilang. Panas bumi akan menjadi alat pemusnahan dan membunuh kehidupan dan kesatuan alam kami,” kata Erwin.
Ia juga mengungkapkan bahwa proyek ini bukan sekadar proyek energi, tetapi juga bentuk perampasan tanah adat.
“Mereka datang dengan peta konsesi yang mencaplok ladang, kebun, mata air, dan ruang hidup kami,” katanya.
Kondisi Mengerikan di Mataloko dan Sokoria
Antonius Anu dari Mataloko menggambarkan kondisi yang semakin memburuk. Uap panas dan lumpur mulai menyembur di kebun warga, menyebar hingga dua ribu meter persegi.
“Bau belerang menguasai udara. Setiap dini hari, kami menghirup aroma belerang dalam setiap tarikan napas,” keluhnya.
Masalah kesehatan pun muncul, terutama penyakit kulit yang banyak menyerang anak-anak. Namun, pihak proyek menyatakan situasi masih terkendali.
“Tetapi laporan tim teknis menyebut semuanya terkendali,” ujar Anu dengan nada sinis.
Di desa Wogo, gangguan geotermal ditandai dengan suara mendesis dari dalam tanah, dan sumber air pun mulai dikeruk.
“Sungai kami, Sungai Tiwu Bala di Ladja, telah ditanami batang-batang pipa besi yang kemudian menyedot dan mengalirkan airnya untuk mencoblos perut bumi,” ungkap Anu.
Sementara itu, Yosan dari Sokoria menyampaikan kerusakan ekosistem air dan sulitnya akses air bersih bagi masyarakat.
“Air yang semestinya kami dapatkan dari alam, kini kami harus beli dan berebut tangki air, bahkan untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari,” katanya.
Penurunan produktivitas pertanian juga menjadi persoalan besar.
“Kami hanya memanen kerugian,” lanjut Yosan.
Warga dari berbagai lokasi proyek industri ekstraktif di Indonesia menyatakan deklarasi Hari Anti Tambang (HATAM) 2025 di Kemah Tabor-Mataloko, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur pada Kamis, 29 Mei 2025 (Foto: Adeputra Moses/Ekora NTT)
Kekerasan dan Intimidasi
Di Poco Leok, Manggarai, situasi lebih mengkhawatirkan. Kekerasan fisik dilaporkan terjadi terhadap warga yang mempertahankan hak atas tanah.
“17 orang lainnya dikriminalisasi,” tutur Tedy Sukardin. Bahkan, media yang meliput juga turut diintimidasi.
Sukardin menambahkan, manipulasi informasi digunakan untuk membungkam penolakan warga.
“Bupati Manggarai Hery Nabit, alih-alih mendengar suara kami, justru memobilisasi massa tandingan untuk mengintimidasi kami,” katanya.
Andreas dari Atakore menyatakan, masyarakat tak pernah dilibatkan dalam proses konsultasi dan tidak memiliki akses terhadap dokumen resmi proyek.
“Kami tidak tahu apa isi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), tak diberi akses terhadap dokumen,” ungkapnya.
Ia menyoroti upaya pecah-belah komunitas oleh pihak perusahaan dan pemerintah melalui janji-janji manis dan tekanan politik.
“Ketika komunitas terpecah, perusahaan dan pemerintah merangsek masuk untuk membakar konflik. Saat konflik merekah, mereka buru-buru masuk, bukan untuk menyelesaikan secara tulus, tetapi untuk memberi sanksi kepada warga yang masih gigih menolak,” ujarnya.
Warga juga mengkritik sikap Gubernur NTT yang dinilai pasif dan menyerahkan masalah ini kepada tim teknis tanpa mendengarkan langsung keluhan masyarakat.
“Mereka (tim teknis) tidak pernah tinggal di tengah-tengah warga untuk mencicipi rasanya menjadi warga yang harus menghirup aroma belerang nyaris setiap detik,” jelas Andreas.
Seruan Warga: Hentikan Proyek, Pulihkan Kehidupan
Dalam konferensi ini, warga yang terdampak menyampaikan seruan tegas mereka: pertama, hentikan seluruh aktivitas proyek geotermal di Nusa Tenggara Timur.
Kedua, batalkan seluruh izin proyek geotermal di wilayah yang tidak memiliki persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC) dari masyarakat.
Ketiga, tarik semua aparat militer dan polisi dari wilayah konsesi panas bumi.
Keempat, bebaskan seluruh warga yang dikriminalisasi karena mempertahankan tanah dan airnya.
Kelima, pulihkan lahan, air, dan ruang hidup yang telah rusak akibat aktivitas eksplorasi maupun pembukaan akses.
Keenam, lakukan audit lingkungan independen dengan partisipasi penuh warga.
Ketujuh, hentikan pemecahbelahan komunitas melalui manipulasi sosialisasi, janji CSR, dan tekanan politik.
Kedelapan, tempatkan perempuan sebagai subjek dalam seluruh proses keputusan dan pemulihan.
Kesembilan, adili seluruh tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi selama operasi proyek geotermal di Flores dan Lembata.
Maria Suryanti Jun, perempuan dari Poco Leok menambahkan bahwa perempuan dan anak-anak juga merasakan dampak besar dari proyek ini.
“Kami menolak bukan karena kebencian, tapi karena cinta pada tanah, air, dan kehidupan kami,” tegasnya.
Ende, Ekorantt.com – Bank NTT Cabang Ende mengadakan aksi donor darah dan pengobatan gratis untuk masyarakat di halaman kantor tersebut, Kelurahan Kota Ratu pada Sabtu, 12 Juli 2025.
Mereka berhasil mengumpulkan 31 kantong darah lalu disalurkan ke Palang Merah Indonesia (PMI).
“Ini kita laksanakan dalam rangka menyongsong hari ulang tahun ke-63 Bank NTT pada tanggal 17 Juli nanti,” tutur Muflih Kamore selaku Wakil Kepala Bank NTT Cabang Ende.
Ia mengatakan Bank NTT tidak hanya bergerak di lembaga keuangan semata tetapi juga peduli terhadap persoalan kemanusiaan, terutama pada segi kesehatan.
Dalam aksi tersebut, pihaknya melibatkan tenaga kesehatan dari Puskesmas Kota Ratu dan PMI Kabupaten Ende.
“Terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Ende yang sudah membantu kami dalam menyukseskan kegiatan donor darah dan pengobatan gratis,” terangnya.
Kegiatan tersebut dihadiri Bupati Ende Yosef Benediktus Badeoda dan Wakil Bupati Ende Dominikus Minggu Mere.
Bupati Yosef mengapresiasi Bank NTT atas kolaborasi dan kerja samanya dengan dalam membangun ekonomi di daerah.
“Terima kasih banyak kepada Bank NTT yang selalu siap membantu ketika ada kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Ende,” ujarnya.
Ia berkata, kegiatan donor darah dan pengobatan gratis sangat bermanfaat bagi masyarakat. Setetes darah dapat menyelamatkan jiwa manusia, kata dia.
“Ketika kita mendonorkan darah artinya kita sudah menyelamatkan orang lain,”ujar Bupati Yosef.
Kupang, Ekorantt.com– Universitas Nusa Cendana (Undana) kembali menunjukkan komitmennya dalam menjawab persoalan pembangunan daerah. Kali ini dengan menggandeng Solar Chapter, sebuah LSM yang fokus pada penyediaan air bersih berbasis teknologi dan pemberdayaan pemuda di wilayah tertinggal, termasuk Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pada Kamis, 10 Juli 2025, pertemuan antara pihak Undana dan Solar Chapter berlangsung di Gedung ICT Centre. Audiensi ini bukan sekadar ajang temu sapa, tetapi menjadi tonggak awal dari sebuah kolaborasi strategis antara dunia pendidikan dan aktor masyarakat sipil dalam menjawab tantangan keberlanjutan.
Langkah awal ini digagas untuk memperluas akses air bersih ke desa-desa pelosok melalui sinergi riset ilmiah, pelibatan generasi muda, dan pengembangan kapasitas masyarakat.
Dalam pemaparannya, Innovation Coordinator Solar Chapter, Nimrot Yacob Humau menyampaikan berbagai inisiatif yang telah dilakukan organisasinya.
Salah satu yang menjadi perhatian adalah pemasangan pompa air tenaga surya di enam kabupaten NTT, sebuah pendekatan berbasis energi terbarukan yang semakin relevan di tengah krisis iklim.
Tak hanya itu, mereka juga memperkenalkan mengalir.co, sebuah platform berbasis InternetofThings (IoT) yang memungkinkan pemantauan kondisi air bersih secara real-time.
Teknologi ini tak hanya menjadi alat bantu teknis, tapi juga sarana partisipatif yang mengajak masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan air secara berkelanjutan.
“Teknologi yang kami buat adalah penerapan dari sistem berkelanjutan yang sesuai dengan tagline kami #MengalirSampaiAnakCucu yang diwujudkan juga nantinya dengan pelatihan aktif kepada warga lokal,” jelas Nimrot.
Kolaborasi dengan Undana menjadi sangat penting dalam kerangka penguatan data, edukasi, dan penciptaan sumber daya manusia lokal yang mampu menjalankan sistem tersebut secara mandiri. Sinergi ini diharapkan bisa menjadi jembatan antara hasil riset dan kebutuhan nyata di lapangan.
Riset dan Data untuk Aksi Nyata
Research Analyst Solar Chapter, Ferry Ara menegaskan, pengembangan berbasis data adalah inti dari kolaborasi ini. Platform mengalir.co, katanya, berpotensi menjadi sumber data yang kaya untuk analisis akademik sekaligus advokasi kebijakan publik.
“Oleh karena itu kami sangat membutuhkan kolaborasi di sini apakah data kita bisa dipakai riset lain oleh dosen untuk pengabdian maupun mahasiswa yang mayoritas di NTT supaya mereka bisa berkarier melalui magang dan sebagainya sehingga kita bisa analisis bersama,” jelas Ferry.
Melalui kemitraan ini, Solar Chapter membuka pintu bagi mahasiswa Undana untuk terlibat langsung dalam kegiatan lapangan, baik melalui program magang, riset kolaboratif, maupun pengabdian masyarakat.
Tak berhenti pada teknologi dan data, pembangunan kapasitas menjadi fokus penting lainnya. Learning Center Coordinator Solar Chapter, Ni Ketut Alit Astuti menyampaikan bahwa program pelatihan teknis Solar Champions akan kembali digelar tahun ini.
“Harapannya di musim kedua ini mahasiswa Undana bisa terlibat di mana mereka akan mendapatkan ilmu langsung dari para praktisi,” ujarnya.
Program ini tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis instalasi dan perawatan sistem air bersih, tetapi juga membentuk jaringan relawan muda yang peduli terhadap keberlanjutan lingkungan.
Respons Positif
Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama (BPKS) Undana, Yefri C. Adoe menyambut baik inisiatif ini.
Ia menyampaikan kesiapan Undana untuk berperan aktif dalam kolaborasi dengan Solar Chapter.
“Prinsip kami adalah sangat menyambut baik dan sangat siap untuk bekerja sama,” ungkap Yefri.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa program ini sangat sejalan dengan semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam aspek pengabdian masyarakat.
“Ini juga bisa menjadi pembelajaran buat mahasiswa bahkan dan pengabdian untuk tenaga dosen melalui pengadaan riset bersama-sama,” tegasnya.
Audiensi ini mencerminkan tekad bersama untuk menjadikan akses air bersih sebagai bagian dari keadilan sosial dan hak dasar setiap warga.
Kolaborasi ini tidak hanya memperkuat posisi Undana sebagai agen perubahan di tingkat lokal, tetapi juga memperluas jangkauan Solar Chapter dalam membawa dampak nyata ke lebih banyak komunitas.
Dengan memadukan kekuatan riset akademik dan pengalaman lapangan, kemitraan ini diharapkan mampu memastikan bahwa air bersih benar-benar mengalir sampai anak cucu.
Maumere, Ekorantt.com – Bagi warga Maumere dan sekitarnya, pasti sudah tidak asing lagi dengan media tampilan visual yang menggunakan teknologi Light Emitting Diode (LED) bernama videotron yang terpasang di dua lokasi.
Satunya terpasang di depan Stadion Gelora Samador. Satunya lagi berdiri kokoh di simpang empat tugu MOF, Jalan El Tari Maumere.
Mirisnya, dua unit videotron tampak sudah tak hidup lagi. Andi Eman, 52 tahun, seorang tukang ojek di Maumere, bilang “tidak ada tanda-tanda kehidupan” dari layar videotron di dua lokasi itu.
Andi bilang, awal kehadirannya, videotron sempat aktif dengan menampilkan iklan layanan masyarakat dari pemerintah. Setelah itu “hilang muncul, hilang muncul” hingga tidak berfungsi lagi sekarang.
“Kita hanya lihat layar hitam saja. Tidak ada lagi iklan yang muncul. Bikin kotor kota saja,” kata Andi.
Angan-angan Dongkrak PAD
Pemerintah merealisasikan pengadaan videotron pada 2019, setelah pembahasan anggarannya dilakukan pada Desember 2018.
Pengadaan videotron menelan pagu anggaran sebesar Rp1,7 miliar dan nilai kontrak sebesar Rp1,3 miliar yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU).
Bernadus Absalon Abi yang kala itu menjabat sebagai Kabag Umum Setda Kabupaten Sikka, mengatakan bahwa pengadaan videotron merupakan terobosan pemerintah dalam mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui layanan jasa periklanan atau reklame. Sekaligus mempercantik kota.
“Imbasnya bisa mengoptimalkan PAD dari jasa reklame atau iklan yang ditampilkan lewat video bergerak ini,” ujar Abi kepada Ekora NTT pada Selasa, 10 November 2019, silam.
Bagian Umum Setda Kabupaten Sikka, lanjut Abi, hanya sebatas mendatangkan videotron, memasangnya, dan melakukan uji coba pemakaian. Sedangkan pemanfaatan videotron diserahkan kepada instansi yang ditunjuk bupati untuk menanganinya.
PAD Nihil
Setelah beberapa tahun terpasang, dua layar iklan digital tersebut tidak pernah memberikan sumbangan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kepala Badan Pendapatan Daerah, Yosef Benyamin mengatakan tidak pernah ada laporan dari Bagian Umum terkait penggunaan videotron, sehingga tidak pernah menagih pajak iklan.
“Tapi tidak pernah ada, kan? Saya tahu baik. Karena kalau ada, berarti ada laporan dan ada pajak,” kata Benyamin kepada Ekora NTT, Kamis, 10 Juli 2025.
Menurut Benyamin, pihaknya akan menagih pajak untuk PAD hanya apabila aset tersebut disewakan ke pihak ketiga.
Benyamin menjelaskan, PAD dari sektor iklan justru diperoleh dari pengelola papan iklan pihak ketiga, sekitar 500 juta setiap tahun.
“Pihak ketiga yang notabene swasta saja bisa sumbangkan PAD dari pajak iklan, ini kita pemerintah sendiri tidak bisa.”
Menurut dia, setiap dinas mesti mengoptimalkan pendapatan dari aset yang mereka kelola. Optimalisasi aset bukan hanya menjadi tugas Dinas Pendapatan, tapi setiap dinas teknis yang mengelola retribusi aset juga harus bertanggung jawab untuk pendapatan daerah.
“Sebenarnya daerah ini rugi. Keluarkan uang tanpa ada manfaatnya, tidak berguna,” kata dia.
“Sayang sekali dibeli dengan uang rakyat begitu banyak, tetapi tidak dikelola secara profesional dan tidak menghasilkan pendapatan daerah.”
Pelaksana Tugas Bagian Umum Setda Sikka Yan Yanita Salvanos mengakui, selama ini, pemanfaatan videotron hanya untuk menayangkan kegiatan pemerintah dan tidak pernah ada pihak ketiga yang mau menyewa.
“Saat saya belum jadi Kabag Umum, pernah ada wacana mau ada pihak ketiga yang mau sewa, sempat bahas tapi tidak jadi. Dalam diskusi itu kan banyak hal mengenai persyaratan pihak ketiga dan lain-lain sehingga tidak dilanjutkan,” kata Yan.
Yan menyebut saat ini videotron tersebut rusak, karena “informasi beberapa waktu lalu ada kerusakan,” sehingga tidak digunakan lagi.
Memaksimalkan Videotron
Ketua DPRD Sikka, Stef Sumandi mendorong pemerintah untuk memaksimalkan videotron untuk publikasi produk-produk dan berbagai kebijakan lainnya.
“DPRD dalam setiap rapat selalu mendorong itu. Bahkan setiap kali evaluasi setiap tahun kami selalu mendorong itu,” kata Stef.
Menurutnya, videotron dapat digunakan untuk promosi produk hasil hilirisasi UKM daerah, selain melalui media massa atau pun media sosial.
Terkait informasi dari Kabag Umum yang meyebut adanya kerusakan pada videotron, kata dia, “harus diperbaiki, bukan dibiarkan begitu saja.”
Saat perencanaan, kata Stef, pemerintah bilang bahwa “akan menghasilkan pendapatan lebih dari satu miliar rupiah.” Setelah pengadaan, pemerintah berdalih penggunaannya tidak optimal dengan berbagai macam alasan.
“Kami tetap komitmen untuk pembangunan daerah terutama melalui digitalisasi, promosi melalui media massa, media sosial, serta videotron. DPRD sudah punya atensi khusus soal itu, tinggal pemerintah meresponnya dengan kebijakan teknis. Kami tidak bisa melakukan kebijakan umum tanpa adanya kajian teknis dari pemerintah,” tandasnya.
Sementara itu, Andi mendengar bahwa pemerintah sedang gencar melakukan berbagai langkah untuk menggejot PAD. Di 2025, pemerintah menargetkan PAD sebesar Rp113.690.380.553 dan realisasinya hingga akhir Juni masih Rp29.266.632.828 atau 25,74 persen per akhir Juni.
“Coba sumber PAD yang sudah ada dimanfaatkan dengan baik pasti daerah ini tidak susah uang,” pungkas Andi.
Larantuka, Ekorantt.com – Pemerintah Kabupaten Flores Timur telah mengajukan usulan dua tradisi Lamaholot yakni Semana Santa dan Sole Oha ke Kementerian Kebudayaan RI sebagai warisan budaya tak benda.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Flores Timur, Silvester Ongo Toa Kabelen, menjelaskan usulan tersebut telah diterima oleh pemerintah pusat.
Saat ini memasuki tahap verifikasi lapangan oleh Kementerian Kebudayaan RI untuk selanjutnya didaftarkan ke United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
“Usulan awal kita ajukan pada bulan Februari 2025 dan telah diterima. Saat ini tim dari kementerian sedang melakukan tahapan verifikasi lapangan di sini,” kata Silvester di ruang kerjanya pada Jumat, 11 Juli 2025.
Ia menjelaskan, kedua tradisi ini memiliki sisi keunikannya tersendiri. Semana Santa adalah perpaduan dari tradisi Katolik dan budaya Lamaholot, sementara Sole Oha sendiri merupakan tarian kolosal yang di dalamnya terdapat tuturan adat atau kenahan-kenapen (Sastra lisan) yang memiliki banyak nilai.
“Tim akan wawancara dengan para narasumber untuk suku-suku pelaksana Semana Santa dan lusa akan dilanjutkan dengan verifikasi lanjutan di Adonara untuk tradisi Sole Oha,” ujar Silvester.
Silvester memperkirakan bila sudah terdaftar di UNESCO, maka akan memberikan keuntungan bagi masyarakat Kabupaten Flores Timur.
Kedua tradisi tersebut akan mendapatkan pengakuan dunia tentang keuniversalan budaya serta dapat menarik perhatian internasional sekaligus sebagai bentuk promosi dan mendapat dukungan finansial untuk pelestarian dari badan UNESCO.
“Kita harapkan agar proses dalam usaha untuk kedua warisan budaya ini dapat berjalan dengan baik hingga proses penetapan di UNESCO,” tutur Silvester.
Ia menyebutkan ada beberapa warisan tradisi budaya Lamaholot yang telah terdaftar dalam Data Pokok Kebudayaan (Dapobud) Kementerian Kebudayaan RI.
Silvester menyebutkan warisan budaya dimaksud yakni, Istana Kerajaan Larantuka, tenun ikat, Sole Oha, kuburan kesultanan dan bendera di Lamahala, rumah adat, Nopin Jaga atau batu bertulis dan fosil manusia purba di Desa Painhaka, Kecamatan Tanjung Bunga.
Maumere, Ekorantt.com – Sebuah kolaborasi lintas pulau kembali menyuguhkan karya teater dengan tema mendalam. Komunitas KAHE Maumere bersama Komunitas AGHUMI Bali menghadirkan pementasan berjudul “Setali Cahaya: Pantai dan Perihal yang Tak Sempat Kita Bicarakan”, yang akan digelar di Aula Rumah Jabatan Bupati Sikka, Sabtu dan Minggu, 12–13 Juli 2025.
Pementasan ini menyentuh tema besar yang sarat makna, kolonialisme dan modernisme, dalam dua latar berbeda, Maumere dan Bali. Isu-isu tersebut masih relevan dan kerap menjadi diskursus di berbagai kalangan, mulai dari akademisi hingga masyarakat umum, karena dampaknya yang masih terasa hingga kini.
Ketua Komunitas AGHUMI Bali, Wulan Dewi Saraswati menjelaskan, karya ini mulai digarap sejak 2023.
Ia mendapat inspirasi ketika terlibat dalam forum Temu Teater Monolog di Malang, Agustus 2023, yang mempertemukan 20 seniman dari berbagai daerah untuk mempresentasikan riset cagar budaya masing-masing.
“Pada saat itu, kami memang saling berbagi pengetahuan dan praktik kerja. Saya belum pernah bertemu Rio dan tidak tahu banyak tentang konteks Flores. Jadi yang kami kerjakan betul-betul adalah berbagi informasi dan berkolaborasi menciptakan karya ini,” ungkap Wulan.
Dalam forum tersebut, Wulan mengangkat riset tentang Pura Pencak Petali di Bali, yang kemudian menjadi titik mula dari penciptaan “Setali Cahaya.”
Sementara itu, Rio Nuwa dari Komunitas KAHE Maumere menyumbangkan risetnya tentang situs cagar budaya Liang Bua.
Untuk mendalami materi tersebut, Rio bahkan harus melakukan perjalanan ke Ruteng, Manggarai, dan menginap di museum Liang Bua demi merasakan langsung atmosfer lokasi.
“Risetnya memang untuk pertunjukan. Jadi pendekatannya adalah lebih kepada bagaimana menghidupkan cerita dalam konteks teater,” jelas Rio.
Setelah dipentaskan di Malang dan Ubud pada 2023 dan 2024, karya ini berkembang menjadi semakin kompleks. Proses diskusi yang terus berjalan mempertemukan dua wacana besar yang menjadi inti dari karya ini: kolonialisme dan modernisme.
“Waktu itu, kita bahas isu kolonialisme dan modernisme di Flores dan Bali. Kami menggunakan cerita eskavasi Pater Verhoeven, SVD, dan juga medium tarot untuk menggali narasi ini lebih dalam,” kata Wulan.
Karya ini juga menyinggung isu ekonomi dan pariwisata yang terus masuk dan berkembang di kedua wilayah. Wulan menilai bahwa dua sektor ini tak lepas dari jejak kolonialisme dan cara pandang Eropa terhadap modernisme.
Sebelum tampil di Bali dalam ajang Indonesia Bertutur (Intur), “Setali Cahaya” telah dipentaskan di Maumere pada 2024.
Kini, setelah melalui proses eksplorasi dan penyempurnaan, karya ini kembali dipentaskan di tempat yang sama dengan pendekatan yang lebih kolektif.
Pementasan kali ini melibatkan berbagai perspektif, baik dari sisi penulis, aktor, hingga tim produksi. “Setali Cahaya” bukan sekadar panggung sejarah, tapi juga ruang refleksi terhadap berbagai isu global: dari konflik, identitas, kapitalisme, hingga dampak pariwisata.
Rio menyampaikan harapannya agar pertunjukan ini memberi cara pandang baru terhadap berbagai isu yang diangkat.
“Kami ingin pertunjukannya lebih segar, tidak hanya soal membaca sejarah, tetapi juga membuka percakapan tentang masalah yang kita hadapi saat ini, perang, identitas, perebutan lahan, kapitalisme, dan pariwisata yang begitu kompleks,” ujar Rio.
Pementasan ini mendapat dukungan dari Yayasan Kelola, lembaga yang aktif mendukung pengembangan seni pertunjukan di Indonesia.
Dalam salah satu sesi bimbingan yang cukup menegangkan, saya dibuat terdiam oleh satu pertanyaan yang dilontarkan pembimbing saya di akhir pertemuan: “Anyway, who are you, really?”
Raut wajah mereka tetap tenang, seperti biasa, seolah pertanyaan itu wajar saja dilemparkan setelah satu jam diskusi metodologi yang rumit.
Tapi saya tahu, itu bukan pertanyaan iseng. Ia datang seperti tamu tak diundang yang mengetuk kesadaran. “Sudah satu semester lebih saya dibimbing, dan sekarang mereka masih bertanya siapa saya?” batin saya. Tapi di situlah justru letak kekuatannya.
Pertanyaan itu menggantung, sekaligus menyulut harapan. Saya merasa diajak masuk lebih dalam, bukan hanya ke soal-soal penelitian, tetapi ke dalam lapisan paling awal dan paling jujur dari kerja pendidikan: mengenali diri. Dan semakin saya renungkan, pertanyaan itu sebenarnya sangat relevan untuk siapa pun yang berdiri di depan kelas.
Siapa kita, sungguh-sungguh, sebagai manusia, sangat memengaruhi siapa kita sebagai guru. Sebab setiap guru membawa cerita hidupnya ke dalam kelas: nilai-nilai yang ia hidupi, pengalaman masa kecil yang membekas, guru-guru yang menginspirasi atau menyakiti, luka yang belum sembuh, pun harapan yang belum padam. Semua itu ikut duduk juga di bangku guru bersama kita, kadang diam-diam, tapi terus bekerja dalam setiap keputusan pedagogis yang kita ambil.
Parker J. Palmer, dalam bukunya The Courage to Teach (1998), berulang-ulang menekankan tentang kesadaran, tentang narasi pribadi yang sebenarnya sungguh mendasari bagaimana seorang guru mendidik.
Ia mengatakan, “we teach who we are”: kita mengajar dari siapa diri kita, bukan sekadar dari apa yang kita ketahui. Kalimat ini sederhana namun cukup menukik. Sebab kita bisa menguasai teori pendidikan dan strategi pembelajaran, tapi kalau kita tak pernah menengok ke dalam dan bertanya: siapa saya sebenarnya, dan mengapa saya memilih jalan ini? maka proses mengajar bisa saja berubah jadi sekedar aktivitas mekanis belaka.
Sayangnya, sistem pendidikan kita jarang memberi ruang untuk pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti itu. Guru lebih sering dilatih untuk menyusun RPP yang sesuai format, mengejar ketercapaian indikator, atau menyesuaikan gaya ajar dengan profil peserta didik berbasis data. Semuanya penting, tentu. Tapi terlalu lama kita bergerak di permukaan, dan lupa bahwa di bawah semua teknik mengajar itu, ada dimensi batin yang jauh lebih menentukan yakni narasi pribadi seorang guru.
Narasi pribadi ini bukan sekadar biografi. Ia adalah cara kita mengisahkan hidup kita, bagaimana kita memaknai masa lalu, apa yang kita anggap penting hari ini, dan untuk siapa kita melangkah ke depan, dalam kerangka menjadi seorang pendidik.
Dalam riset-riset pendidikan, seperti yang digagas Kelchtermans dan Palmer misalnya, narasi ini terbukti sangat memengaruhi bagaimana guru mengambil keputusan, merespons konflik, mengelola perbedaan, bahkan memahami “keberhasilan” peserta didik di kelas.
Guru yang pernah merasa ditolong oleh seorang guru lain, cenderung hadir lebih empatik di kelas. Guru yang pernah tumbuh dalam sistem yang menekan, mungkin akan lebih sadar untuk menciptakan ruang belajar yang bebas dan manusiawi. Ini bukan soal teknik, tapi soal cara memaknai peran dan hubungan dengan peserta didik. Dan ini semua lahir dari narasi diri yang jujur.
Kabar baiknya, narasi itu bukan sesuatu yang baku. Ia bisa diolah, dipertanyakan, ditulis ulang, dan dibentuk ulang dengan sadar. Melalui refleksi, melalui percakapan jujur antar guru, melalui tulisan pribadi, atau bahkan lewat momen-momen hening di ujung hari mengajar yang melelahkan. Kita bisa mengolah narasi itu agar makin jernih, otentik, dan memberdayakan.
Sebab melalui refleksi mendalam, dialog sejawat, menulis jurnal harian, atau praktik pedagogi naratif, guru bisa terus bertanya dan menyusun ulang cerita tentang dirinya. Bahkan luka atau kegagalan pun, jika dilihat secara reflektif, bisa menjadi sumber makna baru.
Palmer menyebut proses ini sebagai inner work, atau kerja ke dalam, yang tak kalah penting dari kerja ke luar. Mengapa ini penting? Karena sekali lagi, otentisitas guru terasa di ruang kelas. Peserta didik bisa membedakan guru yang hadir dengan tulus dan guru yang sekadar menjalankan peran. Guru yang mengenal dirinya akan lebih mudah menciptakan ruang aman bagi murid untuk juga mengenal dirinya sendiri. Dan dalam dunia yang kian penuh tekanan sosial ini, kemampuan menjadi diri sendiri adalah bekal hidup yang sangat berharga. Tentu ini bukan perkara mudah. Tak semua guru punya waktu, ruang, atau keberanian untuk menengok ke dalam. Tapi membangun narasi yang jujur bukan berarti membuka semua luka. Ia justru soal menerima kompleksitas diri: bahwa kita pernah gagal, pernah ragu, pernah marah, dan itu manusiawi. Justru dari situ kehangatan muncul, bukan dari kepura-puraan.
Lagi-lagi, tentu ini bukan proses yang instan sebab tak semua guru punya ruang untuk merenung, apalagi menuliskan ulang narasi hidupnya. Tapi sekolah dan lembaga pendidikan bisa mulai menciptakan ruang kecil: sesi-sesi refleksi yang sungguh-sungguh, bukan sekadar formalitas dan laporan supervisi; komunitas pembelajar yang saling mendengarkan, bukan saling menilai apalagi saling membentuk kubu; dan pelatihan yang menghidupkan kembali semangat, bukan sekadar keterampilan teknis. Karena guru bukan hanya pelaksana kurikulum, ia adalah manusia yang tengah menjalani proses pembentukan dirinya sendiri, terus-menerus.
Lagipula, mengajar adalah kerja hati, bukan hanya kerja otak. Dan hati itu dibentuk dari perjalanan panjang yang kita lalui sebagai manusia. Maka mari kita mulai melihat tugas kita sebagai guru bukan hanya dari tentang teknis mengajar saja, tapi juga dari cerita hidup yang kita bawa ke kelas, secara jujur dan sadar. Karena di balik setiap pelajaran yang sampai ke peserta didik kita, selalu ada kisah yang lebih besar, kisah tentang bagaimana menjadi manusia.
Bagi kita para guru, Palmer menulis, “Good teaching comes from the identity and integrity of the teacher.” Dan identitas dan integritas itu tumbuh dari keberanian untuk menengok ke dalam. Maka, sebelum bicara soal kurikulum, asesmen, atau teknologi pengajaran, barangkali kita perlu lebih dulu menjawab satu pertanyaan penting: Who are you, really? Sebab dari situlah semuanya bermula, pembelajaran yang kita harapkan sungguh memanusiakan manusia itu.