Pokir DPRD

Oleh: Steph Tupeng Witin, Penulis Buku “Politik Dusta di Bilik Kuasa, JPIC-OFM, 2018

Proyek-proyek pokok pikiran (Pokir) yang melibatkan anggota DPRD di semua kabupaten menjadi hangat dalam pemberitaan akhir-akhir ini.

Pokir ini merupakan aspirasi masyarakat daerah pemilihan (Dapil) yang disampaikan kepada anggota DPRD saat reses dan kesempatan tatap muka lainnya.

Aspirasi itu dibawa oleh anggota DPRD, diteruskan ke pihak eksekutif untuk ditindaklanjuti dalam bentuk proyek-proyek riil bagi rakyat.

Pihak eksekutif tentu saja menerima aspirasi warga melalui anggota DPRD dan menyesuaikan dengan aspirasi warga yang tersalur melalui Musrenbang maupun penyampaian langsung kepada pihak Pemerintah khususnya Bupati.

Proyek Pokir itu tidak akan menjadi masalah ketika pihak eksekutif menanggapinya dan mengalokasikan proyek sesuai aspirasi rakyat, tanpa ada embel-embel kepentingan atau pamrih lain.

iklan

Pokir menjadi masalah ketika dilabeli kepentingan politis kekuasaan dan bagi-bagi keuntungan (fee) proyek.

Belum lagi anggota DPRD mengklaim diri sebagai pemilik proyek dan meminta “jatah” kepada pihak eksekutif melalui kontraktor yang mengerjakan proyek Pokir.

Di Kabupaten Sikka, Pokir menjadi masalah sangat memalukan karena anggota DPRD terlibat aktif dalam pembagian jatah keuangan (fee) proyek dengan mengklaim diri  sebagai pemilik proyek Pokir.

Di Ende, proyek Pokir hampir tidak pernah diributkan karena rejim Marsel-Djafar diduga membagi proyek Pokir secara merata pada anggota DPRD.

Bahkan ada dugaan sangat kuat, sebagian anggota DPRD Ende lebih berwajah makelar Pokir ketimbang wakil rakyat.

Di Manggarai, anggota DPRD Marsel Ahang mempersoalkan proyek Pokir karena ada pengaturan yang tidak sesuai dengan daerah pemilihan (Dapil).

Artinya, kasus Pokir di Manggarai mirip dengan Kabupaten Ende. Pokir dibagi secara merata kepada semua anggota DPRD sesuai Dapilnya (Flores Pos, 15/7).

Kasus Pokir di Sikka, Ende, dan Manggarai tentu menjadi sesuatu yang niscaya di semua kabupaten lain yang belum tersentuh pemberitaan media.

Biasanya, orang rebut setelah ada masalah.

Sepanjang Pokir dibagi merata dan tidak ada masalah, maka hal yang buruk dan busuk pun menjadi baik dan indah: semua bisa diatur.

Pokir menjadi problem yang akut ketika aspirasi rakyat dari dapil anggota DPRD menjadi sarana untuk membungkam suara kritis dan menjadi lumbung bagi anggota DPRD mencari penghasilan yang tidak sehat dari aspek moralitas publik.

Di Sikka, kasus Pokir menjadi heboh karena oknum anggota DPRD meminta jatah fee dari kontraktor yang pasti marah karena boleh jadi kontraktor juga mendapatkan proyek pokir yang bersangkutan tidak dengan gratis.

Banyaknya kontraktor yang menanggung beban sangat berat karena harus memberi jatah fee kepada anggota DPRD dan oknum dari birokrasi.

Beban inilah yang kadang membuat kontraktor tidak mampu membendung emosi dan membuka kejahatan dan kebusukan perilaku anggota DPRD dari birokrasi ini kepada publik.

Proses busuk yang jahat pada tubuh DPRD dan birokrasi menumbalkan rakyat karena proyek-proyek itu sangat tidak berkualitas, asal jadi, dan cepat rusak karena dana untuk membangun proyek secara berkualitas belum-belum sudah keburu habis dan masuk saku anggota DPRD dan oknum-oknum birokrasi.

Lazimnya, proyek yang dananya terkuras ke saku para pejabat publik dikerjakan untuk rusak lagi dan lagi sehingga akan selalu ada kesinambungan pekerjaan bagi kontraktor walau dengan keuntungan sangat kecil bahkan tidak ada sama sekali.

Kasus-kasus proyek-proyek Pokir bermasalah itu seharusnya bisa menjadi ruang pencerdasan bagi rakyat dalam proses-proses politik dan demokrasi.

Anggota DPRD yang menerima suap dan menjadi makelar proyek (Ende) dan meminta fee proyek Pokir dari kontraktor (Sikka) harus dilihat sebagai “musuh bersama” dalam arus besar pemberantasan korupsi di Republik ini.

Bupati yang membagi jatah Pokir secara merata kepada anggota DPRD tidak lebih dari makelar proyek dan tidak perlu dipilih lagi karena hanya merusak daerah dan semakin menjauhkan dari tingkat kesejahteraan hidup yang layak dan semakin membaik.

Fakta-fakta itu membuktikan bahwa oknum-oknum pejabat publik kita bermental miskin dan belum selesai dengan diri sendiri.

Mereka sedang mencari makan dan bernafsu ingin kaya.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA