Korupsi, Wakil Rakyat Tidak Wakili Rakyat

Florianus Jefrinus Dain, Mahasiswa STFK Ledalero, Ketua Centro John Paul II, Tinggal di Ritapiret, Maumere

Maumere, Ekorantt.com – Setelah terkuaknya penggelembungan dana tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi 35 anggota DPRD Sikka senilai kurang lebih Rp3,4 Miliar dalam tubuh DPRD Sikka, akhirnya kita tahu, di satu sisi, para wakil rakyat sama sekali tidak mewakili rakyat.

Di sisi lain, kita menjadi tahu, pendidikan politik masyarakat masih minim. Masyarakat terjebak dalam memilih wakilnya secara asal-asalan.

Buktinya, sebagian dana hanya digelontorkan untuk kepentingan pribadi.

Demokrasi Setengah Hati

Kenyataan ini tentu menjadi perhatian bersama dalam Pemilu serentak pada tanggal 17 April 2019 mendatang.

iklan

Demokrasi kita masih setengah hati.

Yang terjadi ialah demokrasi dari, oleh, dan untuk sebagian elite.

Fenomena ini juga menjadi catatan bagi para Caleg yang berlaga saat ini.

Kita harus mencegah para politisi itu hadir dalam kekuasaan.

Pencegahan dini lebih baik dilakukan pada saat ini. Sebab, pilihan politik akan sangat menentukan kemajuan bangsa.

Pilihan politik yang rasional tentu memberikan dampak positif terhadap kemajuan dan kebaikan bersama.

Momen ini menjadi semacam refleksi bagi masyarakat untuk menentukan pilihan yang tepat pada hari pencoblosan.

Masyarakat mesti menyadari, esensi demokrasi bukan sekadar menjadi pemilih, melainkan meewujudkan hak-hak politik masyarakat.

Seringkali masyarakat terjebak dalam simplifikasi pemahaman terhadap demokrasi. Demokrasi yang sejati ialah dari, oleh, dan untuk rakyat.

Para anggota DPRD Sikka yang melakukan “praktik legalisasi korupsi” (Emilianus Yakob Sese Tolo, EKORA NTT, 2/3/19) telah menyangkal hakikat demokrasi itu sendiri.

Akibatnya, masyarakat tidak mendapatkan jatah kue pembangunan sepenuhnya, baik pembangunan infrastruktur maupun pembangunan manusia.

Uang rakyat hanya memenuhi keinginan dan kemewahan pribadi anggota DPRD. Hal ini justru dibungkus oleh berbagai produk aturan yang melegalkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Pendidikan Politik dan Pertimbangan Rasional

Apa yang mesti dilakukan saat ini untuk meminimalisasi praktik legalisasi korupsi?

Selain memperkuat aliansi dengan masyarakat sipil, sebaiknya perlu ditingkatkan pendidikan politik bagi masyarakat dalam menentukan wakil-wakilnya.

Peningkatan kapasitas kemampuan dan pengetahuan masyarakat bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang demokratis.

Dengan pendidikan politik yang baik, daya kritis dan selektif masyarakat akan semakin baik.

Pendidikan politik membantu masyarakat menentukan pilihan politik sesuai dengan kebutuhan, bukan atas dasar sentimen-sentimen tertentu.

Maka perlu dilakukan sosialisasi politik yang bebas kepentingan.

Hemat saya, intelektual (mahasiswa), LSM, KPU, dan berbagai lembaga masyarakat mesti hadir dalam membangun diskursus yang rasional dan mencerahkan masyarakat.

Diskursus rasional di tingkat akar rumput bisa menjadi semacam corong untuk membangun kesadaran politik.

Tetapi, kita perlu menjauhkan diri dari kepentingan elite politik tertentu.

Jangan sampai sosialisasi politik terjebak dalam pengartikulasian kepentingan politisi yang sedang berlaga.

Tentu yang perlu dibangun dalam diskursus bersama masyarakat ialah agenda-agenda politik yang sesuai kebutuhan masyarakat.

Isu-isu politik bersama mesti menjadi perhatian untuk menilai Caleg.

Melalui pengembangan isu-isu dan kebutuhan bersama, masyarakat akan dengan mudah melihat program-program yang dicanangkan oleh politisi dalam setiap kampanye.

Apakah politisi betul-betul memihak rakyat dengan program-programnya atau justru mengantar rakyat pada program-program ilutif yang sulit direalisasikan?

Oleh karena itu, kita perlu mengkaji berbagai janji politik berdasarkan analisis sosial masyarakat.

Anthony Downs menggarisbawahi pentingnya diskursus rasional dalam memilih pemimpin.

Dalam masyarakat demokratis, individu digerakkan oleh kalkulasi rasional untuk memilih orang-orang yang akan merepresentasikan dirinya.

Rasionalitas di sini dipahami sebagai pilihan sadar karena individu memiliki perhitungan berkaitan dengan tujuan dan pencapaian yang akan dia dapat (Jeques Juru, 2012, p. 35). Pencapaian-pencapaian itu tentunya menjadi harapan bersama.

Oleh karena itu, pertimbangan rasional selalu dihadapkan pada kriteria-kriteria tertentu.

Ada beberapa kriteria normatif yang dapat dipakai pemilih sebagai wujud pertimbangan rasional yang cerdas.

Pertama, seorang Caleg memiliki integritas moral dan kecerdasan spiritual.  Caleg yang memiliki integritas moral adalah dia yang mampu memilah antara yang baik dan buruk, kejujuran dan kebohongan, kebenaran dan kepalsuan.

Dia  menjadi orang pertama dalam menyampaikan kebenaran.

Kebenaran itu adalah kesesuaian antara apa yang dipikirkan dan realitas sosial masyarakat. Kebenaran dan integritas moral lahir dari nilai-nilai agama.

Agama selalu mengajarkan sesuatu yang baik bagi para pemeluknya.

Maka, setiap Caleg yang lahir dari kesadaran beragama yang baik dapat dipastikan mampu memberikan teladan baik bagi rakyatnya.

Kedua, kecerdasan intelektual dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Seorang Caleg diharapkan memiliki kemampuan intelektual yang baik.

Kecerdasan intelektual sangat penting karena mereka dituntut berpikir kritis, konseptual, analitis, programatis, dan strategis.

Tentang komitmen terhadap pemberantasan korupsi, masyarakat mesti melihat riwayat hidup setiap Caleg.

Kalau para Caleg pernah melakukan penggelembungan dana rakyat seperti kasus di Kabupaten Sikka, maka rakyat harus jeli untuk memilih.

Sebab, komitmen terhadap pemberantasan korupsi sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat.

Yang perlu dipilih ialah figur-figur yang berani mengusut kasus korupsi dalam tubuh kekuasaan.

Ketiga, keberanian dalam memberantas kemiskinan. Keberanian ini hanya mungkin apabila Caleg mampu membaca sebab-sebab struktural kemiskinan dalam masyarakat.

Dengan demikian, ia dapat mengetahui solusi dan program yang dicanangkan dengan mudah.

Sebab, berbagai pembangunan infrastruktur selama ini hanya menguntungkan sebagian orang.

Tanpa analisis sosial tentang masalah kemiskinan, maka kemiskinan tetap mendarah daging dalam masyarakat.

Yang juga dibutuhkan ialah meningkatkan kualitas serta potensi yang ada seperti pariwisata, perikanan dan kelautan, peternakan dan pertanian (Paul Budi Kleden, 2013, p. 33).

Keempat, memiliki pengetahuan yang baik tentang fungsinya dalam kekuasaan. Seorang Caleg mesti mengetahui tiga fungsi utamanya, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Kelima, mengetahui kebudayaan dan adat istiadat sambil terbuka terhadap tantangan zaman. Orientasi terhadap adat istiadat sangat penting.

Kita butuhkan Caleg yang tahu adat, yang mengenal, dan mencintai bangsanya.

Namun, ia tidak terperangkap dalam kesempitan pandangan mengenai kebudayaan, tetapi serentak terbuka terhadap kekayaan peradaban dunia yang semakin luas (Ibid., p. 34).

Keenam, mempunyai hubungan sosial yang baik. Seorang Caleg harus memiliki kemampuan membangun kehidupan sosial yang baik.

Kehidupan sosial yang baik merupakan kesadaran sosial manusia.

Mengutip Sosiolog Amerika Serikat, James S. Coleman, modal sosial diartikan sebagai relasi-relasi sosial dalam struktur budaya, norma, nilai, dan etika sosial.

Selain kriteria-kriteria di atas, kriteria lain seperti pengalaman bekerja, umur, kemampuan melobi, dan kemampuan emosional dapat ditambahkan sebagai kriteria kritis dalam menentukan pilihan.

Kriteria-kriteria ini menjadi pertimbangan rasional dalam memilih Caleg.

Oleh karena itu, marilah kita bersikap kritis dan selektif dalam memilih Caleg di Pemilu 2019.

 

 

 

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA