Menghukum Berat Koruptor

Oleh: Rian Agung*

Kejahatan korupsi di Indonesia semakin memperhatinkan.

Sekalipun telah disuntikkan berbagai vaksin guna menghentikan dan sekaligus mengurangi lajunya, hingga memasuki tahun 2019 belum terlihat tanda-tanda praktik korupsi berkurang.

Setiap saat kita menyaksikan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian dan Kejaksaan menangkap dan menciduk koruptor.

Paling mutakhir di tingkat nasional adalah terciduknya Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy alias Gus Romy lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.

OTT ini terkait dengan dugaan jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama.

iklan

Di tingkat lokal, di Kabupaten Sikka, misalnya, dugaan korupsi tunjangan transportasi dan perumahan 35 anggota DPRD Sikka kian menunjukkan titik terang paska tim auditor Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan (BPKP) NTT melakukan audit Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Sikka Tahun Anggaran 2018.

Menurut informasi yang beredar, terdapat temuan indikasi kerugian negara sebesar Rp3,93 Miliar.

Dari perspektif yang lebih luas, OTT atas Gus Romy dan dugaan korupsi tunjangan kerja anggota DPRD Sikka menjadi bukti betapa perilaku koruptif-primitif yang melibatkan elite dan penyelenggara pemerintahan terus berlangsung.

Penyebab

Pemberantasan korupsi di Indonesia telah menjadi agenda prioritas selama beberapa tahun terakhir.

Tak sebatas prioritas, pemberantasan korupsi pun dilakukan secara luar biasa (extraordinary).

Selama ini, salah satu penyebab yang sering dikemukakan dalam menjelaskan meruyaknya perilaku koruptif adalah kelemahan elementer dari materi hukum (legal substance).

Salah satu kelemahan paling dasar adalah banyak aturan hukum yang tak jelas, memiliki makna ganda (multiinterpretasi), dan memihak koruptor.

Namun disadari, secermat dan sebaik apa pun membuat UU, sulit keluar secara paripurna dari kelemahan tersebut.

Karena itu, maraknya kasus korupsi menjadi tak cukup relevan hanya dijelaskan dari kelemahan materi hukum.

Bagaimanapun, dalam bingkai penegakan hukum, materi hukum salah satu faktor yang dapat memengaruhi pemberantasan korupsi.

Karena itu, di antara penyebab berikut dapat dikatakan memberikan kontribusi penting sulitnya membendung dan menghentikan laju korupsi.

Tentunya, penyebab dimaksud memberi kontribusi pula meningkatnya perkara korupsi pada tahun-tahun sebelumnya.

Pertama, tindakan dan langkah pembaruan untuk menangani korupsi begitu mudah terjebak pada perilaku “hangat-hangat tahi ayam.”

Fakta empiris membuktikan, sejumlah skandal korupsi yang terkuak di lingkungan pemerintah hanya memiliki daya kejut dalam waktu terbatas.

Seperti terjebak dalam sebuah pola: sebuah skandal segera menguap begitu skandal baru terkuak.

Ada kecenderungan, terkuaknya skandal korupsi nyaris tak pernah menjadi momentum melakukan perubahan secara total.

Biasanya, ketika pelaku yang bernasib sial dihukum, upaya untuk mengungkap jejaringnya tidak pernah dilakukan dengan serius.

Padahal jamak dipahami bahwa korupsi, apalagi yang masuk kategori skandal, tidak mungkin dijalankan pelaku secara tunggal.

Kedua, selain faktor di atas, penyebab lain tidak mudah mengurangi dan menghentikan laju praktik korupsi dipicu oleh penjatuhan hukum (vonis hakim) yang jauh dari memadai untuk mampu memberikan efek jera.

Bukti paling menonjol, sejak 2013, secara umum, pengadilan menjatuhkan vonis semakin hari makin ringan.

Memang, ada yang divonis maksimal namun tidak sebanding jumlahnya dengan yang divonis minimal.

Bahkan, akhir-akhir ini, vonis bagi mereka yang melakukan korupsi berada di kisaran dua tahun.

Celakanya, kecenderungan penurunan ini terjadi sejak pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi.

Padahal, sebagai bagian menimbulkan efek jera, UU pemberantasan tindak pidana korupsi memberikan ruang untuk menjatuhkan hukuman secara maksimal.

Sebagai contoh, dalam hal seseorang tersangkut tindak pidana korupsi sebagaimana diatur Pasal 2 Ayat (1) UU No 31/1999, UU memberi ruang untuk menjatuhkan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun.

Begitu pula dengan Pasal 3 UU No 31/1999, UU memberi ruang menjatuhkan pidana penjara seumur hidup/pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun.

Sekalipun kedua pasal memberi ruang untuk menjatuhkan pidana minimal satu tahun, penjatuhan hukuman harus selalu diletakkan dalam bingkai pesan efek jera memberantas korupsi.

Karena pesan penjeraan itu, UU No 31/1999 memberi ruang menjatuhkan pidana mati apabila korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu.

Sejumlah pengalaman menunjukkan, penjatuhan pidana rendah diikuti dengan kemudahan lain yang dinikmati mereka yang dipidana.

Kemudahan dimaksud adalah adanya ketentuan selama melaksanakan hukuman memiliki kesempatan menghuni rumah tahanan lebih singkat dari vonis hakim.

Bahkan, berkaca dari sejumlah kasus, dengan kemampuan keuangan yang dimiliki terpidana korupsi, rumah tahanan tidak cukup memberikan efek penjeraan.

Sebagian di antara terpidana mudah menikmati segala macam kemewahan, termasuk mangkir dari rumah tahanan sebagaimana yang pernah dilakukan Gayus Tambunan.

Tidak kalah mengkhawatirkan, bekas narapidana korupsi diberi ruang untuk ikut kontestasi politik begitu selesai menjalani masa hukuman.

Dengan kemudahan itu, sebagian mereka yang pernah dipidana kasus korupsi dengan mudah mengikuti kontestasi politik.

Jalan mudah berkiprah kembali di panggung politik meruntuhkan misi politik menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.

Disadari atau tidak, segala kemudahan tersebut membuat banyak kalangan tidak takut melakukan korupsi.

Rekomendasi

Perlu disadari, labirin perilaku koruptif sangat mungkin kian menjadi-jadi di masa yang akan datang.

Untuk itu, haruslah ditemukan jalan keluar dari labirin perilaku koruptif yang telah lama menjadi virus perusak yang terus membelit dan melilit negeri ini.

Melihat daya rusak yang ditimbulkan, tak cukup lagi dengan mengimbau agar menghentikan perilaku koruptif.

Untuk itu, mereka yang diberikan wewenang mengelola kepentingan publik apabila terbukti melakukan korupsi, hukuman harus mampu memberikan efek jera.

Begitu juga bagi pelaku korupsi karena ketamakan, hukuman maksimal harus mampu menjangkau dan memiskinkan pelaku korupsi.

Tak berhenti sampai pelaku, penegakan hukum harus mampu membongkar jejaring pelaku korupsi secara tuntas.

Selama hanya berfokus pada pelaku, koruptor mungkin saja menggunakan pihak lain sebagai tempat menyimpan harta hasil korupsi.

Karena itu, langkah serius mengejar dan membongkar semua pihak yang jadi jejaring koruptor menjadi pilihan yang tak terhindarkan.

Sementara itu, bagi pelaku politik yang terbukti melakukan korupsi, hukuman tidak cukup dengan pidana badan dan pemiskinan, tetapi harus berani juga mencabut hak politik mereka.

Tanpa itu, politisi yang pernah dihukum karena terbukti korupsi akan tetap memiliki ruang “merampas” panggung politik.

Tanpa keberanian mencabut hak politik, banyak kalangan percaya, suatu waktu nanti panggung politik negeri ini akan dikuasai oleh bekas pelaku korupsi.

Saya termasuk orang yang percaya: pidana maksimal dan memangkas segala kemudahan dapat menjadi strategi ampuh keluar dari jebakan labirin praktik korupsi di kalangan politisi.

*Mahasiswa Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA