Pajak untuk Keadilan

Dalam urusan pajak, berlaku hukum yang sifatnya aksiomatik, jangan kuliti kulit dan daging dombanya jika ingin mendapatkan bulunya.

Oleh: Suroto

Perdebatan soal kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen terus bergulir. Pemerintah sepertinya akan tetap bersikukuh menjalankan kebijakan tersebut di awal tahun 2025. Kenaikan ini dianggap berkaitan dengan amanah Undang-undang Omnibus Law Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Hal penting yang menjadi pertanyaan adalah kenapa pemerintah tetap ngotot untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen? Padahal kondisi ekonomi masyarakat pada umumnya sedang dalam masa sulit. Kenapa amanat UU itu dianggap sebagai semacam kitab suci yang harus dan wajib dilaksanakan? Kenapa pemerintah tidak mau mendengarkan aspirasi masyarakat yang masif menolak kenaikan tarif pajak ini? Ada apa sebenarnya?

Pajak memang lembaga yang sudah tua, seusia dengan sistem kekuasaan. Pemerintah memerlukan dana dalam membentuk pajak demi menunjang kegiatan pemerintahannya.

Umumnya hal tersebut dilaksanakan dengan menggunakan kekuasaan yang setengah ‘memaksa’. Namun perlu diingat, revolusi di Amerika, misalnya, diawali oleh perlawanan terhadap Pajak Teh (Boston Tea Party), semacam pajak atas PPN termasuk teh. Ketika itu Amerika merupakan salah satu wilayah jajahan Inggris.

Salah satu tujuan penting dari pajak di negara demokrasi adalah untuk keadilan. Jika hal ini dilupakan, maka esensi dari pajak telah kehilangan maknanya. Pajak yang adil itu harus memenuhi dua unsur penting, baik adil dalam pemungutannya maupun dalam alokasinya.

Dalam konteks pemungutan yang adil, maka salah satunya berlaku sistem keadilan vertikal. Artinya pemungutan pajak yang adil harus mempertimbangkan kemampuan bayar (ability to pay) dari subyek pajak. Semakin besar kemampuan bayar subyek pajak, maka semakin besar mereka mesti dikenai pajak. Bukan justru sebaliknya. Bebas pajak (tax holiday) untuk elite kaya, dan pajak untuk rakyat biasa.

Kalau pemerintah itu adil, maka orang super kaya yang mestinya dipajaki lebih banyak. Dalam simulasi sederhana saja, target 75 triliun rupiah dari asumsi kenaikan tarif pajak PPN dari 11 persen menjadi 12 persen itu sesungguhnya cukup ditutup dengan memajaki harta bersih 5.000-an orang super kaya di Indonesia dengan harta di atas 144 miliar rupiah. Ini selain lebih adil juga lebih jelas dampaknya bagi masyarakat kecil.

Pajak harta (wealth tax) adalah pajak yang dikenakan atas aset pribadi seperti uang tunai, properti, deposito, saham, dan kepemilikan bisnis setelah dikurangi utang. Pajak harta lebih mencerminkan prinsip keadilan karena disasarkan kepada mereka yang benar-benar memiliki kemampuan membayar.

Pajak harta juga lazim dijalankan di negara lain. Sudah ada 36 negara yang menerapkan sistem pajak harta, sebut saja Norwegia, Spanyol, Swiss, dan lain-lain. Tarifnya juga cukup bervariasi dari angka 0,5 persen hingga 3,75 persen. Negara-negara ini justru menjadikan kemakmuran merata dan dapat dilihat dari rasio gini pendapatan maupun kekayaan mereka yang rendah.

Semestinya, ketika ekonomi rakyat sedang lesu, di mana daya beli rakyat kelas menengah dan bawah sedang mengalami penurunan, pemerintah harusnya justru memberikan banyak insentif agar roda ekonomi segera membaik. Bukan justru membebaninya dengan pajak yang semakin tinggi. Kebijakan untuk menaikkan tarif PPN adalah jelas tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat sebagai pemegang kekuasaan negara.

Kita paham bahwa beban fiskal pemerintah sekarang sudah dalam kondisi berdarah darah. Di mana untuk menutup defisit fiskal yang kondisinya sudah bukan lagi gali lubang tutup lubang, tapi sudah dalam posisi gali lubang membuat jurang. Hal ini dapat dilihat dari angsuran dan bunga dari utang yang ada itu dalam tahun fiskal harus ditutup dengan utang baru sehingga utang negara tiap tahun terus meningkat.

Melihat kondisi ekonomi rakyat yang sedang memburuk justru harusnya pemerintah menjadi semakin rasional. Selain perlu kebijakan pengeluaran ketat juga semestinya dicari solusi jangka pendek yang mungkin, seperti misalnya mencegah kebocoran anggaran pemerintah yang selama ini dijadikan kampanye Presiden, di samping menggenjot program hilirisasi yang sudah dijadikan janji politik pemerintah. Jangan sampai menguap jadi janji manis belaka.

Dalam urusan pajak, berlaku hukum yang sifatnya aksiomatik, jangan kuliti kulit dan daging dombanya jika ingin mendapatkan bulunya. Lebih penting lagi, jangan membuat penderitaan rakyat kalau hanya untuk tujuan memberikan kenikmatan bagi segelintir elite politik dan elite kaya. Ini adalah negara demokrasi, di mana pemerintah adalah mereka yang dipilih rakyat untuk diperintah bukan memaksa dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat.

Tujuan pembangunan yang terpenting adalah bukan untuk menambah pendapatan negara, namun bagaimana menciptakan kue ekonomi yang semakin besar dan dinikmati secara adil oleh rakyat. Agar pembangunan berjalan secara berkelanjutan serta mampu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakatnya. Dorong rakyat untuk memiliki kemampuan mengkreasi pendapatan bukan justru memampatkannya dengan pajak.


*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)

spot_img
TERKINI
BACA JUGA