Kupang, Ekorantt.com – Tangannya yang mungil dan berkeriput tampak lihai membentangkan beberapa lembar kain tenun.
Sambil mengaso di lantai area belakang gedung Kantor Gubernur NTT, Martinus Tamonob, pria 70 tahun asal Desa Haumeni, Nunkolo, Timor Tengah Selatan begitu bersemangat mempromosikan barang jualannya itu kepada siapa saja yang lewat. “Om, beli kain,” tuturnya singkat.
Martinus menjalankan usaha jualan kain tenun sejak tahun 2012.
Dia melakukannya karena motif ekonomi.
“Saya jualan ini untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga saya,” ucapnya saat diwawancarai Ekora NTT, 14 Februari 2019 di lokasi bangunan tersebut, tepatnya di depan kantin makan.
Kain-kain yang dijualnya kebanyakan merupakan tenunan Timor, terutama dari daerah Amanuban.
Ada juga yang motif Sumba.
Meskipun begitu, dia katakan, tidak banyak yang bisa didapatkan dari menjual tenunan.
Toh dia sebenarnya hanyalah pihak kedua yang meneruskan laku usaha dari organisasi kemasyarakatan Pembinaan Keluarga Sejahtera (PKK) di Kupang.
Adapun keuntungan yang dia dapat dihitung dari setiap potong kain yang terjual.
“Saya jual kain seharga 500 ribu setiap lembar, tapi saya harus setor 475 ribu. Jadi, saya dapat untungnya 25 ribu saja,” kisahnya.
Dengan posisi duduk menyandar pada tembok bangunan yang megah itu, Martinus lalu bercerita tentang perjalanan usahanya.
Dia bilang, selama ini dia menjual kain dengan cara berjalan kaki mengelilingi kota Kupang.
Sejak pagi, dia keluar dari rumah dan singgah di berbagai macam tempat, ruas jalan, toko-toko, warung makan, juga gedung-gedung perkantoran.
Dia tak malu menjajakan itu ke orang-orang, entah mendapatkan respons ataupun tidak.
Dalam sehari, kain Martinus bisa laku tiga sampai empat lembar.
Gedung Sasando, julukan bagi Kantor Gubernur NTT, juga sering disambanginya.
Gedung yang pembangunannya menelan biaya Rp 178 miliar rupiah itu, yang menjadi tempat favorit dia adalah emperan bagian belakang.
Sebuah area keluar masuk dan tongkrongan bagi para pegawai kantor gubernur.
Hari itu, ketika Ekora NTT tanyai, dia sampaikan bahwa kainnya telah terjual tiga lembar.
Komisi dari berjualan kain tersebut kemudian digunakannya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Selain itu, selama ini, bersama istrinya Yosmina Misa, Martinus juga berjuang agar anak-anak mereka yang berjumlah lima orang bisa sekolah.
Yosmina Misa sendiri bekerja sebagai petani kacang dan pemelihara ternak di kampung. Mereka rupanya saling berbagi tugas.
Alhasil, saat ini tiga orang anak mereka telah diwisudakan, sementara duanya sedang duduk di bangku perkuliahan.
Orang-orang yang lewat di kantor itu mungkin hanya melihat dia sebagai seorang lelaki tua penuh uban, penjual kain biasa.
Namun, di balik itu, Martinus Tamonob setidaknya punya guratan kebanggaan.
Meskipun hanyalah seorang penjual kain, dia sukses menyekolahkan anak-anaknya.