Musik Klasik “Fanfare” dan Teater “Tonu Wijo” Membuka Memori Sejarah

Maumere, Ekorantt.com– Kelompok musik klasik “Fanfare” dan pentas teater berjudul “Tonu Wijo” telah membuka memori sejarah bagi masyarakat Maumere yang hadir di Gedung Sikka Convention Center (SCC) Maumere, Sabtu, 25 Mei 2019 malam. Kelompok musik ini merupakan bagian dari musik klasik peninggalan para misionaris Jerman dan Belanda pada tahun 1850 waktu melakukan karya misinya di kota Larantuka hingga pada zaman Uskup Mgr. Gabriel Manek.

Adapun alat musik yang dipakai waktu pementasan lebih didominasi oleh trompet dan dimainkan orang-orang yang sudah tua. Bagi masyarakat Lamaholot, ini merupakan suatu momentum untuk menghidupkan kembali warisan budaya dari nenek moyang mereka.

Dalam sapaan awal oleh Bupati Sikka, Fransiskus Roberto Diogo, dikatakan bahwa pementasan budaya menjadi momentum bagi Sikka dan Lamaholot untuk kembali mengingatkan jati dirinya sebagai kakak dan adik (wue dan wari). Sebab, di masa kerajaan Sikka sekitar tahun 1850, ada seorang raja di Sikka yang sedang kecanduan ganja. Dan saking kecanduan, sang raja pun tak mampu membayar hutangnya kepada pedagang Bugis yang menjual ganja itu.

Raja Sikka akhirnya meminta bantuan kepada Raja Larantuka. “Raja Larantuka pun memberikan bantuan menangkap pedagang Bugis yang akan menyerang Raja Sikka. Sebagai imbalannya, Raja Sikka merelakan sebagian wilayah Sikka dari Geliting ke arah timur dikuasai Raja Larantuka,” ungkapnya.

Ratusan tahun dikuasai Raja Larantuka, Raja Sikka lantas menuntut kembali agar wilayah yang sebelumnya dikuasai harus diserahkan lagi. Pada masa pemerintahan Raja Don Thomas, lanjut Roby, ia berusaha secara politik tanpa pertumpahan darah menjodohkan putri raja sebagai istri dari pangeran Raja Larantuka. Belisnya ialah mengembalikan wilayah Geliting yang semula diserahkan ke Larantuka.

iklan
Silvester Petara Hurit

Terlihat bahwa wilayah Sikka dan Larantuka merupakan satu budaya maka warisan leluhur harus dilestarikan. Sikka dan Larantuka harus berkolaborasi dalam pementasasan budaya secara bersama-sama. Perlu kerja sama budaya pementasan bersama ke level tinggi, namun harus dikelola dengan baik. Hubungan kekerabatan dieratkan kembali lewat budaya.

“Saya dukung penuh pentas ini,” pungkas sang bupati. Hal ini lebih lanjut diungkapkan oleh Vikjen Keuskupan Maumere, RD Telesforus Jenti, O.Carm, yang mengaku tertarik dengan kisah “Tonu Wujo” yang dibawakan Fanfare. “Cerita rakyat ini hampir sama dengan apa yang ada di masyarakat kabupaten Sikka atau masyarakat Ende ‘Ine Pare’. Sebuah kepercayaan yang hidup dalam masyarakat tradisonal yang percaya adat budaya,” tutur dia.

Tonu Wujo” sendiri pernah dipentaskan di kota Kupang tahun kemarin, dan baru kali ini dipentaskan di Maumere. Semua pemain, pemusik dan penari, totalnya sekitar 60 orang. Menurut, Silvester Petara Hurit, penulis naskah sekaligus sutradara pementasan teater “Tonu Wujo”, Minggu teater ini berangkat dari cerita rakyat etnis Lamaholot tentang seorang perempuan bernama Jedo Pare Tonu Wujo. Perempuan yang mengorbankan nyawanya sehingga lahirlah padi (taha), jagung (wata), labu (besi) dan jewawut (weteng).

“Mitos dan cerita-cerita rakyat seperti ini coba kami gali kembali dan pentaskan. Ternyata respons penonton sangat luar biasa. Ini kami lakukan agar cerita-cerita rakyat dan budaya Lamaolot tetap lestari,” tuturnya. Seniman asal Lamaholot ini menyebut, memang awalnya sulit untuk melatih para pemain. Ini terjadi karena para pemain rata-rata hidup di kota. Sementara kisah Tonu Wujo sendiri lebih kuat pada aspek kultur berladang. Selain itu, pemainnya puin bukan datang dari orang teater.

“Kita melatih mereka dari nol, dan pemainnya juga dari berbagai latar belakang profesi dan agama. Tetapi semuanya bisa berjalan dengan baik dan semuanya saling mendukung,” ungkap Silvester. (Chois Ochho/kontributor)

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA