Anne Heintz dan Beberapa Kejadian Tak Terduga

Pada Selasa, 25 Juni 2019, sebelum matahari siang betul-betul menyengat Kota Maumere, Anne Heintz berkunjung ke SMAS John Paul II.

Mahasiswi asal negeri “Kincir Angin” Belanda ini diajak oleh kawannya untuk menyaksikan latihan pementasan kelompok Teater Refrain di sekolah tersebut.

Dan dia terperangah. Dia kira, ajakan itu hanya sebuah jalan-jalan biasa atau  semacam aktivitas formal laiknya orang asing bertamu ke muka tuan rumah.

Toh yang dia dapatkan adalah sebuah tontonan latihan serius dan sekelumit informasi bahwa Teater Refrain akan pentas di Bandung pada bulan Juli mendatang.

Namun, itu hanyalah pengantar saja. Dan kita sekalian boleh jadi menanti bagaimana kelanjutan pertemuan itu. Mungkin reaksi panjang lebar dari Nona Heintz tadi, ataukah penjelasan kenapa Teater Refrain bisa pentas di luar daerahnya.  

iklan

Dua opsi tersebut bakal diteruskan, apabila dan hanya apabila, sebuah pemahaman berikut telah terbersit dalam kepala kita.

Bahwasanya  di tengah ingar-bingar persoalan politik di Indonesia, juga menyeruaknya beragam kasus dugaan korupsi di Kabupaten Sikka, rupanya terdapat sekelompok anak sekolahan di Kota Maumere yang sedang menggelutkan diri di bidang kesenian dan akan mengharumkan nama daerah ini pada level nasional.

Ini memberikan pertanda bahwa Sikka atau Nusa Tenggara Timur sejatinya punya masa depan dan harapan yang baik di tangan generasi muda.

Meskipun percakapan-percakapan generasi muda itu tak selamanya berkutat seputar politik dan hanyalah laku kreativitas biasa secara kasat mata.

Hanya saja, jangan pernah menganggap remeh pada anak muda. Apalagi mereka yang coba menggeluti jalan hidup yang dianggap aneh oleh masyarakat kebanyakan, seperti kesenian tadi.

Kita tahu bahwa zaman selalu bergerak tanpa tebakan dan anak-anak muda tentu punya kecakapan untuk memberi tafsir atasnya. Dengan imajinasi dan kreativitas yang dimiliki.   

Sekarang, kita kembali ke cerita soal Anne Heintz tadi.

Setelah memerhatikan latihan sejenak, dia yang memang belajar khusus soal teater dan penyutradaraan itu pun mencoba membaurkan diri. Dia menyesuaikan diri dengan apa yang telah menjadi modal dasar latihan Teater Refrain selama ini.

Beberapa jurus dasar berteater dia praktikkan, seperti mengatur langkah, tempo dan bentukan pola-pola gerakan tertentu. Raut wajahnya semringah dan dia tampak bersemangat.

“Saya senang sekali karena di kota kecil seperti ini ada anak-anak muda yang bergerak di bidang kesenian. Saya terkejut dan tak pernah berpikir sebelumnya,” bicaranya.

Tentu dalam bahasa Inggris dan komunikasi yang terjalin sedari tadi juga menggunakan bahasa internasional tersebut. Dia tak bisa berbahasa Indonesia. Sama sekali tak bisa.

Dia kemudian bercerita sedikit mengenai kehidupan anak muda di Belanda yang memang mendapat banyak ruang untuk menunjukkan kebebasan berekspresi mereka. Dia bilang, di sana anak-anak muda bisa memilih komunitas mana saja.

“Yang terpenting adalah pengembangan diri sebagai manusia.”

Menurutnya, kesenian, semisal teater, punya dampak untuk membentuk karakter manusia. Di situ refleksi dapat tertangkupkan. Sebagaimana manusia mengolah emosi, membentuk sikap peka dan menjadi makhuk yang mawas diri.

“Saya sangat mendukung aktivitas seperti ini dan harus tetap konsisten,” tambahnya.

Hanya saja, penggalan kalimat tersebut, yakni “…harus tetap konsisten…” dapat dibaca dalam banyak hal. Yang bisa jadi munculkan pemikiran lanjutan ataupun membikin orang tercenung-cenung menatap diri mereka sendiri.  

Itu bakalan jadi sangat panjang dan syukur saja sebelum dilanjutkan, datanglah seorang perempuan muda ke kompleks sekolah.

Dia bilang namanya Berlin dan segera melibatkan diri ke kelompok itu.

Barangkali karena melihat Anne, dia lantas katakan bahwa dia bisa bahasa Inggris dan sempat menjadi dosen di Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur dan mengajar hampir seluruh mata kuliah.

“Saya ini bisa apa saja. Semua hal sudah saya buat,” kata dia.

Setelah itu, Berlin omong panjang lebar soal kisah-kisah dia selama ini. Mulai dari masa SMA-nya yang dihabiskan di 2 sekolah, pengalaman sebagai suster selama beberapa tahun, temuannya soal obat HIV dan AIDS, dan kedekatannya dengan para biarawan/wati  di Maumere.

“Semua orang ini kenal saya. Hanya kalian saja yang tidak tahu,” cerocosnya.

Kali ini Anne kembali terkejut. Tapi, dia berusaha untuk menyamankan diri. Mencoba mengajak pemudi itu bicara dan suasana terjalin cukup akrab. Meskipun Berlin bicara dalam bahasa Indonesia dan Anne, seperti yang sudah kita ketahui, meresponsnya memakai bahasa Inggris.

Hari itu menjadi hari yang menarik bagi Anne. Kepada saya yang juga berusaha memahami tutur kata bahasa asingnya, Anne bilang bahwa kejadian-kejadian tak terduga itu merupakan konsekuensi yang dia pilih  karena putuskan untuk datang ke Maumere seorang diri.

Bahkan, kawan yang membawa dia tadi juga baru dikenalnya ketika tiba di sini.

“Anne, kamu belum punya rencana untuk pergi dari kota ini?” tanya saya.

“Saya kurang tahu. Tapi orang-orang di sini sangat menyenangkan,” jawab dia sambil merangkul Berlin.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA