Bajawa, Ekorantt.com – Setelah melalui perjalanan yang melelahkan dari Moni-Ende, kami bermalam di Riung-Ngada. Ini salah satu rute perjalanan pariwisata saya bersama Dirk dan Uthe, dua turis asal Jerman. Kami menginap di Hotel Bintang Wisata Riung, yang telah dipesan sebelumnya.
Udara pantai terasa begitu menyejukkan. Tenang dan kadang-kadang menghanyutkan. Kami santap malam bersama. Dirk dan Uthe sangat “nyambung” diajak bercengkrama dan berdiskusi.
Pandangan mereka tentang pesona alam Flores sangat luar biasa. Seru dan mengasyikkan.
“Good night,” kami menyudahi obrolan dan melanjutkan malam itu dengan tidur pulas.
12 Agustus 2019. Setelah menikmati sarapan pagi dengan nasi goreng dan buah-buahan segar, kami bergegas ke dermaga yang jaraknya kira-kira 10 menit dari penginapan.
Pukul 08.00, kami memulai petualangan, mengunjungi 17 Pulau Riung. Der..der..der, bunyi bising perahu motor yang kami tumpangi membelah laut sesukanya.
Juru kemudi kapal mengarahkan kami ke Pulau Kelelawar yang juga punya nama lain yakni Pulau Ontoloe. Ribuan kelelawar menghuni pulau dan bergelantungan di pohon-pohon. Karena itulah pulau ini dikenal luas sebagai Pulau Kelelewar.
Cuaca pagi itu cerah. Laut tenang. Hanya ada riak-riak gelombang kecil yang menghantam badan perahu motor kami.
Dirk dan Uthe menunjukkan wajah ceria. Sesekali Dirk menundukkan badan dan menjulurkan tangannya, bermain-main dengan laut. Uthe yang berada di sampingnya berusaha mengabadikan momen dengan kamera ponselnya.
Saya duduk manis di depan mereka. Sampoerna tersisa lima batang. Kuambil satu batangnya. Kemudian kunyalakan dan kutarik dalam-dalam. Nikmatnya terasa ketika asapnya tersembur dari mulut dan dua lubang hidung. Dasar kau sampoerna.

Dari kejauhan, Pulau Kelelawar sudah terlihat. Tapi kelihatan hitam pekat. Makin dekat, pulau yang terlihat hitam samar tadi makin jelas. Ribuan kelelawar bergelantungan di ranting-ranting pohon. Mereka asyik tidur setelah semalaman merayap dalam kegelapan.
“Wow, amazing,” hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut pasangan suami istri ini. Selebihnya, mereka hanya bisa takjub.
Setelah puas menikmati pemandangan Pulau Kelelawar, kami bergegas ke Pulau Bakau, yang ditempuh selama 30 menit.
Nyaliku sempat ciut ketika gelombang setinggi satu meter menghamtam perahu. Tapi Dirk dan Uthe tak gentar. Mereka nyaman-nyaman saja. Juru kemudi pun tidak menunjukkan raut wajah cemas. Kepada saya, ia berbisik; “aman saja. Jangan takut”.
Sesampainya di Pulau Bakau, tanpa berlama-lama, kami langsung menceburkam diri ke laut. Kami bersnorkeling ria, mamanjakan diri dan melepas lelah di tengah lautan.

Setengah jam kemudian, kami bergegas ke pulau berikutnya, Pulau Tiga. Di sana kami juga bersnorkeling ria dan menikmati ikan bakar yang dipanggang dengan bumbu seadanya.
Kendati demikian, rasanya menggugah selera ditambah dengan pemandangan laut biru, bikin hidup jadi lebih hidup.
Perjalanan kami berlanjut ke Pulau Rutong. Hanya dalam hitungan setengah jam, kami sudah berlabuh di pulau dengan pasir putih ini.
Laut hijau toska menyambut kami. Airnya sangat jernih. Ikan-ikan terlihat jelas berenang dengan pemandangan terumbu karang yang aduhai cantiknya.
Kami menaiki bukit di salah satu sisi pulau. Lelah memang, tapi terbayar setelah mencapai puncak. Dari atas puncak bukit yang ditumbuhi semak dan rumput ini, kami melihat lanskap Pulau Rutong dengan segala keelokannya, dikelilingi laut hijau toska.
Tapi kami tidak bisa berlama-lama mengalami “kemuliaan Rutong”. Kami harus turun dan kembali ke kapal. Jadwal perjalanan wisata selanjutnya sedang menanti.
Begitulah 17 Pulau Riung, selalu menjadi tempat spesialku. Ada rindu yang membuncah. Rindu pada pulau-pulaunya. Rindu pada laut biru-hijaunya. Rindu pada kelelawar hitamnya. Rindu yang teramat juga untuk anak-anakku di Maumere sana, Revita dan Lars.
Elisa Maksensia