Romo Vincent, Gereja yang Megah dan Umat yang Mencintainya

Maumere, Ekorantt.com – Paroki  Sanctissima Trinitas, Bloro tergolong masih muda. Sebelum mekar menjadi paroki yang mandiri, wilayah paroki ini adalah sebuah stasi di bawah naungan paroki Santo Mikhael Nita. Baru pada tahun 1994, stasi Bloro ditingkatkan statusnya menjadi paroki dengan nama baptis Sanctissima Trinitas. 

Sebagai sebuah paroki baru, Paroki Bloro kala itu membutuhkan seorang imam muda yang ulet, rajin bekerja, dan penuh semangat. Kehadiran imam muda dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan umat, terutama dalam hal penataan  iman dan pembangunan gedung gereja yang rusak setelah gempa bumi melanda Flores tahun 1992. 

Satu dasawarsa berselang tepatnya tahun 2003, Paroki Bloro mendapat seorang imam baru. Dialah RD. Vincent Tote, Pr  atau yang akrab disapa Romo Vincent.

Romo dengan bakat seni yang luar biasa ini diangkat oleh Uskup Maumere sebagai pastor paroki Sanctissima Trinitas  Bloro. Jabatan sebagai pastor paroki tentu merupakan tugas yang tidak ringan. Ia masih muda dan belum berpengalaman saat itu.

Sebagai Pastor Paroki, Romo Vincent bertekad untuk membangun kembali Rumah Tuhan (Gereja) Bloro menjadi lebih baik. Baginya, Gereja adalah lambang dan salah satu wujud identitas umat Katolik.  Romo menghimbau seluruh umat untuk bergandengan tangan dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan gereja ini. 

iklan

Romo mengenal betul kemampuan ekonomi umatnya. Selain dana dari umat, ia juga turut mencari bantuan dana dari berbagai daerah, hingga dari luar Flores. Alhasil, banyak donatur yang nimbrung memberikan sumbagan untuk pembangunan gereja Bloro. Tidak hanya itu saja. Para donatur juga menyumbangkan pakaian seragam layak pakai kepada peserta didik SMPK Sanctissima Trinitas Bloro.

Selama beberapa tahun, imam muda ini bekerja keras menyukseskan pembangunan gedung gereja Bloro. Ia tidak luput memperhatikan keterlibatan umat. Ia selalu memberikan motivasi kepada umat untuk terus bekerja sama sambil tetap yakin bahwa Tuhan akan selalu menyertai seluruh usaha dan karya  yang telah mereka mulai bersama-sama itu. 

Usaha dan kerja Romo Vincent dan seluruh umat akhirnya menuai bukti. Sebuah gereja dengan arsitektur yang khas berhasil dibangun.  Gedung gereja yang indah dan megah itu sekaligus menjadi capaian dalam sejarah gereja dan umat Katolik Bloro.

Romo yang murah senyum, kelahiran Ende ini sungguh memperhatikan nilai estetika dalam pembangunan gereja. Gereja Bloro dirancang dengan gaya Eropa berpadu nuansa khas Sikka. Hal ini terlihat  dari candi gereja yang menjulang tinggi dengan patung para malaikat di beberapa sisinya.

Tampilan eksterior ala renaissance dipadukan dengan sentuhan lokal Sikka yang tampak pada dinding-dinding gereja. Pola-pola guratan bermotif sarung Sikka mewarnai dinding gereja ini. Aksesoris-aksesoris interior dipilih dan ditempatkan dengan sangat jeli.  Lukisan pada stasi/perhentian jalan salib, jendela-jendela, meja mimbar yang bagus dan indah didesain sendiri mengikuti gaya modern sekaligus etnik tadi. Tidak mengherankan bila pembangunan gereja ini harus menghabiskan waktu sepuluh tahun. 

Uskup Maumere kala itu, Mgr.Kherubim Parera, SVD dan  Uskup Agung Ende, Mgr Vinsensius Poto Kota Pr, juga memberikan apresiasi kepada Romo Vincent atas usahanya membangun Gereja Bloro tersebut. Umat Bloro tidak hanya memiliki bangunan yang layak untuk beribadah, tetapi juga nyaman, indah, dan monumental.

Seiring berjalannya waktu, Gereja yang indah dan menarik itu kerap menghiasi media sosial. Siapa pun yang  datang atau sekedar lewat di wilayah paroki Bloro pasti berswafoto di halaman atau di dalam gereja tersebut.

Gereja itu menjadi kebanggaan umat Katolik seluruh Keuskupan Maumere. Umat Bloro pun bahagia dan memberikan pujian kepada Romo Vincent karena usaha mereka bersama telah berhasil mendirikan  gereja yang sangat indah dan bagus. 

Beberapa saat setelah gedung gereja berdiri megah di bukit  Bloro, Romo Vincent dimutasikan ke paroki Kloangpopot. Keputusan ini mengecewakan banyak umat. Ada yang marah, protes, dan menolak keputusan tersebut.

Namun, tidak demikian bagi Romo Vincent. Ia mengikuti saja kebijakan pemimpin gereja lokal dan siap berangkat menuju tempat tugas yang baru. Ia menghibur umat dengan membandingkan peristiwa mutasinya dengan cerita tentang  nabi Musa yang tidak dapat melihat dan menyaksikan sendiri bangsa Israel masuk ke tanah terjanji. Seperti halnya Musa, Romo Vincent yakin bahwa ia hanya dipakai Allah sebagai perintis.

Sejak pindah ke paroki Kloangpopot tahun 2013, kabar berita dan komunikasi  antara umat paroki Bloro dengan Romo Vincent pelan-pelan berkurang bahkan menghilang. Waktu seakan memisahkan umat dan bekas gembalanya itu.   

Baru setelah kurang lebih 6 tahun berpisah, Romo Vincent muncul di tengah-tengah umat. Ia datang  dan hadir bersama umat pada perayaan Minggu Paskah yang lalu. Semua sungguh di luar dugaan umat paroki  Sanctissima Trinitas Bloro. Meski ia hadir dengan cara dan keadaan yang jauh berbeda.

Suasana perayaan Minggu Paskah di paroki Sanctissima Trinitas Bloro (21/4/2019) sangat meriah. Kurang lebih seribu umat hadir memenuhi bangunan Gereja. Umat yang lain mengikuti perayaan  misa dari luar gereja.

Misa Paskah itu dipimpin oleh RD. Martoni Tangi, Pr selaku pastor paroki Bloro. Koor dari lingkungan Santo Petrus Wukak menyemarakkan perayaan ekaristi hari itu.

Ketika memasuki liturgi sabda, suasana dalam gereja seolah berubah. Dalam suasana hening, Romo Vincent muncul di tengah-tengah umat. Perawakannya tidak asing lagi  bagi umat paroki Sanctissima Trinitas Bloro yang sungguh mengenalnya dengan akrab.

Dulu, kehadirannya selalu dinanti-nantikan. Gaya humor selalu menjadi ciri khas dalam khotbah-khotbahnya. Pesan khotbahnya begitu mudah dipahami oleh umat dari berbagai kalangan. Khotbahnya menjangkau seluruh tingkat usia maupun pendidikan. Salah satu alasan umat hadir di misa setiap hari minggu adalah karena  ingin mendengar khotbahnya yang menyentuh keseharian hidup mereka. 

Meski kerinduan ini begitu lekat di hati umat, pada misa kali ini Romo Vincent tidak hadir untuk berkhotbah seperti yang biasa ia lakukan. Ia masuk ke gereja dengan sebuah kursi roda, dipandu oleh  seorang umat. Penyakit stroke seakan mengubah segalanya. 

Penampilannya begitu sederhana. Ia  hanya mengenakan baju kaos oblong berwarna biru dan selembar kain lipa. Badannya terlihat kurus.  Namun, wajahnya tampak begitu ceria. Kebahagiaan  bertemu dengan umat Bloro yang terpendam selama 6 tahun terpancar jelas di wajahnya.  

Peristiwa ini menggugah hati sanubari sebagian besar umat. Beberapa umat meneteskan air mata saat melihat sosoknya sembari mengingat kembali pribadi yang  mereka kenal sebagai pekerja ulet, perancang gereja Sanctissima Trinitas Bloro, sekaligus seorang yang mencari dana kemana-mana untuk mengembangkan parokinya.

Kini, keadaannya berubah  drastis. Hampir separuh waktu ia habiskan di atas kursi roda. Dulu selalu ada humor segar yang keluar dari mulutnya. Kini ia hanya diam dan membisu. Semua umat terpaku kaku melihat sosok Romo Vincent Tote, Pr. 

Selama mengikuti misa, Romo Vincent  duduk bersama umat di bangku paling depan. Sesekali ia menoleh ke kiri dan ke kanan dinding gereja. Ia seolah  melihat-lihat hasil karyanya itu, menyelidiki apakah ada perubahan pada bangunan Gereja itu atau masih seperti yang dulu. 

Kerinduannya untuk mengikuti misa bersama umat  paroki Bloro sangat kuat. Ia sesungguhnya berharap bisa menghabiskan pekan suci bersama umat. Namun, kesehatannya tidak mengizinkan hal itu.  Ia harus puas. Keinginannya terpenuhi walaupun hanya saat Hari Raya Paskah.  

Selesai misa,  Romo Vincent menerima salaman dari umat paroki Bloro di depan pintu gereja. Romo menangis menyaksikan umat yang  berbaris rapi, menunggu giliran bersalaman dengannya.

Beberapa bapa yang dulu menjadi teman guyon yang akrab dengannya pun ikut menangis melihat perubahan fisik Romo Vincent. Ia seolah  perlahan-lahan mulai dimakan waktu. Beberapa lain menguatkannya dengan guyonan yang dulu sering ia lontarkan. Mengalami semua itu, Romo Vincent memberikan senyum yang merekah indah di bibirnya.

Sebagai seorang gembala,  Romo Vincent telah memberikan contoh dan teladan yang baik. Ia menjadi gambaran pelayan umat yang total dan ulet bekerja tanpa kenal lelah. Walau dalam kondisi keterbatasan fisik, ia masih menyempatkan diri  mengunjungi umatnya, ibarat Maria yang mengunjungi Elisabeth saudaranya.

Bagi umat Bloro, kunjungan ini seakan menjadi pewartaan tersendiri. Betapa kehadiran seorang pastor yang setia dan teguh terkadang lebih berarti dari pada seluruh nasihat moral dan kata-kata yang membusa di depan mimbar.

(Agus Bajo, Kontributor)

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA