Maumere, Ekorantt.com – 74 tahun Indonesia merdeka belum menjamin Indonesia bebas dari masalah perdagangan orang.
Pekerja Migran Indonesia (PMI) selalu mengalami masalah baik selama proses pemberangkatan maupun setelah berada di luar Negeri.
Data Kementerian Luar Negeri, yang diberitakan Media Cetak Kompas, menunjukkan, seratus sembilan puluh lima (195) PMI terancam hukuman mati di beberapa Negara.
Di antaranya adalah di Malaysia sebanyak seratus lima puluh empat (154) orang, di Arab Saudi sebanyak dua puluh (20) orang, di Cina sebanyak dua belas (12) orang, di Uni Emirat Arab sebanyak empat (4) orang, di Laos sebanyak dua (2) orang, di Singapura sebanyak dua (2) orang, dan di Bahrain sebanyak satu (1) orang.
Sementara itu, data Jaringan Nasional (Jarnas) Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) PMI NTT menunjukkan, PMI asal NTT yang meninggal di luar negeri mengalami peningkatan setiap tahun.
Pada tahun 2016, empat puluh enam (46) PMI asal NTT, dengan rincian dua puluh enam (26) laki-laki dan dua puluh (20) perempuan, meninggal.
Dari 46 orang meninggal itu, empat (4) PMI prosedural dan 42 lannya PMI non-prosedural.
Pada tahun 2017, PMI meninggal sebanyak 62 orang, dengan rincian 43 laki-laki dan 19 perempuan.
Dari 62 orang meninggal itu, satu (1) PMI prosedural dan 61 lainnya PMI non-prosedural.
Pada tahun 2018, jumlah PMI meninggal meningkat menjadi 105 PMI, dengan rincian 71 orang laki-laki dan 34 orang perempuan.
Dari 105 orang meninggal itu, tiga (3) PMI prosedural dan 102 lainnya PMI non-prosedural.
Sementara itu, pada Agustus 2019, sebanyak 74 jenazah dikirim ke NTT.
Ketua JarNas Anti TPPO Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengatakan, dalam kasus seratus sembilan puluh lima (195) PMI yang terancam hukuman mati, pemerintah Indonesia mesti melakukan pendampingan hukum dan lobby politik untuk melindungi warga negaranya itu.
Selain itu, perempuan yang biasa dipanggil Sara ini, mengatakan, Indonesia masih sangat lalai memberikan perlindungan bagi warga negara yang bekerja di luar negeri.
Hal ini terlihat pada meningkatnya kasus pemulangan jenazah PMI yang berasal dari NTT.
Setiap tahun, jumlah jenazah yang dipulangkan ke NTT selalu mengalami peningkatan.
Pada Agustus 2019 ini, NTT telah menerima tujuh puluh empat (74).
Kasus hukumnya tidak diproses.
Sara, yang juga Anggota Komisi VIII DPR RI ini, mengatakan, pemerintah Indonesia harus melakukan pengawalan terhadap kasus-kasus hukum PMI.
Hal ini sangat penting dilakukan agar keluarga korban bisa mendapatkan hak-haknya.
Sekretaris JarNas Anti TPPO Andy Ardian dari ECPAT Indonesia mengatakan, pemulangan 74 jenazah PMI ke NTT merupakan tuaian hasil dari pembiaran Negara.
Negara tidak melindungi warga negaranya yang terpaksa bekerja di luar negeri dan terjerat sindikat perdagangan orang.
Andy mengatakan, kemiskinan menyebabkan masyarakat NTT rentan menjadi korban perdagangan orang.
Selain itu, Indonesia juga perlu mewaspadai situasi rentan saat terjadinya bencana.
Menurut dia, sebagai Negara yang rawan bencana, warga Negara Indonesia bisa lebih gampang dimanfaatkan oleh sindikat perdagangan orang dengan motif pemberian bantuan.
Ketua Bidang Advokasi JarNas Anti TPPO Gabriel Goa mengatakan, penanganan dan perlindungan hukum bagi korban perdagangan orang masih belum maksimal.
Para Aparat Penegak Hukum (APH) dinilai belum optimal menerapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Selain itu, pantauan dan pengalaman pendampingannya selama ini menunjukkan, masih ada oknum APH yang terlibat dalam kasus perdagangan orang.
Menurut dia, Negara harus hadir untuk melindungi dan memenuhi hak para korban perdagangan orang.
Laki-laki yang biasa dipanggil Gabby ini mengatakan, lembaga-lembaga Negara perlu bekerja sama dengan pegiat anti perdagangan orang, lembaga regional, dan lembaga internasional untuk menyelamatkan PMI yang menjadi korban perdagangan orang.
Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (Jarnas Anti TPPO) memiliki visi dan misi, yakni terwujudnya Indonesia yang bebas dari tindak pidana perdagangan orang, mendorong penegakan dan penerapan hukum yang progresif demi tercapainya keadilan bagi korban TPPO, dan melakukan advokasi pemenuhan hak-hak korban serta sistem rehabilitasi pelaku TPPO secara nasional dan internasional.
JARNAS berharap, pemerintah mengutamakan agenda perlindungan warga negara dari bahaya perdagangan orang.
Mereka juga mendorong Presiden Jokowi memimpin langsung Rapat Koordinasi Nasional Gugus Tugas TPPO yang akan dilaksanakan di Kupang, NTT pada akhir Agustus 2019 nanti.
Situasi Perdagangan Orang di Indonesia
Dalam rilisnya, Jarnas Anti TPPO menandaskan, berdasarkan data statistik BNP2TKI, sepanjang tahun 2012-2018, PMI meninggal sebanyak 1.288 orang.
Malaysia merupakan negara tujuan PMI yang menduduki posisi tertinggi dengan angka kematian sebanyak 462 kasus, lalu disusul Arab Saudi sebanyak 224 kasus, Taiwan 176 kasus, Korea Selatan 59 kasus, Brunai Darussalam 54 kasus, dan Hongkong 48 Kasus.
Kasus perdagangan orang di Indonesia yang tercatat sebesar 5.551 kasus.
Dari 5.551 kasus itu, perempuan memiliki tingkat kerentanan tertinggi sebanyak 4.888 (73%), anak perempuan 950 (14%), laki-laki dewasa 647 (10%), dan anak laki-laki 166 (2,5%).
Data Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang oleh Bareskrim Polri tahun 2011-September 2018 menunjukkan, jumlah laporan sebesar 101 kasus dengan rincian korban TPPO sebanyak 1.321 perempuan dewasa, 46 anak perempuan, dan 96 laki-laki dewasa.
Dalam memberikan perlindungan hukum pada masalah perdagangan orang, Indonesia telah berkomitmen meratifikasi beberapa konvensi internasional.
Indonesia juga telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Namun, ada beberapa kelemahan dalam implementasi undang-undang ini, di antaranya adalah pertama, penerapan restitusi yang belum maksimal.
Kedua, masih adanya penerapan subsider dalam penggantian hukuman.
Ketiga, masih sangat sedikit penjatuhan pidana pada kasus perdagangan orang yang melibatkan koorporasi.
Keempat, masih banyak kasus TPPO yang tidak menggunakan UU 21/2007 tentang TPPO.
Kelima, masih belum maksimal menghukum pelaku TPPO.
Selain itu, Indonesia juga telah memiliki Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Namun, kehadiran undang-undang ini belum maksimal memberikan perlindungan bagi saksi dan korban.
Akhirnya, Jarnas Anti TPPO memberikan rekomendasi sebagai berikut.
Pertama, melakukan revisi UU 21/2007 tentang TPPO, dengan memberikan kompensasi pada kasus PMI yang meninggal di luar negeri.
Kedua, melakukan pengawasan terhadap kinerja LPSK agar pro-aktif menangani kasus TPPO di Indonesia.
Kelima, mengaktifkan kembali gugus tugas TPPO di bawah koordinasi langsung presiden.
Keenam, mendorong terbentuknya badan nasional yang khusus menangani masalah TPPO.