Gagasan Kecil di Balik People Power, Pameran Foto Andry Sola

Kami duduk di kamar berukuran 1.5×3 m di sebelah selatan keramaian jalan. Tidak ada yang berubah dari situasi kamar itu: galon, tiga buah gelas, sendok yang baru dibeli, sebuah komputer bekas, kipas angin, toilet dan kamar mandi yang sedikit pengap akibat sisa kotoran yang tersumbat.

Yang berubah hanyalah tumpukan pakaian yang makin tinggi. Barangkali telah seminggu tak masuk mesin cuci. Andry memainkan sebuah laptop pemberian saudarinya dari Italia, sedang saya menikmati lelucon satir Abdur di akun youtube.  

Jeda di antara kamar sempit bermula percakapan ketika ia melontarkan pendapat tentang bagaimana caranya bertahan hidup sambil tetap fokus pada hobi. Hobi itu tidak sekedar alat hiburan atau pengisi rasa lapar. Ia merasa hobi perlu menjadi ide yang tetap hidup, segar; menjadi media produksi pengetahuan dan pada akhirnya hadir sebagai suara perlawanan terhadap berbagai sistem dan mekanisme hidup yang barangkali jauh dari harapan. Ide itu adalah dialektika kehidupan yang tak mencapai titik penuh.

Kami merencanakan sebuah perjalanan singkat. Perjalanan itu akan sampai di beberapa titik singgah yang kami anggap cukup untuk belajar dan bertahan hidup. 

Meski pada akhirnya rancangan perjalanan singkat tersebut tercapai, kami mesti menjalankannya dengan bentuk yang berbeda. Salah satu sekolah menengah atas yang giat dalam aktivitas kesenian di Maumere mengundang kami untuk terlibat dalam produksi teater di Bandung. Di sepanjang jalan-jalan di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta-lah, ide awal di sebuah kamar kecil itu mendapat apinya. 

iklan

Saat kembali Agustus lalu, seorang rekan kami, Eka Nggalu berusaha merumuskan apa yang kami pikiran dan saksikan dalam perjalanan singkat itu, “pekerjaan pertama kita adalah menciptakan lingkungan”, katanya. Kembali ke kamar tidur kecil itu, kami mulai bekerja untuk apa yang telah kami mulai sejak empat tahun yang lalu. 

***

Pameran foto tunggal dengan tema People Power merupakan salah satu bentuk pengembangan wacana yang dilakukan oleh Komunitas KAHE Maumere melalui salah satu karya anggotanya yakni Andry Sola. 

Karya-karya yang terangkum dalam pameran ini merupakan kumpulan karya Andry selama menjalankan profesinya sebagai fotografer. Andry merekam kumpulan perjalanannya dalam foto, tidak sekedar sebagai sebuah dokumentasi atas kerjanya -sebagaimana untuk menjawab kebutuhan finansial atau bisnis pesanan oleh orang-orang yang membutuhkan tenaganya- melainkan, lebih dari itu, Andry merekamnya sebagai suatu catatan perjalanan yang hendak berbicara lebih jauh dan lebih dalam tentang fenomena kehidupan yang barangkali sering lepas dari pengamatan dan refleksi bersama banyak orang.

Inisiatif untuk melaksanakan pameran ini pertama kali muncul saat file-file foto itu ditemukan ketika Andry sedang membongkar-bongkar laptopnya. Melihat kualitas yang kuat dari foto-foto terbengkalai itu, komunitas KAHE berinisiatif untuk menampilkannya sebagai sebuah karya pameran. Foto-foto itu pun bisa dijadikan sebagai pemantik untuk membahas masyarakat dan aktivitasnya, dalam hubungannya dengan kekuasaan, entah negara, entah kapital.

Ada sebuah pertanyaan mendasar yang coba diangkat dalam pameran foto ini: apakah seni, dalam hal ini foto, mampu menjadi jalan untuk mengungkapkan problem masyarakat dalam hubungannya dengan kekuasaan?

***

Dua puluh lima foto yang dipajang dalam pameran tunggal Andry Sola dalam rangka 50 tahun STFK Ledalero merupakan karya orisinal yang menampilkan wujud masyarakat Flores pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Dipajang dalam format segitiga dengan menggunakan empat buah praktisi, karya yang dipajang dalam bingkai di dua sisi partisi ini seakan-akan mengajak para pengunjung untuk melihat realitas kehidupan tidak saja pada satu sisi: permukaan, depan, halaman, panggung, tetapi lebih jauh masuk ke dalam, ke ruang paling inti, menyibak sekat-sekat, ke kedalaman, ke inti kehidupan. 

Pernyataan ini tidak bermaksud menegasi apa yang barangkali selama ini melekat erat dan dekat dengan kehidupan kita. Sebab, barangkali potret atau kerja fotografer juga tidak lepas dari kepentingan, rasa lapar dan prestise di kalangan seniman foto sendiri. Atau memang foto terbatas pada pengambilan realitas dalam frame tertentu semata. Karena itu, kejujuran merupakan prasyarat utama dari karya yang dipajang sebagai wacana melawan sesuatu secara mainstream ditampilkan, meskipun yang ditampilkan itu hanyalah kepalsuan. 

Sambil melihat kemungkinan-kemungkinan lain tentang keterbatasan foto dan fotografer, barangkali pernyataan di atas adalah sebuah kalimat reflektif yang perlu dibenturkan dengan keras sebagai sebuah gugatan kepada sekalian kita yang sering terjebak dalam aktivisme semu belaka. 

Mengikuti skema yang membawa para pengunjung menuju keseluruhan pameran ini, foto dibuka dengan tarian adat Sikka; sebuah ritus pembersihan ladang yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di kabupaten Sikka.

Dalam tarian adat ini, seorang pria ditopang beberapa pria lainnya menggunakan sebilah bambu. Selanjutnya, penari tersebut (yang hanya menggunakan perutnya sebagai tumpuan di atas bambu itu) menari dengan gerakan melingkar, dibantu oleh para penopang di bawahnya. Tarian dalam ritus berkebun ini barangkali telah pudar bersama masuknya teknologi yang membanjiri hari-hari kehidupan kita.

Andry memotret dan memajangnya tidak sekedar sebagai pintu masuk bahwa pameran tersebut terjadi di Maumere; atau memotretnya sebagai sebuah ritual dan tidak sekedar ditampilkan sebagai hiburan para pejabat. Lebih jauh, foto ini berbicara tentang kemungkinan melihat tarian sebagai identitas yang perlu bergerak di antara gempuran teknologi yang kian masif melanda kehidupan masyarakat kita.   

Bergerak ke timur ruang pamer, pengunjung dihadapkan pada potret seorang bapak bersama para penumpang kapal dalam Semana Santa; tradisi agama dan budaya masyarakat Flores Timur. Selain itu, foto-foto yang merekam anak-anak di kampung Wuring, sebuah  perkampungan nelayan di utara kota Maumere ini juga tampak kuat sebagai cerita tentang keseharian orang-orang Flores pada umumnya; laut, terik yang menyengat, sekolah, agama, tempat bermain dan mengejar ilmu masih kuat dalam kebiasaan anak-anak Flores. Tidak hanya itu, cerita tentang seorang ibu yang menenun di kampung adat Bena, Bajawa, Kabupaten Ngada turut memberi cerita tersendiri tentang betapa kayanya orang-orang Flores dalam kebudayaan yang melingkupinya.

Selain di kampung Wuring, Andry juga merekam aktivitas anak-anak Kojadoi yang kembali ke kampung halamannya setelah sekolah berakhir. Melewati daratan kecil yang bakal hilang jika pasang laut terjadi, foto ini bercerita tentang pentingnya persatuan antara sekolah dan alam; tempat manusia berpijak dan melangsungkan hidupnya. Barangkali foto ini juga dapat ditafsir sebagai sebuah kritik terhadap lembaga pendidikan yang dalam penerapan ilmunya seringkali menjauhkan subjek pendidikan dari realitas keseharian tempat ia berpijak.

Refleksi dan kritik ini sejalan dengan dua foto di sampingnya. Foto tersebut merekam dua orang anak yang menghabiskan waktu bermainnya di pusat gempa tahun 1992. Gempa pada tahun 1992 merupakan peristiwa kelam bagi masyarakat Flores umumnya dan orang-orang Maumere khususnya. Meski telah terjadi di 27 tahun yang lalu, peristiwa kelam ini mestinya tidak sekedar menjadi trauma, tetapi lebih dari itu mesti menjadi ingatan yang menggerakan warganya untuk selalu memelihara ekosistem pantai dan segala lanskap pantai yang melingkupinya. 

Peristiwa laut memang dekat dengan kehidupan orang-orang Flores. Di kampung Wuring misalnya, aktivitas itu melekat erat. Kapal, jangkar, layar, ban, rumah papan, bukanlah sekedar atribut, tetapi penanda identitas yang melekat dengan orang-orangnya. Andry memotretnya tidak sekedar sebagai potongan foto untuk selanjutnya diverifikasi sebagai sebuah pertanyaan tentang benar tidaknya peristiwa itu, tetapi merekamnya sebagai cerita saat pertama kali dinikmati dan terbentuk dalam imajinasi. 

Selain merekam peristiwa laut, Andry juga memotret peristiwa ekonomi yang dekat dengan kehidupan para nelayan. Kehidupan ekonomi ini terlihat dalam aktivitas jual-beli di Tempat Penjualan Ikan (TPI) Maumere pada pagi hari. Meski tampak sebagai rutinitas, foto tersebut merekam peristiwa lazim yang barangkali tak lazim bagi sebagian tempat di Indonesia bahkan belahan bumi ini. Seorang muslimah, menggunakan jilbab menerima dengan tulus seorang biarawati di salah satu sudut TPI itu. Potret tersebut tidak sekedar merekam peristiwa sebagai peristiwa, sebagaimana lazimnya toleransi yang telah kuat mengakar dalam masyarakat Flores dan Maumere khususnya. Tetapi lebih dari itu, potret tersebut merekam peristiwa sebagai pesan tentang betapa indahnya perbedaan.

Andry memang sengaja menempatkan warna hitam putih dalam pameran tunggal yang pertama ini. Bukan tanpa alasan ia memilih warna hitam putih ini. Menurutnya, sejak menggeluti profesi sebagai fotografer sejak 2012 silam, ia masih percaya bawah pekerjaan seorang fotografer akan berakhir pada mesin cetak. Foto yang dicetak baginya memiliki kekuatan tersendiri.

Namun, di era media sosial, banyak fotografer terjebak dengan tuntutan penikmat media. Akibatnya, banyak fotografer menggunakan warna tanpa mempertimbangkan alasan-alasan kuat yang melatarbelakanginya. Imbasnya, foto kehilangan kekuatan ceritanya. Itu sebabnya, dalam pameran kali, Andry tidak sekedar mengangkat foto-foto itu ke partisi karena sesaknya file foto dalam hardisknya. Namun lebih dari itu, ada semacam penegasan dan perlawanan di balik alasan-alasan pameran itu dilaksanakan. Andry ingin agar foto-foto itu sendiri memberi ceritanya, dan kita, sebagai pengunjung dan penikmat bebas memberi warna pada foto-foto itu. 

Barangkali, pameran tunggal pertama di kota Maumere ini tak sedalam gerakan masyarakat di Metro Manila, Filipina tahun 1986 yang menggulingkan pemerintah korup otoriter Ferdinand Marcos. Namun, sebagiamana Eka Putra Nggalu dalam catatan kuratorialnya, foto-foto ini merekam narasi-narasi keseharian masyarakat di beberapa kampung dan pinggiran kota yang tak tersentuh oleh isu-isu besar dan global yang mendapat perhatian media dan diperbincangkan sebagai isu nasional. Foto-foto dalam pameran ini secara tegas mengkritik kecenderungan demokrasi yang kerap terjerumus dalam antroposentrisme dan universalisme yang sempit. 

Gee Mario, penggiat di Komunitas KAHE, Maumere

Catatan redaksi: Pameran Tunggal Fotografi Andry Sola yang diberi judul “People Power” dilaksanakan pada 4-6 September 2019, di ruang teologi STFK Ledalero, bertepatan dengan perayaan 50 Tahun STFK, Ledalero-Maumere

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA