Mengungkap Fakta Pelanggaran Hukum dan HAM Pasca Aksi Anti Rasisme di Tanah Papua

Jayapura, EKORA NTT – Satu bulan pasca gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah di Tanah Papua, publik masih mempertanyakan kejelasan terkait adanya korban luka dan jiwa. Pada 2 September 2019, Polda Papua merilis sejumlah kerusakan pasca demonstrasi tanggal 29 Agustus di Jayapura. Disebutkan setidaknya 15 unit perbankan yang dirusak, 7 unit pos polisi yang dirusak dan dibakar. Selanjutnya 24 unit kios dan toko yang dirusak dan dibakar. Terdapat 33 unit kendaraan roda dua dan 36 kendaraan roda empat yang dirusak dan dibakar. 

Kepolisian bekerja dengan cepat dalam merilis data kerugian material. Tetapi masyarakat tidak tahu berapa banyak korban luka dan jiwa terutama dengan adanya beberapa aksi sweeping yang dilakukan kelompok masyarakat tertentu. Hal ini menegaskan adanya upaya pembatasan informasi yang secara sengaja dilakukan. Dan ini merupakan bentuk diskriminasi yang berdampak pada tidak terpenuhinya hak hak korban dan keluarganya untuk mendapatkan keadilan. 

Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Papua untuk semua (selanjutnya disebut Koalisi) telah melakukan investigasi independen sebagai mekanisme kontrol (check and balances) atas monopoli informasi oleh institusi negara. Berdasarkan temuan Koalisi, pada tanggal 29 Agustus, ada 3 warga sipil yang tertembak. Dua warga terkena peluru nyasar saat massa aksi demonstrasi di Expo Waena, 1 warga lainnya tertembak di Abepura, pasca aksi demo.

Selain itu, Koalisi menemukan adanya aksi sweeping yang dilakukan oleh Kelompok masyarakat tertentu pada tanggal 30 Agustus. Akibatnya, setidaknya 9 orang mengalami luka berat dan ringan karena senjata tajam. Sedangkan 1 orang pemuda meninggal dunia.

Pada tanggal 1 September 2019 juga telah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat terhadap penghuni Asrama Mahasiswa Nayak I Kamkey, Abepura. Akibatnya, sebanyak 19 orang menjadi korban (17 orang mengalami luka karena lemparan batu dan senjata tajam, 1 orang meninggal karena tertembak dan 1 orang  lain terluka karena tembakan.

iklan

Koalisi juga menemukan setidaknya 8 orang masyarakat sipil dan 1 anggota TNI meninggal dunia dalam aksi demonstrasi di Deiyai pada tanggal 28 Agustus. Selanjutnya, 17 orang mendapatkan kekerasan fisik dan 2 orang luka karena tembakan aparat. Sampai saat ini, aparat masih terus melakukan penyisiran dan masyarakat masih mengalami intimidasi dan teror. 

Korban tembak, luka, dan kekerasan fisik juga ditemukan di Timika dan Fakfak. Berdasarkan investigasi Koalisi, 2 orang tertembak dan setidaknya 18 orang mengalami kekerasan fisik di Timika pada tanggal 21 Agustus. Sedangkan di Fakfak, pada hari yang sama, 1 orang terkena luka tikam, 1 orang terkena lemparan batu dan 1 orang terkena peluru nyasar. 

 Sayangnya upaya pengungkapan pertanggung jawaban pidana bagi para pelaku  belum dapat diketahui oleh publik. Padahal pihak kepolisian secara agresif terus melakukan penangkapan terhadap mereka yang diduga sebagai provokator demonstrasi. 

Selain melakukan investigasi terkait berbagai peristiwa pasca demo melawan rasisme, Koalisi juga mendirikan Posko Pengaduan Masyarakat Sipil-Papua Untuk Semua (selanjutnya disingkat Posko Ko Masi Papua) pada 9 September 2019. Inisiatif ini lahir untuk mendapatkan data yang kuat dan valid terkait berbagai laporan masyarakat dengan maraknya intimidasi dan teror. 

Seminggu pasca pendiriannya, Posko Ko Masi Papua terus menerima pengaduan dari masyarakat. Per tanggal 14 September, tim posko telah menerima 26 laporan, terkait dengan penangkapan diluar prosedur hukum, intimidasi dan teror sampai pada laporan hilangnya seorang anggota masyarakat pasca aksi demonstrasi. Pengaduan yang masuk berasal dari beberapa kota di Papua dan Papua Barat. 

Koalisi memperkirakan pengaduan akan terus meningkat seiring dengan intensnya aksi penyisiran dan penangkapan yang  terus dilakukan oleh aparat. Oleh karena itu Koalisi meminta korban maupun keluarga korban untuk dapat melapor, baik mereka yang mendapat intimidasi, teror, salah tangkap hingga kekerasan fisik. Laporan masyarakat ini sangat penting dalam membangun narasi alternatif bagi pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi para korban.

Koalisi juga menaruh perhatian  pada penangkapan sewenang-wenang yang sedang dilakukan di Papua dan Papua Barat.  Menurut data Koalisi, sudah ada 96 yang ditetapkan tersangka. Di Jayapura ada 39 orang, Kabupaten Timika : 8 orang, Kabupaten Deiyai : 16 orang, Kabupaten Manokwari : 19 orang dn Kota Sorong : 14 orang.

Hanya dalam waktu satu bulan,sudah ada 96 tersangka di Papua dan Papua Barat. Akan tetapi penangkapan dalam jumlah besar ini tidak prosedural dan imparsial. Koalisi menemukan pola penegakkan hukum yang tidak proporsional, dengan ketiadaan surat perintah penangkapan dan tembusannya kepada keluarga, adanya penyiksaan, pelanggaran hak atas bantuan hukum hingga dugaan salah tangkap.  

Aksi penyisiran, intimidasi, teror dan penangkapan yang terus dilakukan oleh aparat seakan bertentangan dengan narasi ‘kondusif’ yang terus disampaikan oleh negara dan instrumennya.  Kegagalan lain negara dalam memberikan rasa aman terbukti dengan kepulangan ribuan mahasiswa dari berbagai kota studi ke Papua. Banyak laporan yang diterima Koalisi terkait perlakuan rasis, intimidasi maupun teror yang mereka trima pasca demonstrasi anti rasisme. Tetapi juga karena ketakutan yang dialami oleh keluarga mereka. 

Keberadaan mahasiswa ini menunjukkan bahwa persepsi ‘aman’ dan ‘kondusif’ seperti yang dinarasikan negara, tidak menjadi pengalaman kolektif. Pemerintah harus memastikan hak mereka untuk tetap melanjutkan pendidikan tetapi juga jaminan atas keamanan mereka.  Koalisi mendesak Pemerintah pusat, pemda provinsi Papua dan Papua Barat, maupun pemerintah kabupaten dan kota untuk bertanggung jawab secara penuh atas nasib ribuan mahasiswa tersebut.  Mereka adalah korban dan tidak boleh dijadikan beban apalagi diabaikan hak nya untuk mendapatkan akses pendidikan. Karena kepulangan mahasiswa merefleksikan kegagalan negara dan instrumentnya dalam memastikan keamanan setiap warganya tanpa terkecuali. 

Oleh karena itu, Koalisi menyampaikan tuntutan sebagai berikut:

  1. Meminta pemerintah dan kepolisian untuk mengeluarkan data valid terkait jumlah korban luka dan jiwa pasca demonstrasi 
  2. Memastikan adanya tuntutan hukum terhadap para pelaku kejahatan 
  3. Menjamin para korban dan keluarganya bisa mendapatkan reparasi yang menyeluruh dan efektif
  4. Memastikan pemenuhan terhadap hak-hak tersangka demonstrasi selama menjalani pemeriksaan. 
  5. Pemerintah menghentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap advokat, aktivis, jurnalis dan pembela HAM
  6. Hentikan kriminalisasi pasal makar terhadap masyarakat sipil Papua
  7. Mengadakan peninjauan mendalam terkait taktik yang digunakan polisi dan tentara dalam penanganan kerumunan massa
  8. Segera menarik semua pasukan BKO dari seluruh wilayah di Tanah Papua dan memperkuat peran pemerintahan sipil di Tanah Papua
  9. Melaksanakan pemulihan hukum dan sosial akibat konflik sosial pasca-kerusuhan yang terjadi di provinsi Papua dan Papua Barat. 
  10. Membuka akses seluas-luasnya  bagi jurnalis dan pekerja kemanusiaan ke Tanah Papua 
  11. Meminta tanggung jawab penuh pemerintah nasional, provinsi, serta kota dan kabupaten di Papua dan Papua Barat untuk memenuhi hak ribuan mahasiswa terhadap akses pendidikan pasca kepulangan ke Papua
  12. Pemerintah pusat segera menyelesaikan konflik Papua secara komprehensif dan bermartabat.

Rilis Pers ‘Koalisi Masyarakat Sipil -Papua Untuk Semua (Ko Masi Papua)’, Selasa, 17/9/2019.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA