Pemda Sikka di bawah kemudi Bupati Robby Idong menggelontorkan uang Rp1,3 Miliar atau Rp1.300 Juta untuk membeli videotron.
Rp1,3 Miliar adalah nilai proyek dari pagu anggaran yang disiapkan Pemda sebesar Rp1,7 Miliar atau Rp1.700 Juta.
Uang ribuan juta rupiah itu akan dihabiskan untuk membeli dua biji videotron.
Yang satu berukuran 3 × 5 meter, yang lainnya berukuran 2 × 3 meter.
Yang satu akan dipasang di depan Gelora Samador di Jalan Majapahit, yang lainnya akan dipasang di pojok Kantor Pertanahan di Jalan El Tari.
Kebijakan membeli TV besar itu sudah dibahas sejak Desember 2018, sudah mulai direalisasikan pada tahun 2019, dan akan bisa dimanfaatkan pada tahun 2020.
Menurut Kabag Umum Setda Sikka Bernadus Absalon Abi, tujuan pemerintah membeli videotron antara lain adalah pertama, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), kedua, menjadi saluran informasi publik bagi masyarakat, dan ketiga, menerangi dan bikin cantik kota Maumere.
Tujuan pertama diraih dengan mengundang para pengusaha dan masyarakat pasang reklame berbayar di videotron.
Tujuan kedua diraih dengan mengumumkan informasi publik tentang derap pembangunan daerah di Nian Tana.
Tujuan ketiga entah dengan cara apa bisa dijelaskan.
Bupati Robby Idong dalam acara temu media memperingati setahun kepemimpinannya mengatakan, pembelian videotron adalah upaya investasi pemerintah.
Pemerintah tidak hanya fokus pada satu bagian pembangunan saja, melainkan fokus juga pada upaya mendatangkan pemasukan bagi daerah.
Kebijakan pemerintah menghadirkan videotron di jantung kota Maumere sontak mengundang kontroversi di tengah masyarakat.
Di satu sisi, kelompok pro-videotron berpendapat, boleh-boleh saja videotron dipasang asalkan masyarakat kecil juga bisa ambil untung dari benda itu.
Jangan hanya para pengusaha berkantong tebal.
Kelompok ini menyebut komunitas-komunitas kreatif di Maumere sebagai kelompok masyarakat kecil yang harus diberdayakan pemerintah dalam hubungannya dengan pemanfaatan videotron.
Di lain sisi, kelompok kontra-videotron berpendapat, dari sudut skala prioritas, videotron tidak boleh dipasang.
Skala prioritas Pemda Sikka di bawah Robby Idong adalah pemenuhan hak dasar masyarakat Kabupaten Sikka.
Kelompok ini bertanya, di tengah belum terpenuhinya hak dasar masyarakat atas akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang memadai, apakah sopan mendatangkan videotron di tengah kota?
Mereka mengadu kebijakan pembelian videotron dan janji-janji kampanye Robby Idong.
Misalnya, Bupati Idong berbusa-busa menjanjikan beasiswa pendidikan bagi siswa atau mahasiswa dari keluarga miskin.
Akan tetapi, sampai saat ini, janji itu belum bisa diwujudnyatakan karena APBD tentangnya belum memuat mata anggarannya.
Janji Bupati Idong memasukkan item beasiswa pendidikan ke dalam APBD Perubahan 2019 juga masih tuai badai polemik dengan para wakil rakyat periode lalu.
Bupati dan DPRD begitu berbusa-busa mendebat soal beasiswa pendidikan ini.
Akan tetapi, mengapa ketuk palu pimpinan DPRD Sikka begitu gampang diayunkan saat Bupati Idong mengajukan dan/atau menyetujui kebijakan pembelian videotron?
Bupati Idong dan jajarannya boleh-boleh saja berkilah bahwa rencana pembelian videotron sudah diajukan pada masa pemerintahan Bupati Ansar Rera.
Akan tetapi, mengapa Bupati Idong, dengan segala kewenangan diskresi yang ada padanya, tidak membatalkan usulan itu?
Sementara itu, terdapat pula posisi pendapat lain yang mengatakan bahwa kehadiran videotron adalah bukti kegagalan Pemda Sikka mengakomodasi peran Lembaga Penyiaran Publik (LPP) di Kabupaten Sikka.
Poin mereka adalah jika pemerintah sungguh-sungguh ingin mendistribusikan informasi publik ke masyarakat dan meraup profit dalam rupa PAD melalui reklame, mengapa Pemda Sikka tidak memperkuat LPP di Sikka?
Berapa besar APBD Sikka dialokasikan untuk meningkatkan peran LPP di Sikka?
Berdasarkan fakta dan kontroversi di atas, kami berpendapat, alih-alih kepentingan rakyat, pemasangan videotron di Kota Maumere lebih mencerminkan kepentingan ekonomi politik para pihak yang berkepentingan.
Pihak yang berkepentingan itu adalah pemerintah dan kontraktor atau pengusaha.
Kami bertanya, siapa yang paling diuntungkan dengan terpasangnya videotron senilai ribuan juta ini?
Kita bisa langsung menjawab bahwa salah satu pihak yang langsung ambil profit dari proyek pemasangan videotron adalah kontraktor pemenang lelang, yaitu PT Arion Indonesia.
Profit diraih dari selisih nilai proyek dan biaya produksi yang dikeluarkan.
Apakah proses pelelangan videotron dilakukan secara fair?
Dari sisi pemerintah, pembelian videotron mengukuhkan posisi ekonomi politik mereka.
Dalam mazhab developmentalisme, pemerintah cenderung habiskan anggaran untuk membangun monumen-monumen fisik.
Di Indonesia, developmentalisme dipraktikkan secara masif oleh Negara Orde Baru di bawah kemudi Suharto melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Hasilnya adalah krisis ekonomi 1997 dengan akumulasi tumpukkan hutang luar negeri sebesar kurang lebih Rp3000 Triliun.
Ongkos paling mahal tentu saja adalah jutaan nyawa anak bangsa yang mesti melayang sia-sia sebagai akibat penerapan doktrin developmentalisme yang disuntikkan oleh para kapitalis di negeri-negeri maju.
Di Sikka, dalam periode 5 tahun Bupati Ansar Rera saja, pemerintah sudah membangun banyak monumen-monumen fisik.
Sebut saja Monumen Tsunami di Taman Kota Maumere, gedung Sikka Inovation Center, Sikka Convention Center, dan tugu-tugu di setiap perempatan di Kota Maumere.
Dan sekarang, Bupati Idong membeli videotron.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa nafsu di balik pembangunan monumen fisik adalah “lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku.”
Penguasa ingin namanya dikenang dengan monumen-monumen fisik itu.
Ongkos logis dari developmentalisme adalah pemerintah akan cenderung abai melakukan investasi pembangunan sumber daya manusia (SDM).
Dan persis, itulah yang sedang terjadi di Sikka.
Pemerintah begitu mudah menggelontorkan uang ribuan juta untuk videotron, tetapi sangat lamban menetapkan anggaran untuk beasiswa pendidikan bagi siswa atau mahasiswa dari keluarga miskin.
Soal lain lagi, pernahkah pemerintah omong ke masyarakat soal rencana kebijakan pemasangan videotron?
Publik dapat kesan, kebijakan membeli videotron diputuskan begitu saja di antara bupati dan DPRD tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan rakyat.
Kaget-kaget, videotron sudah “on the way” (OTW) dari Malang ke Maumere.
Dalam kasus ini berlaku dalih, sesuatu yang diputuskan secara diam-diam dalam ruang tertutup patut diduga ada konspirasi di dalamnya.