Ortodoksi Pemikiran Emil dan Ketidaklengkapan Berita di Ekora NTT: Catatan untuk Emilianus Yakob Sese Tolo (2/Habis)

Ortodoksi Pemikiran Emil

Secara substansial, upaya Emil membangun “filsafat kemapanan” ini dapat ditemukan dalam rumusan pemikiran ini: “Emil menggunakan “teologi kemapanan” (teologi status quo) yang telah saya gunakan untuk mengkritik Toni, untuk selanjutnya melawan Toni.

Lalu, seperti hendak melampaui Toni, Emil menempatkan dan menjelaskan problem yang terjadi, baik di dalam maupun di luar STFK, serentak menempatkannya dalam kategori yang sama; mulai dari hal remeh temeh seperti kertas karbon hingga kemiskinan, kapitalisme, dan sebagainya.

Lebih dari itu, wataknya yang dogmatis, yang masih dipakainya ini, berujung pada penolakannya terhadap asumsi filsosofis saya bahwa ia sedang berupaya mendirikan “filsafat kemapanan.”

Hal ini karena kecenderungannya untuk menjelaskan segala problem tersebut secara dialektis Hegelian dalam hasratnya yang begitu besar untuk menjadi Marxis.

iklan

Dalam kritiknya terhadap Toni, Emil sepertinya mengamini Plekhanov dalam bukunya “Masalah-Masalah Dasar Marxisme” (2007), yang mengatakan bahwa “marxisme adalah suatu pandangan dunia yang lengkap dan menyeluruh.”

Plekhanov dalam pandangan banyak pemikir dikenal sebagai seorang Marxis terpandang yang sangat baik dalam menjelaskan teori Marx dan Engels.

Namun, Emil lupa bahwa ketika Plekhanov menyebut “dialektika idealistik Hegel telah ditempatkan oleh Marx di atas suatu landasan materialistik”, hal ini merupakan acuan bagi para pencetus “Teori Kritis” Mazhab Frankfurt (Horkheimer, Adorno, Habermas, Honneth) setelah Marx, untuk menyerang kembali Marxisme dengan pandangan dunia materialistiknya yang telah menjangkiti masyarakat modern; suatu hal yang tidak disadari oleh Plekhanov.

Dengan demikian, kecenderungan untuk melihat segala sesuatu dari sisi material akan membawa orang pada sikap hedonistis dan konsumeristis berujung pada kehancuran kehidupan itu sendiri atau dalam pandangannya Max Weber, “hilangnya pesona dunia (discenchantment of the world).”

Bagi para pembaca yang teliti, dalam buku itu, Plekhanov membela Marx secara habis-habisan atas kritik yang dituduhkan kepadanya, tetapi nama para anggota Mazhab Frankfurt itu tidak disebutkan sama sekali namanya.

Tak ada kritik dari Plekhanov bagi mereka secara terang-benderang.

Demikian pun ketika mengkritik saya, Emil tidak memunculkan nama-nama itu.

Pertanyaan saya, apakah Emil sudah membaca Teori Kritis para pemikir ini?

Apakah Emil seorang yang realistis ketika membaca Marx?

Oleh karena itu, menurut saya, Emil masih terjebak dalam kerangka pemikiran Plekhanov; memandang Marxisme sebagai suatu pandangan dunia yang menyeluruh, lalu menjadikannya yang terbaik, berikutnya melihat segala problem dan masalah sosial di atas suatu “landasan materialistik.”

Di atas landasan itulah, pandangan Emil bertendensi dogmatis dan positivistik.

Hal ini bermula karena ketidakmampuan Emil sendiri dalam membuat diferensiasi yang tegas antara Dialektika Hegel dan Ilmu Marxisme.

Dialektika Hegel adalah satu hal. Ilmu Marxisme adalah hal lain.

Dialektika seperti dikatakan Hegel adalah sebuah perkembangan yang tidak berhenti.

“Prinsip dialektika adalah mengkonstitusikan kehidupan dan jiwa perkembangan ilmiah, dinamika yang memberikan hubungan imanen dan keperluan pada tubuh ilmu pengetahuan” (1975: 116).

Benar bahwa dalam Hegel prinsip dialektis tetap tinggal dalam pikiran.

Sejarah, alam, dan manusia yang terus menerus berubah itu disesuaikan dengan pikiran yang juga terus menerus berubah.

Marx menerima itu.

Akan tetapi, lebih dari itu, Marx serentak mengawinkannya dengan realitas; sejarah, alam, dan manusia dan menjadikannya bercorak ilmiah di atas landasan dan gerakan “material-kebendaan” – dapat disebut kini sebagai ilmu Marxisme.

Persoalannya, hingga kini, ilmu-ilmu berkembang dan berdiferensiasi dan terus “mengkonstitusikan kehidupan dengan jiwa perkembangan ilmiah,” dalam batas-batas dan objek kajiannya masing-masing yang “memiliki hubungan imanen dengan tubuh ilmu pengetahuan bersangkutan.”

Itulah mengapa “jika ilmu melampaui batas objek kajiannya, maka ilmu tersebut pasti akan bertentangan” (Kondrad Kebung, 2015: 34-35) berikutnya menimbulkan “konflik normatif” atas pluralitas ilmu dan memandang ilmu lain secara inferior. 

Patut ditegaskan bahwa Ilmu Marxime secarah normatif walaupun bertujuan memahami sejarah, alam, dan manusia secara keseluruhan dalam suatu kerangka emansipasi atau dalam rumusan Engels menuju “kerajaan kebebasan”, ia tidak berkuasa di hadapan pengalaman dan kehidupan yang dalam sebaris sajaknya Leo Kleden “lebih kaya dari cinta, lebih miskin dari rindu.”

Pada titik ini, saya dapat berargumentasi bahwa “apa yang ditulis tidak lebih luas dari apa yang diucapkan dan apa yang diucapkan tidak lebih luas dari apa yang dialami.”

Ilmu Marxisme tidak sanggup dan tidak cukup membantu dalam menjelaskan semua gejala yang hadir dalam segala peristiwa yang berlangsung entah disadari atau tidak hanya di atas landasan yang materialistik dalam hukum ekonomi- produksi.

Saya memberikan contoh nyata.

Gerald dan Bojan, dua mahasiswa STFK tingkat IV, yang setelah lelah bekerja dalam menyukseskan acara pada suatu hari di “musim pesta emas,” menghabiskan beberapa jam di ruang Senat Mahasiswa (SEMA) hanya untuk mendengar musik sambil tersenyum dan lebih memilih menceritakan keberhasilan mereka agar tidak depresi daripada membicarakan kegagalan hari itu.

Pertanyaannya, mengapa dua mahasiswa itu setelah bekerja, memilih masuk dalam ruang SEMA dan bukan tempat lain?

Mengapa memilih mendengarkan musik dan bukan yang lain?

Mengapa ingin menceritakan keberhasilan dan bukannya kegagalan?

Apakah semua gejala yang berlangsung dalam  semua peristiwa ini menjadi objek kajian ilmu marxisme?

Tentu tidak, Emil.

Melalui ilmu Marxisme, Emil hanya bisa menjelaskan “bagaimana mereka bekerjadan secara empiris dan aposteriori – dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang menentukan kerja mereka”, tetapi tidak bisa menjelaskan begitu banyak hal perihal dentuman psikologis yang membuat mereka akhirnya tersenyum, berbicara, dan membuka musik.

Jadi, ilmu marxisme, ilmu psikologi, dan ilmu sosial budaya dipadukan untuk menjelaskan hal ini.

Emil sebenarnya telah mengamini kerja sama lintas ilmu itu.

Namun, sayangnya, ia masih mengaitkan persoalan yang diangkat dengan suatu kesimpulan yang naif bahwa semua problem itu dapat dijelaskan dalam ilmu Marxisme.

Konsekuensinya, seperti dikatakan Emil bahwa karena logika dialektika materialis Marxis bersumber dari Marxisme, dan berikutnya Marxisme adalah ilmu (yang lengkap dan terbaik) maka secara logis-formal, kesimpulannya juga jelas: semua persoalan baik yang terjadi di dalam maupun di STFK ini merupakan objek kajian ilmu Marxisme, suatu kajian ilmiah yang meletakkan dasarnya dalam “ hukum-hukum materi – kebendaan”, logika produksi dan perjuangan kelas.

Dengan demikian, pada akhirnya, Emil mempunyai kecenderungan untuk menciptakan “konflik normatif” atas pluralitas ilmu tersebut dan menjelaskan secara Hegelian materialisme dialektis Marx.

Dengan sangat tegas, Emil membuat pernyataan bahwa “Teologi status quo atau teologi mistik akan dengan mudah mengaitkan semua kejadian di STFK Ledalero sebagai akibat dari intervensi logos.”

Emil lupa bahwa dengan pernyataan seperti itu, sesungguhnya, ia telah terjebak terlebih dahulu dalam suatu “reduksi total” lalu menampakkan kembali secara implisit kekeliruan yang telah ia letakkan “di belakang” untuk ditampilkan secara eksplisit “di depan” dengan suatu pemahaman yang sangat positivistik-materialis Marxis; “mengaitkan semua kejadian di STFK Ledalero (termasuk berbagai kegiatan selama pesta Emas) dan berbagai problem seperti kemiskinan, kapitalisme, dan kertas karbon, yang diangkatnya kembali serentak menyamakannya sebagai akibat intervensi materi-kebendaan.

Jika menurut Emil benar, Emil harus membuktikan itu.

Sayangnya, tidak ada pembuktian sama sekali soal itu secara sistematis dan metodis dari sudut ilmu Marxisme, agar masyarakat pun tahu bahwa di STFK, misalnya telah terjadi penindasan dan perampasan hak hidup oleh pihak tertentu. 

Sesuai alur berpikir ini, maka, upaya Emil agar STFK mengajarkan ilmu marxisme tetap merupakan suatu pemaksaan dan tentu tidak berterima.

Hal ini dielak Emil dalam kritiknya terhadap saya.

Emil katakan bahwa saya tidak mampu membedakan arti should sebagai sebuah ajakan dan must sebagai keharusan dan karena menyimpulkan secara gegabah hanya dari sumber kedua, hipotesis Toni.

Bila Emil melihat dengan cermat alur berpikir saya ketika mengkritiknya, sebenarnya, saya menangguhkan pemaksaan ini terlebih dahulu.

Saya mengatakan bahwa “filsafat tidak boleh melayani kepentingan kekuasaan. Filsafat harus melawannya. Cara yang ditawarkan Emil adalah sebuah ajakan (atau pemaksaan?) ‘sudah seharusnya STFK mempelajari marxisme sebagai ilmu’.”

Saya memutar logika Emil ketika Emil mengatakan terlebih dahulu kata “harus” sebagai pemaksaan dan membuatnya semacam ajakan.

Suatu eufimisme yang pura-pura dibuat Emil agar terlihat lembut dari gairahnya yang kasar dan memaksa dalam rumusannya, yang bagi saya hanya verbalisme penuh intrik.

Kita lihat dua paragraf terakhir dalam tulisan Emil pertama. [“Dengan demikian, sebagai institusi intelektual, STFK Ledalero harus terus memperkenalkan logika dialektika materialis Marxis…, karena logika dialektika materialis Marxis bersumber pada Marxisme, maka sudah seharusnya STFK Ledalero meneruskan dan membiarkan… ].

Suatu cacat logika yang fatal menurut saya.  

Akhirnya, perlawanan Emil terhadap “teologi kemapanan” ini pada akhirnya membuat Emil seperti orang yang takut dicap “ateis militan” (menjelaskan tiadanya Tuhan secara ilmiah), lalu berupaya mengambil kembali pemikirannya yang menurut saya “yang absen” itu, lalu pasrah secara total terhadap intervensi Sabda Allah dan kerja sama ilmu-ilmu; yang pertama-tama harus diakui terlebih dahulu terlibat dalam seluruh kegiatan pesta emas STFK Ledalero, sebelum membeberkan persoalan-persoalan baru yang tidak terkandung dalam inti perdebatan agar bisa dicarikan solusinya.

Emil, menurut saya, tergolong dalam kelompok pencinta Marxisme Ortodoks.

Marxisme Ortodoks adalah rumusan Engels dan Kautsky yang menyatakan kesetiaan pada pemikiran asli Marx.

Begitu pun Plekhanov ketika menjelaskan Marx secara baik termasuk dalam golongan ini.

Emil sudah menjadi bagian dari mereka.

Seorang Marxis-Ortodoks adalah orang yang hendak menjaga kesetiaan ajaran asli Marx.

Seperti yang dirumuskan Plekhanov pada awal argumentasi filosofis ini, mereka akan menjadikan Marxisme sebagai ajaran yang lengkap untuk menjawabi berbagai problem ini.

Kita tahu, fundamentalisme agama bermula dari sini.

Dari sebuah “literalisme skriptural” hingga mengurung relativisme kebenaran dalam suatu pandang kebenaran tunggal.

Pada titik ini, upaya Emil untuk membangun “filsafat kemapanan” (filsafat status quo) dalam ajaran murni Marx mendapatkan pembenaran.

So, Emil harus belajar dari Heiddeger bahwa filsafatnya yang mempertahankan status quo telah menggiring dia untuk tunduk di bawah Hitler dalam kekuasaan yang kejam dan tiranik.

Sebelum itu terjadi, barangkali kita perlu membebaskan logika “filsafat kemapanan”, jika memungkinkan memenggal “kepala Emil.”

Jadi, penting menempatkan masalah pada tempatnya, agar kecintaan kita terhadap masalah-masalah sosial yang membutuhkan penyelesaian melalui pendekatan ekonomi-politik Marxisme tidak menemukan kekaburan karena cacat logika formal yang dibangun sendiri.

Ada banyak hal yang masih ingin saya perdebatkan, tetapi, saya cukupkan dulu, termasuk data-data yang harus Emil tunjukkan tentang buku-buku di perpustakaan, yang kata Emil hanya buku-buku tua, tentang demonstrasi mahasiswa yang sayangnya Emil sendiri sebagai dosen kurang perhatikan lebih jeli, soal waktu pelaksanaan demo itu yang bertepatan dengan acara pesta emas yang padat dan melelahkan dan Emil sendiri selalu setia hadir di sana, makan minum dengan bebas-merdeka, tanpa pernah turun ke lapangan bersama anggota PMKRI Maumere, juga soal disrupsi yang akan diulas juga di majalah Vox Ledalero edisi semester ini.

Untuk Ekora

Siapa bilang Marxisme tidak penting?

Marxisme, menurut saya, sangat penting saat ini dan mendesak ketika kapitalisme menggurita.

Kesenjangan ekonomi di Flores, seperti yang diulas Emil, harus membutuhkan perspektif baru untuk ditemukannya solusi melalui ekonomi-politik Marx dan bukan hanya pendekatan moral demi menyelesaikan persoalan ini seperti yang telah dikatakan oleh mahasiswa yang diwawancarai oleh media Ekora itu.

Bahkan, saya telah mengusulkan di bagian tulisan saya terdahulu, bahwa lembaga intelektual besar di NTT seperti STFK ini harus mulai mengadakan penelitian sosial, menyiapkan dana, bekerja sama secara interdispliner antarilmu agar menemukan solusi yang lebih baik.

Titik yang saya mulai ini, menurut saya, telah dijelaskan dengan baik oleh Emil.

Namun, dari berita yang diluncurkan Ekora berjudul “Beda Pendapat tentang Marxisme, Dosen dan Mahasiswa Berdebat di Koran” (10/10/2019), saya melihat ketidaklengkapan pada isi pemberitaan.

Hal ini dapat berdampak buruk bagi penilaian masyarakat atas STFK.

Jika Ekora adalah media yang kritis, Ekora harus membuat pertanyaan dan wawancara juga atas fenomena mengenai mengapa ilmu Marxisme perlu diajarkan dalam kaitan dengan problem penindasan, kepemilikan aset-aset produksi, dan sebagainya menuju “kerajaan kebebasan” itu ketika Emil mempunyai kecenderungan untuk mereduksi secara total berbagai peristiwa dan kejadian di STFK dalam satu model pembacaan melalui ilmu Marxisme.

Jadi, dalam kaitan dengan model pembacaan tunggal seperti ini, adalah bijak dan bermanfaat jika Ekora sebagai media yang kritis untuk mengusut berbagai kasus yang diangkat Emil dengan meneliti lebih jauh teristimewa bertanya pada mahasiswa, misalnya, apa benar persoalan remeh temeh seperti kertas karbon, misalnya, yang diangkat Emil itu, telah mendatangkan penindasan antara dosen dan mahasiswa hingga berdampak pada kesenjangan ekonomi atau melakukan wawancara dengan karyawan-karyawati, misalnya, apakah selama pesta emas berlangsung penindasan struktural telah terjadi di sana.

Hal ini penting karena menyebut Marxisme, saya sendiri selalu melihatnya secara positif soal “watak emansipatoris” yang dibawanya untuk membebaskan manusia dari kekerasan struktural ekonomi-politik.

*Anggota Kelompok Menulis di Koran (KMK) Ledalero

TERKINI
BACA JUGA